Foto: Tiara Lestari Model Playboy Agustus 2005 Asli Indonesia
Bisnis Indonesia,
Minggu 29 Januari 2006
Playboy Indonesia?
Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com
email: powerpr@wiloto.com
Siapa tak kenal majalah Playboy? Logo kepala kelinci putihnya telah mendunia. Walaupun menjadi simbol perlawanan terhadap segala sesuatu yang bersifat konservatisme, dia juga menjadi ikon para pemuja 'revolusi seksual' yang menjadi tren di kalangan muda Amerika pada era 1960/1970-an.
Kehadiran Playboy tentu saja tak dapat dilepaskan dari sosok Hugh Marston Hefner. Penggagas ''ide liar' menerbitkan majalah berkategori triple X' ini. Lahir di Chicago, Illinois, 9 April 1926, dia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filosofi di Universitas Illinois, Urbana-Champaign. Dia lalu masuk wajib militer menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Naluri wirausaha dan bakat menulisnya-Hefner pernah menjadi copywriter di majalah Esquire-diwujudkan dengan menerbitkan majalah yang dia dedikasikan pada kekasihnya. Majalah itu semula diberinya nama Stag Party. Tapi kemudian diubah menjadi Playboy, karena sebelumnya sudah ada majalah bernama mirip, yakni Stag Magazine.
''Nama Playboy diusulkan oleh seorang teman,'' kata Hefner dalam biografinya. Tapi dia tak pernah menyebut siapa teman yang dimaksudnya.
Sebagai majalah yang dikonsepkan untuk konsumsi pria dewasa, Playboy memang bertabur foto-foto wanita cantik dengan pose menantang, plus busana yang serba minim. Bahkan tak jarang ada model yang tampil nyaris-maaf - telanjang. Yang menarik, hampir semua model Playboy berambut pirang. ''Saya memang selalu tertarik dengan perempuan berambut blonde,'' ujar Hefner.
Dalam perkembangannya, Playboy tak cuma memajang model-model semitelanjang. Tapi juga menyajikan wawancara dengan sejumlah tokoh terkenal - khususnya artis dan politikus-dengan format yang amat lugas. Tak heran kalau model jurnalistik Playboy sempat jadi acuan majalah lain.
Maaf, saya bukan mempromosikan Playboy. Tapi deskripsi di atas sengaja saya paparkan untuk referensi terhadap apa yang akan kita diskusikan berikut ini. Yakni kontroversi seputar rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia oleh PT Velvet Silver Media.
Pornografi dan pornoaksi
Sejak muncul kabar bakal diterbitkannya Playboy edisi Indonesia, awal Januari, berbagai komentar ramai berseliweran di media massa. Banyak yang menghujat, tapi tak sedikit pula yang memberi dukungan. Di antara keduanya, ada yang mencoba memberi jalan tengah.
Pihak Velvet Silver Media beberapa kali mencoba menjelaskan Playboy versi Indonesia tak akan sama dengan versi aslinya-artinya tak akan gegabah memajang model-model semitelanjang di majalahnya.
''Lihat dulu, baru komentar,'' kata Director Publisher Velvet Silver Media, Ponti Carolus. Ponti sebelumnya dikenal sebagai calon anggota legislatif Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Kalimantan Barat. Dia juga pernah menjabat sebagai wakil Sekjen partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Tanpa disadari, pro-kontra tersebut, menjadi promosi gratis bagi rencana penerbitan Playboy versi Indonesia. Sehingga, meski coba dihadang oleh berbagai kalangan, Velvet Silver Media 'katanya' tak akan mundur dari rencananya semula.
Apalagi, secara hukum, memang tak ada aturan yang melarang penerbitan Playboy edisi Indonesia. UU Pers bahkan tak memberi ruang bagi pemerintah untuk mengintervensi rencana tersebut. ''Sesuai UU Pers, kita bisa diancam dua tahun kalau melarang peredaran sebuah media,'' ujar Menkominfo, Sofyan Djalil, seperti dikutip Republika.
