Sunday, April 28, 2002

BPPN, The Guardian of Public Trust?


BPPN, The Guardian of Public Trust?
Christovita Wiloto
KOMPAS - Minggu, 28 Apr 2002 Halaman: 32.

Mungkin begitulah rupa BPPN. Persis seperti ulat yang berubah jadi kupu-kupu, bentuknya berubah, cara hidupnya berubah, warnanya berubah, makanannya berubah, dari merayap di pohon menjadi terbang ke sana-sini. Bedanya ulat berubah hanya sekali, BPPN berkali-kali dan belum ketahuan kapan berhentinya perubahan- perubahan yang signifikan itu.

KETIKA dilahirkan, BPPN punya kesempatan menjadi lembaga yang ramping, andal, mampu menyelesaikan persoalan, dan dilengkapi dengan wewenang yang superkuasa. Maksud dan tujuannya tak lain, BPPN bisa menjadi ujung tombak pemerintah untuk segera mengentaskan Indonesia dari krisis ekonomi yang melanda sejak perrtengahan tahun 1997.

Tentu saja BPPN tak bisa bekerja sendirian. Dibutuhkan prasyarat berupa dukungan dan visi yang sama dari seluruh lembaga pemerintah seperti kejaksaan, kepolisian, seluruh kementerian ekonomi, dan tak lupa Bank Indonesia. Selain itu harus ada hukum, politik, dan keamanan yang kondusif.

Namun apa mau dikata. Karena menguasai aset Rp 650 milyar, BPPN menjadi incaran banyak pihak. Ibaratnya, BPPN adalah gula yang dirubung semut, dari semut hitam sampai semut hutan yang ganas. Celakanya, kondisi hukum, politik dan keamanan masih terus meledak- ledak sejak lahirnya BPPN pada bulan Februari 1998. Salah satu akibatnya adalah bukan dukungan dan visi yang sama antarlembaga pemerintah yang didapat, malah intrik yang menghabiskan energi yang terjadi. BPPN punya kesepakatan dengan debitor untuk menyelesaikan utang piutang di luar pengadilan, tetapi kejaksaan jalan sendiri. Tim menteri ekonomi yang tergabung dalam Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang merupakan bos BPPN, sekarang maunya begini, ganti personel KKSK, ganti lagi kemauannya.

Tak urung dalam usianya yang keempat, lembaga ini sudah tujuh kali gonta-ganti kepala. Bambang Subianto, kepala BPPN pertama, cuma bertahan sebulan. Yang dikerjakannya baru menyusun rancangan tugas dan wewenang BPPN, yang akan dituangkan dalam Keppres, tetapi belum sempat diteken Presiden Soeharto waktu itu.

Kepala BPPN kedua, Iwan Prawiranata, bertahan tiga bulan dengan kesibukan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan menutup bank-bank bobrok. Praktis baru di bawah kepemimpinan kepala BPPN ketiga Glenn Yusuf, BPPN mulai bekerja. Tetapi, karena penguasa negara berpindah-pindah tangan, BPPN, juga mengalami intervensi tiada henti. Glenn diganti Cacuk Sudaryanto, yang kemudian diganti lagi oleh Edwin Gerungan. Edwin kemudian diganti I Gde Putu Ary Suta dan Putu diganti BPPN Arsyad Temenggung Senin 22 April barusan.

Kondisi ini tentu merepotkan sebab selain belum tentu kepentingannya, setiap pemimpin punya gaya dan kultur yang berpengaruh pada gaya dan kultur lembaga yang dipimpinnya. Di sinilah BPPN mengalami metamorfosis, tetapi perubahan bentuk ini bukannya makin sempurna, justru makin tak jelas dan persoalan yang dihadapinya pun makin runyam.

Penyelesaian bukannya bertambah cepat, tetapi justru tak karuan juntrungannya, makin jauh panggang dari api. Hal ini di mata investor tentu bisa jadi ukuran. Kondisi makroekonominya belum pulih benar, keamanan tidak stabil, BPPN juga tak jelas. Kalaupun mereka tertarik membeli aset di BPPN, terang mereka meminta harga dengan diskon segede gunung.

