PowerPR - Christovita Wiloto & Co is The Indonesia Strategic Public Relations company that offers integrated communications and investment strategy. PowerPR was founded by Christovita Wiloto, have handled more than 70 clients, from Indonesia and many other countries such as Singapore, Malaysia, USA, Australia, China etc please click www.powerpr.co.id
Sunday, February 19, 2006
Garuda; Berubah atau Mati
Bisnis Indonesia
Minggu 12 Februari 2006
Oleh Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific
Perubahan "logic of business" industri penerbangan ternyata
tak cuma memakan korban maskapai penerbangan gurem.
Perusahaan penerbangan sekelas Garuda
Indonesia pun harus ''mati-matian" memikul "warisan" beban utang ratusan juta dolar
AS. Perundingan restrukturisasinya pun berlarut-larut, tak kunjung
mencapai kesepakatan.
Dari 800 juta dolar AS utang Garuda, sebesar 510 juta dolar AS merupakan
utang ke European Credit Agency (ECA), 130 juta dolar AS ke pemegang surat
utang (promisorry note), sedangkan sisanya 160 juta dolar AS ke Bank
Mandiri dan kepada PT Angkasa Pura I dan II. Garuda juga belum sanggup
membayar utang sebesar 55 juta dolar AS kepada pemegang promissory note
yang jatuh tempo pada akhir Desember 2005.
Selain karena amat besarnya beban utang, tak kunjung selesainya negosiasi
dengan para kreditor, juga terkait pola penyelesaian utangnya. Secara
umum, para kreditor minta agar manajemen Garuda meng-update rencana
bisnisnya. Terutama terkait dengan dampak peristiwa bom Bali. Selain itu,
kreditor juga minta jaminan pemerintah Indonesia berupa kesanggupan
membayar utang, suntikan dana, dan jaminan kelangsungan bisnis Garuda.
Pemerintah Indonesia sudah mencoba membantu Garuda dengan memberi talangan
sebesar 56 juta dolar AS. Dana talangan dimaksudkan untuk menambah modal
kerja perusahaan.
Sementara, dalam arahannya, Kementerian Negara BUMN mendorong Garuda agar
melakukan aliansi strategis dengan perusahaan penerbangan skala global.
Selain melakukan tranformasi bisnis untuk mengantisipasi sengitnya
persaingan di industri penerbangan.
Intinya, apa pun pola restrukturisasi yang akan diajukan kepada kreditor,
usulan aliansi strategis merupakan salah satu pilihan yang harus
dijalankan Garuda. Tak heran kalau Garuda aktif melakukan penjajakan
dengan sejumlah perusahaan penerbangan asing, khususnya dari negara-negara
Eropa.
Namun, usulan aliansi strategis dengan maskapai asing inilah yang sempat
memicu pro dan kontra. Tak cuma di kalangan anggota DPR. Tapi juga di
antara pengamat dan praktisi industri penerbangan. Bahkan, Wapres Jusuf
Kalla pun sempat memberikan penilaian yang cukup mengagetkan.
Akhir tahun lalu, Wapres mengatakan, pemerintah tak lagi menganggap Garuda
sebagai simbol negara (flag carrier). Alasannya, era saat ini berbeda
dengan zaman dulu, sehingga bisa saja Garuda dijual kepada investor --
baik asing maupun dalam negri.
''Saat ini hampir tidak ada satu negara pun di dunia yang memiliki flag
carrier,'' kata Wapres, usai salat Jumat di kantornya.
Tren penjualan pesawat terbang yang menyimbolkan negara tertentu, lanjut
Kalla, sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Ia mencontohkan maskapai
penerbangan Qantas, KLM, atau Malaysia Airlines System (MAS).
Nilai Strategis Garuda
Sampai di sini, sebenarnya tak perlu ada silang pendapat. Sebab, saya kira
kita semua sebagai warga negara Indonesia, pasti berharap Garuda bisa
tetap gagah mengarungi udara. Tak sekadar menjadi ''jembatan'' dari
Indonesia ke negara lain (dan sebaliknya), tapi juga mampu menjadi duta
bangsa di pentas internasional.
Bahwa Indonesia memiliki seorang duta besar di hampir semua negara di
dunia, itu tetap harus diapresiasi. Namun, dengan berbagai kesibukannya di
tingkat elit, saya yakin seorang duta besar tak akan cukup intens
bersosialisasi dengan masyarakat, atau publik negara setempat.
Yang justru bisa lebih dalam ''masuk'' ke ruang publik, adalah perusahaan
penyedia jasa, semacam Garuda. Dengan fungsi dan perannya sebagai jembatan
udara bagi masyarakat yang ingin bepergian ke dan dari Indonesia,
keberadaan Garuda saya kira lebih ''eye catching'' dan familiar. Warga
beberapa negara Eropa, misalnya, mungkin lebih tahu di mana kantor
perwakilan Garuda, dibanding kantor kedutaan dan nama dubes Indonesia di
sana.
Dalam posisi seperti itu, dan tanpa mengurangi hormat pada apa yang telah
dilakukan atase kebudayaan di masing-masing kedutaan, saya kira Garuda
juga bisa lebih efektif dan efisien mempromosikan tidak hanya pariwisata
Indonesia, tapi Indonesia itu sendiri.
Nah, sekarang coba bayangkan seandainya Garuda tak lagi menerbangi jalur
ke kota-kota besar di dunia. Barangkali, popularitas Indonesia bakal
semakin buruk. Artinya, apa pun yang terjadi, rasanya
Garuda harus tetap mengudara, dan membawa kejayaan Indonesia di dunia
internasional.
Hanya saja, untuk itu, Garuda wajib mengubah total paradigmanya, dari
yang "hanya" sekedar sebagai sebuah BUMN, menjadi sebuah korporasi kelas dunia.
Sehingga ia mampu "bersaing" dengan maskapai-maskapai dunia,
semacam Singapore Airlines, Qantas, MAS atau Thai Airways.
Tidak hanya sekedar bersaing dengan masakapai-maskapai baru yang
sedang naik daun dan terus menggeliat
semacam Lion Air, Adam Air, Awair dan semacamnya.
Yang jadi persoalan sekarang, mengubah paradigma secara total bukanlah hal yang mudah.
Perlu "keteguhan hati" dan ''tangan besi'' untuk melakukannya. Bukan tak mungkin, langkah itu
akan sangat menyakitkan bagi sebagian kalangan. Baik di dalam Garuda
sendiri, maupun di pihak yang terafiliasi. Dan pasti banyak resistensi, terutama dari dalam
Garuda sendiri.
Crew dan manajemen Garuda tidak bisa terus berparadigma sebagai "anak emas"
dan merasa "berbeda". Paradigma lama harus segera berganti dengan pardigma baru yang selalu bersaing
untuk lebih melayani, lebih memuaskan. Garuda harus memahami dan mampu bersaing dengan "logic of business"
yang baru dari dunia penerbangan saat ini.
Agar menjadi Garuda yang "sehat", lincah dan siap terbang
bebas mengudara, bersaing dengan dunia.
Jelaslah, kini Garuda hanya punya dua pilihan saja.
Merubah total paradigmanya atau mati.
Subscribe to:
Posts (Atom)