Tapi kontroversi Playboy Indonesia sebenarnya tak perlu berlarut-larut. Khususnya, jika pemerintah punya visi yang jelas, mau dibawa kemana negeri ini. Artinya, kalau pemerintah memang berkomitmen untuk membangun 'generasi emas' di masa depan, segala sesuatu yang bisa merusak tekad itu harus dieliminasi sejak dini.
Soal pornografi dan pornoaksi, misalnya, pemerintah tak perlu menunggu selesainya RUU yang saat ini sedang dibahas di DPR. Tumpas saja masalah pornografi dan pornoaksi dengan aturan pelanggaran kesusilaan yang jelas tercantum dalam KUHP.
Etika ketimuran kita rasanya juga bisa dipakai sebagai landasan untuk menolak kehadiran Playboy Indonesia. Sebab, bagaimana pun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah melekat di benak hampir setiap orang. Dan itu tak sesuai dengan etika kesusilaan di Indonesia.
Sebagai benchmark, di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, memperjualbelikan majalah-majalah porno macam Playboy termasuk dalam tindakan kriminal. Ini jelas untuk melindungi generasi penerusnya dari kehancuran. Apalagi menerbitkannya.
Sebenarnya kehadiran Playboy ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah, negarawan, para pendidik, tokoh-tokoh masyarakat, para orangtua dan berbagai pihak yang peduli akan masa depan generasi muda, untuk bersama-sama menentang semua bentuk pornografi dan pornoaksi yang kini kian marak di Indonesia.
Pemerintah tak perlu takut pelarangan peredaran majalah, koran atau tabloid porno, dan tayangan mesum yang kini banyak bermunculan di televisi, dianggap melanggar kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers sama sekali tak ada hubungannya dengan pornografi. Bahkan, kalangan pers mengaku justru tabloid dan tayangan mesum adalah 'penumpang gelap' kebebasan pers. Karenanya harus dienyahkan.
Bisnis Indonesia,
Minggu 29 Januari 2006
Playboy Indonesia?
Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com
email: powerpr@wiloto.com
Siapa tak kenal majalah Playboy? Logo kepala kelinci putihnya telah mendunia. Walaupun menjadi simbol perlawanan terhadap segala sesuatu yang bersifat konservatisme, dia juga menjadi ikon para pemuja 'revolusi seksual' yang menjadi tren di kalangan muda Amerika pada era 1960/1970-an.
Kehadiran Playboy tentu saja tak dapat dilepaskan dari sosok Hugh Marston Hefner. Penggagas ''ide liar' menerbitkan majalah berkategori triple X' ini. Lahir di Chicago, Illinois, 9 April 1926, dia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filosofi di Universitas Illinois, Urbana-Champaign. Dia lalu masuk wajib militer menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Naluri wirausaha dan bakat menulisnya-Hefner pernah menjadi copywriter di majalah Esquire-diwujudkan dengan menerbitkan majalah yang dia dedikasikan pada kekasihnya. Majalah itu semula diberinya nama Stag Party. Tapi kemudian diubah menjadi Playboy, karena sebelumnya sudah ada majalah bernama mirip, yakni Stag Magazine.
''Nama Playboy diusulkan oleh seorang teman,'' kata Hefner dalam biografinya. Tapi dia tak pernah menyebut siapa teman yang dimaksudnya.
Sebagai majalah yang dikonsepkan untuk konsumsi pria dewasa, Playboy memang bertabur foto-foto wanita cantik dengan pose menantang, plus busana yang serba minim. Bahkan tak jarang ada model yang tampil nyaris-maaf - telanjang. Yang menarik, hampir semua model Playboy berambut pirang. ''Saya memang selalu tertarik dengan perempuan berambut blonde,'' ujar Hefner.