Glenn Yusuf menyiapkan sistem dan strategi besar BPPN, tetapi sayang tidak taktis terhadap situasi politik yang extra-hot saat itu. Aset-aset dari bank yang tutup masuk ke daftar aset berhasil dikuasai BPPN. Begitu juga aset yang merupakan jaminan dari kredit bermasalah di bank-bank yang menerima suntikan dana rekapitalisasi pemerintah ditransfer ke BPPN.

Bila pemilik bank ketahuan menyalahi peraturan karena melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK), BPPN juga meminta pemilik bank membayarnya dengan setoran aset. Waktu itu BPPN kerja siang malam mengumpulkan aset sebanyak- banyaknya. Makin banyak aset didapat, kemungkinan kerugian negara makin berkurang, tetapi sayang setelah masa itu hampir-hampir tidak ada lagi aset yang dapat dikumpulkan BPPN.

Cacuk Sudaryanto sebenarnya melanjutkan program, bahkan dengan gerakan yang cepat dan sigap, berani mengambil keputusan dan fokus pada restrukturisasi aset sambil menunggu jelasnya persoalan dokumentasi aset milik BPPN. Sayangnya, Cacuk mungkin kena intervensi, memilih-milih debitor mana saja yang harus segera menyelesaikan kewajibannya, dan debitor mana saja yang diberi kelonggaran.

Dengan maksud membersihkan BPPN dari praktik curang, Presiden Abdurrahman Wahid waktu itu mengangkat Edwin Gerungan sebagai kepala BPPN kelima. Hanya sayang, Edwin terlalu takut mengambil keputusan, yang memang lebih banyak bernuansa politis dari pada ekonomisnya. Penyelesaian masalah debitor jadi terkatung-katung tak jelas. Sementara biaya yang harus ditanggung rakyat Indonesia atas lambatnya pengambilan kepusan di BPPN sekitar Rp 150 milyar per hari. Ini adalah biaya bunga obligasi rekapitalisasi yang harus dibayar pemerintah ke bank-bank yang menerima suntikan dana rekapitalisasi.

Mission Impossible

Kondisi yang makin memburuk ini masih harus ditambahi oleh satu faktor lagi. Pemerintah tak jelas memberi tugas BPPN karena BPPN dibebani dua tanggung jawab yang saling bertolak belakang. Di satu sisi BPPN bertugas mengurangi kerugian negara dengan melakukan restrukturisasi sehingga nilai aset tidak jeblok. Bila kondisi makro membaik, keamanan terjamin, BPPN baru akan menjual aset yang didapat dengan harapan harga asetnya ikut naik.
Bila banyak investor tertarik, harga aset BPPN bisa terdongkrak naik, kerugian negara bisa diminimalkan.

Di sisi lain, BPPN juga dibebani tanggung jawab yang cukup berat untuk menyetor duit ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan beban tugas menyetor ke pos penerimaan di APBN. Tidak mungkin mencapai keduanya secara bersamaan, dan bagi sebagian kepala BPPN yang paling gampang ya Obral! Sale!

Transparan

Nah, kepala BPPN harus pandai-pandai memilih aset mana yang bisa maksimal dijual sekarang dan aset mana yang harus direstrukturisasi dulu, lalu bisa dijual belakangan untuk mendapatkan harga lebih baik. Celakanya, paling gampang mengukur kesuksesan kepala BPPN adalah bila ia mampu memenuhi setoran ke APBN, walaupun dengan cara mengobral "ten cents a dollar!".

Jadi, restrukturisasi diabaikan dan penjualan diutamakan. Tetapi, menjual aset dengan cara membabi buta dan menghalalkan segala cara jelas bukan cara yang baik dan tidak bisa dipakai sebagai standar kesuksesan.

Ambil contoh struktur BPPN yang sempat dibuat sentralistis dengan maksud mempercepat pengambilan keputusan. Namun, sebagai konsekuensi keputusan yang sentralistis, kepala BPPN punya ruang yang cukup lebar untuk memainkan kepentingan, baik kepentingan dirinya sendiri, kepentingan orang-orang dekatnya, kepentingan golongan tertentu atau malah kepentingan debitor dengan kompensasi tertentu.

