Saturday, February 10, 2007

Indonesia; Pacific Ring of Fire




Bisnis Indonesia

Oleh: Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp Asia Pacific

Kita harus menghadapi kenyataan hidup diatas Pacific Ring of Fire dan hingga 30 tahun mendatang mau tidak mau kita harus siap setiap saat menghadapi berbagai bencana alam berskala besar, seperti letusan gunung berapi, gempa, dan tsunami.

Pacific Ring of Fire, karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif. Lempeng Indo-Australia yang mendesak ke timur laut dan utara, Lempeng Eurasia yang relatif statis tetapi bergerak ke arah tenggara, dan Lempeng Pasifik yang mendesak ke arah barat daya dan barat laut. Indonesia sendiri terbentuk karena pergerakan besar lempeng-lempeng tersebut.
Aktivitas tiga lempeng besar yang sangat aktif dan saling bertumbukan membuat kita senantiasa rawan bencana. Indonesia juga memiliki sekitar 400 gunung api, sekitar 100 di antaranya aktif.

Setidaknya telah terjadi 212 gempa bumi dengan magnitudo 7 skala Richter atau lebih, sejak tahun 1900 sampai dengan 2004. Sebanyak 86 gempa di antaranya menyebabkan tsunami.

Setelah Aceh, Nias, Padang, Yogyakarta, Pangandaran, Selat Sunda dan kemarin Gorontalo, potensi untuk terjadinya gempa bumi masih ada di sepanjang zona subduksi yang menjadi tempat pertemuan lempeng.

Hal ini disebabkan adanya pergerakan tiga lempeng besar bumi sepanjang 4.000 KM yang memanjang dari sebelah barat Sumatera, selatan Jawa, hingga Bali, NTB, dan NTT.

Juga menyebabkan terjadinya patahan/ sesar-baik besar maupun kecil yang menjulur ke berbagai arah melintasi berbagai daerah padat penduduk tersebut.

Daerah-daerah rawan tsunami menurut peta Badan Meteorologi dan Geofisika, adalah wilayah pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, hingga selatan Nusa Tenggara yang akan dilanda tsunami dari subduksi lempeng di dasar laut Samudra Hindia, yaitu menghunjamnya lempeng Indo- Australia ke lempeng Eurasia di bagian utaranya.
Sedangkan wilayah utara NTT, sebagian pantai barat Kalimantan, hampir seluruh pantai di Sulawesi, seluruh pantai di kepulauan Maluku, dan pantai barat Papua akan diterjang tsunami dari interaksi lempeng benua Eurasia dan Pasifik serta lempeng mikro di dasar laut. Tsunami yang akan terjadi di daerah itu pascagempa akan menerjang pantai dengan kisaran waktu lima hingga 30 menit.
Ramalan BMG, aktivitas lempeng-lempeng ini masih akan terus meningkat dalam kurun 30 tahun ke depan.

Bahkan DKI Jakarta terbukti tidak aman dari ancaman gempa dan tsunami. Hal ini dapat dilihat dari rekaman sejarah wilayah pantai utara. Beberapa hari lalu warga Jakarta sempat lebih dari sekali dibuat panik dengan goncangan gempa.
Namun, bencana yang kini marak di Indonesia, bukan semata akibat aktivitas lempengan bumi saja. Banyak bencana tambahan yang terjadi karena ulah jumawa manusia sendiri, seperti lumpur panas, kekeringan, kebakaran hutan, belum lagi nanti pada musim hujan, longsor, banjir, dan banjir bandang yang langganan akan datang silih berganti.

Mempersiapkan Seluruh Rakyat

Untuk mencegah korban jiwa dan kerugian yang sangat besar, maka seluruh rakyat Indonesia perlu dipersiapkan, baik mental maupun secara teknis, untuk menghadapi bencana alam.

Pertama, sistem peringatan dini, menurut Praveen Pardeshi pakar dari UN/ISDR, bekerja berdasarkan pada empat unsur, yakni pemahaman mengenai risiko bencana yang dihadapi, warning services yang menekankan pada pengawasan teknis, diseminasi informasi kepada publik dan masyarakat, serta kapabilitas untuk merespons dengan cepat dalam kondisi gempa dan tsunami benar-benar terjadi.
Dalam kasus gempa dan tsunami Aceh, keempat-empatnya tidak berfungsi. Hal ini menyebabkan jumlah korban jiwa yang sangat besar.

Beda dengan Aceh yang mendadak sontak, gempa dan tsunami di selatan Jawa seharusnya bisa lebih diantisipasi.