Dalam perkembangannya, Playboy tak cuma memajang model-model semitelanjang. Tapi juga menyajikan wawancara dengan sejumlah tokoh terkenal - khususnya artis dan politikus-dengan format yang amat lugas. Tak heran kalau model jurnalistik Playboy sempat jadi acuan majalah lain.
Maaf, saya bukan mempromosikan Playboy. Tapi deskripsi di atas sengaja saya paparkan untuk referensi terhadap apa yang akan kita diskusikan berikut ini. Yakni kontroversi seputar rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia oleh PT Velvet Silver Media.
Pornografi dan pornoaksi
Sejak muncul kabar bakal diterbitkannya Playboy edisi Indonesia, awal Januari, berbagai komentar ramai berseliweran di media massa. Banyak yang menghujat, tapi tak sedikit pula yang memberi dukungan. Di antara keduanya, ada yang mencoba memberi jalan tengah.
Pihak Velvet Silver Media beberapa kali mencoba menjelaskan Playboy versi Indonesia tak akan sama dengan versi aslinya-artinya tak akan gegabah memajang model-model semitelanjang di majalahnya.
''Lihat dulu, baru komentar,'' kata Director Publisher Velvet Silver Media, Ponti Carolus. Ponti sebelumnya dikenal sebagai calon anggota legislatif Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Kalimantan Barat. Dia juga pernah menjabat sebagai wakil Sekjen partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Tanpa disadari, pro-kontra tersebut, menjadi promosi gratis bagi rencana penerbitan Playboy versi Indonesia. Sehingga, meski coba dihadang oleh berbagai kalangan, Velvet Silver Media 'katanya' tak akan mundur dari rencananya semula.
Apalagi, secara hukum, memang tak ada aturan yang melarang penerbitan Playboy edisi Indonesia. UU Pers bahkan tak memberi ruang bagi pemerintah untuk mengintervensi rencana tersebut. ''Sesuai UU Pers, kita bisa diancam dua tahun kalau melarang peredaran sebuah media,'' ujar Menkominfo, Sofyan Djalil, seperti dikutip Republika.
Tapi kontroversi Playboy Indonesia sebenarnya tak perlu berlarut-larut. Khususnya, jika pemerintah punya visi yang jelas, mau dibawa kemana negeri ini. Artinya, kalau pemerintah memang berkomitmen untuk membangun 'generasi emas' di masa depan, segala sesuatu yang bisa merusak tekad itu harus dieliminasi sejak dini.
Soal pornografi dan pornoaksi, misalnya, pemerintah tak perlu menunggu selesainya RUU yang saat ini sedang dibahas di DPR. Tumpas saja masalah pornografi dan pornoaksi dengan aturan pelanggaran kesusilaan yang jelas tercantum dalam KUHP.
Etika ketimuran kita rasanya juga bisa dipakai sebagai landasan untuk menolak kehadiran Playboy Indonesia. Sebab, bagaimana pun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah melekat di benak hampir setiap orang. Dan itu tak sesuai dengan etika kesusilaan di Indonesia.
Sebagai benchmark, di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, memperjualbelikan majalah-majalah porno macam Playboy termasuk dalam tindakan kriminal. Ini jelas untuk melindungi generasi penerusnya dari kehancuran. Apalagi menerbitkannya.
Sebenarnya kehadiran Playboy ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah, negarawan, para pendidik, tokoh-tokoh masyarakat, para orangtua dan berbagai pihak yang peduli akan masa depan generasi muda, untuk bersama-sama menentang semua bentuk pornografi dan pornoaksi yang kini kian marak di Indonesia.
Pemerintah tak perlu takut pelarangan peredaran majalah, koran atau tabloid porno, dan tayangan mesum yang kini banyak bermunculan di televisi, dianggap melanggar kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers sama sekali tak ada hubungannya dengan pornografi. Bahkan, kalangan pers mengaku justru tabloid dan tayangan mesum adalah 'penumpang gelap' kebebasan pers. Karenanya harus dienyahkan.