Mekanisme pengambilan keputusan yang tersentralisasi ini juga membuat informasi jadi sangat terbatas. Bila informasi menjadi barang langka, otomatis timbul peluang adanya jual-beli informasi atau calo-calo yang sok menjadi dewa penyelamat debitor karena merasa berjasa atas informasi yang ia miliki.

Jangankan publik, menurut orang dalam BPPN sendiri yang saya dengar, para staf tidak tahu sampai di mana proses yang tengah dijalani oleh debitor tertentu. Situasi yang serba gelap ini tak pernah diketahui publik. Proses di dalam BPPN tak pernah kena sorot pers. Yang muncul ke permukaan hanyalah pucuk gunungnya saja, sedangkan badan gunung masalah tidaklah tampak.

Selain ukuran prosedur dan kewenangan, etika harus penjadi ukuran kunci, sayangnya yang satu ini sulit mencari standarnya. Kalau BPPN memang mau berdandan rapi di muka publik bahwa dirinya bersih dari KKN, hal-hal seperti ini mestinya tak perlu terjadi. Dengan demikian jelas bahwa kinerja BPPN di satu sisi tertinggal oleh pemberitaan di media massa pada sisi yang lain.

Ada jurang perbedaan antara performance BPPN dan kepalanya di media massa yang diketahui publik dengan performance BPPN yang sesungguhnya, terutama yang menyangkut proses pengambilan keputusan. Sadar tidak sadar pemberitaan selama ini adalah pemberitaan yang mengalami distorsi.

Kepercayaan publik

Lepas dari kecurigaan sebagian orang per orang, yang pasti BPPN pada awalnya berani terbuka untuk mengatakan sampai di mana proses penyelesaian setiap debitor. Divisi komunikasi diberi keleluasaan dan akses yang sangat besar ke seluruh divisi di dalam BPPN, bahkan menjadi anggota Board of Directors walaupun tidak memiliki hak suara, tetapi yang didengarkan masukkannya dalam proses pengambilan keputusan.

Yang disampaikan ke publik adalah proses riil yang sedang berjalan. Misalnya saja, setiap minggu ada jadwal yang jelas untuk mengumumkan status debitor, dari debitor satu ke debitor lain secara bergiliran. Lalu apa keuntungannya bagi BPPN? Debitor yang mbalelo akan antre di depan pintu BPPN ingin segera bicara dengan staf BPPN agar ada kemajuan dalam proses penyelesaian kewajibannya. Itu semua dilaporkan kepada publik secara transparan.

Dengan demikian, BPPN menggunakan startegi komunikasi sebagai alat untuk mempermudah proses negosiasi dalam penyelesaian kewajiban debitur. Masyarakat mengalami pembelajaran bahwa membayar utang itu penting karena negara telah merugi.

Lalu bagaimana sekarang nasib debitor-debitor itu? Tugas BPPN- lah mengumumkan status penyelesaiannya. Ada debitor yang sudah membayar, ada yang empat tahun kerjanya cuma negosiasi dan belum bayar sepeser pun, ada juga debitor yang kabur atau pengadilan justru memenangkan debitor padahal sudah mencuri uang nasabah di bank bekas miliknya. Semua itu terjadi karena ketidaktransparanan.

Kalau BPPN belum bisa menagih uang negara, masyarakat harus tahu apa alasannya. Apakah sistem di BPPN yang bobrok, sistem peradilannya yang keliru, atau memang debitornya yang ngemplang dengan mengorbankan seluruh masyarakat Indonesia, karena seharusnya kewajiban itu adalah tanggung jawab debitor yang bersangkutan saja.

Standar penanganan debitor walaupun secara teknis sangat kontekstual, harus memenuhi rasa keadilan dan tegas. Jika satu pihak saja dimanjakan, maka BPPN akan pusing tujuh keliling karena jutaan yang lain akan minta perlakuan yang sama.