Berdasarkan catatan United Stated Geological Survey, Pacific Tsunami Warning Center di Hawaii dan Japan Meteorogical Agency sebenarnya sudah mengingatkan Indonesia bakal datangnya tsunami hanya 4 menit setelah gempa terjadi atau 45 menit sebelum terjadinya tsunami.

Kalau saja peringatan itu bisa diumumkan tepat waktu pada masyarakat, pasti banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Kedua, koordinasi penanganan bencana. Dalam kasus tsunami Pangandaran, tidak ada pernyataan yang sinkron antara pejabat pemerintah. Termasuk dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, sangatlah disayangkan dan harus dibenahi, karena mengakibatkan resiko yang sangat tinggi.

Hasil wawancara AFP menunjukkan, bahwa Menneg Ristek tidak mengumumkan informasi yang didapatnya karena ia tidak ingin muncul kepanikan berlebihan. "Kalau tidak terjadi (tsunami), bagaimana?" ujarnya. Dalam pernyataan lain lagi, ia mengatakan, bukan wewenang dia untuk mengumumkan apakah gempa akan menyebabkan tsunami atau tidak.
Lembaga yang berwenang, menurut dia, adalah BMG. Padahal, menurut Hatta, Menneg Ristek-lah koordinator sistem peringatan dini. Pengakuan terakhir Kusmayanto kepada Kompas (21/7), ia baru mengetahui informasi soal gempa dan prediksi tsunami dari BMG, yang menerima informasi tersebut dari PTWC dan JMA, 17 menit setelah gempa atau 45 menit sebelum tsunami.

Ini bukan pertama kalinya terjadi, di kasus Nias, 28 Maret 2005, menurut laporan misi ahli dari Intergovernmental Oceanographic Commission, informasi ancaman tsunami juga sudah diterima pihak Indonesia kurang dari 20 menit setelah gempa.

Namun, seperti kasus Pangandaran, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Akibatnya, jatuh korban hingga mencapai sekitar 900 orang.

Ketiga, perlengkapan deteksi bencana. BMG menyalahkan perangkat peringatan dini yang sederhana dan kendala telekomunikasi sebagai sumber kegagalan sistem peringatan dini.

Indonesia memiliki 1.200 titik rawan bencana dan diperlukan satu alat peringatan dini tsunami di setiap 10 KM wilayah perairan yang menghadap zona subduksi. Total biaya sistem peringatan dini yang dibutuhkan adalah Rp 1,2 triliun.
Kini pemerintah baru memiliki 10 alat sumbangan Jerman. Dua sudah dipasang, tetapi rusak. Rencananya 8 sisanya baru dipasang tahun depan.

Keempat, sosialisasi masyarakat. Pemerintah dan masyarakat di daerah rawan gempa tsunami selama ini hanya terfokus pada respons darurat, sesudah bencana datang. Padahal, yang harus dibangun adalah respons preventif sebelum terjadi bencana.

Hasil survei LIPI bersama Unesco di Padang dan Bengkulu, dua daerah yang diperhitungan LIPI terancam bencana sedahsyat Aceh, masyarakat tidak tahu dan kurang peduli pada bencana yang siap menerjang itu.
Bahkan masyarakat Aceh Besar pun belum tergugah untuk mengambil pelajaran dari bencana yang menimpa tetangganya, Banda Aceh dan Meulaboh.

Kelima, gerakan swadaya masyarakat. Sebagai contoh Bantul menggagas pembangunan shelter perlindungan di perbukitan daerah pantai, latihan evakuasi dan 98 orang Tim SAR yang bersiaga 24 jam menjaga pantai secara bergantian. Sumatera Barat dan Bengkulu menggunakan sirene peringatan dini. Di kota-kota lainnya, pelatihan dilakukan secara bergilir.

Justru warga DKI Jakarta yang belum siap dengan segala kemungkinan gempa dan tsunami. Mengingat kondisi Jakarta yang sangat macet arus lalu lintasnya, banyak jalan layang dan gedung-gedung bertingkat, Jakarta sangat berpotensi menelan lebih banyak korban jiwa dan kerugian.

Keenam, undang-undang kebencanaan adalah mutlak sebagai panduan nasional dalam mengantisipasi bencana. Antara lain pengurusan izin mendirikan bangunan yang mengindahkan kaidah-kaidah antisipasi bencana.
Ketujuh, bertobatlah! Posisi kita yang hidup di atas Pacific Ring of Fire, seharusnya membuat kita, bangsa Indonesia, makin sadar akan kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih. Mungkin semua ini adalah cara Tuhan berkomunikasi pada kita, bangsa Indonesia, agar kita bertobat dan makin dekat denganNya, selagi masih sempat.

No comments:

www.wiloto.com

www.wiloto.com