Hal lain yang harus dilakukan selain membuat sistem yang transparan terhadap setiap proses yang sedang berjalan adalah menunjuk juru bicara BPPN, orang yang dipasrahi tanggung jawab untuk bicara pada publik. Orang ini harus berbicara atas nama dan untuk kepentingan BPPN, bukan orang perorang atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Karena itu komunikasi dilakukan secara professional dan bukan emosional. Tanggung jawab sebagai spoke person ini jangan diambil alih oleh kepala langsung, tetapi memberi kesempatan pada anak buahnya bercerita atau menunjuk orang lain yang bisa memberi keterangan dengan lebih detil dalam hal proses yang sedang berjalan di BPPN.

Biarkan sistem yang bekerja, buat prosedurnya, awasi pelaksanaannya, dan "jitak" kalau salah. Perlu dukungan staf yang profesional untuk mengurus hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab stafnya. Hal ini mudah sebetulnya, asal BPPN jelas, profesional dan tidak neko- neko.

Mengkomunikasikan kerja BPPN adalah hal yang penting kalau tak mau dibilang paling penting. Soalnya, informasi yang muncul ibarat pedang bermata dua. Yang satu bisa membunuh diri sendiri, yang lain bisa dipakai untuk mecapai tujuan. Dengan kata lain, komunikasi bisa menjadi racun yang mematikan bila diminum, tetapi juga sekaligus obat mujarab yang bisa menyembuhkan banyak penyakit kronis. Nah, arti penting komunikasi inilah yang mestinya mendapat perhatian yang cukup serius dari kepala BPPN yang baru, A Temenggung.

Sepanjang ada keseimbangan antara performance yang baik dari sistem kerja di BPPN dan mengkomunikasikan hal itu ke publik, maka BPPN dengan sendirinya akan mendapatkan kepercayaan publik. Sebaliknya, sebaik apa pun pekerjaan BPPN tetapi bila tidak mengomunikasikan diri di depan publik, maka BPPN hanya akan jadi santapan empuk berbagai pihak yang ingin menyudutkan BPPN.

Sedang bila baik dalam berkomunikasi tetapi tak diimbangi oleh kinerja yang transparan, akibatnya sudah bisa diramal, kepala BPPN nasibnya akan mirip dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Strategi komunikasi ini bukan cuma bisa dipakai oleh BPPN sebagai payung menghadapi hujan serangan dari debitor, tetapi juga bisa dipakai untuk melindungi diri atau mensterilkan diri dari intervensi, mulai dari intervensi Menneg BUMN sebagai atasannya langsung, KKSK, atasannya tidak langsung, Presiden hingga para anggota DPR yang terhormat.

Soalnya, kendati aset yang tersisa tinggal yang relatif busuk, BPPN masih dianggap tambang emas oleh mereka yang mengharapkan keuntungan. Bila BPPN imun, maka BPPN lebih mudah dalam menjalankan pekerjaannya, tidak dikutak-katik atau diintervensi oleh pihak lain. Bila itu bisa terjadi, maka seluruh rakyat bisa tidur nyenyak dan makin percaya pada BPPN. Artinya, BPPN bisa menjadi penjaga kepercayaan publik.

Mampukah BPPN membenahi lagi citranya yang sudah telanjur tidak keruan seperti sekarang ini? Jawabannya tergantung pada BPPN sendiri, apakah BPPN dapat dipercaya? Yang pertama kepala BPPN harus bisa meyakinkan publik bahwa dirinya bukan orang yang biasa melakukan patgulipat. Teman adalah teman, bos adalah bos. Tetapi secara fungsional, BPPN harus berani berdiri di atas kakinya sendiri sebagai badan profesional.

Kalau BPPN gagal pada langkah pertama ini, dapat dipastikan kinerjanya di BPPN bakal jadi bulan-bulanan.

Kedua, BPPN harus bisa meningkatkan kinerja sesuai dengan fungsinya, menyehatkan perekonomian dan meminta debitor menyelesaikan kewajibannya.

Yang terakhir dan patut digarisbawahi adalah mampukah BPPN mengkomunikasikan dirinya sendiri kepada publik. Di sinilah peran public relations menjadi sangat strategis.

CHRISTOVITA WILOTO,
Mantan Agency Secretary BPPN,
Managing Partner Power PR-Christovita Wiloto & Co

www.wiloto.com

www.wiloto.com