Wednesday, January 18, 2006

Longsor & Formalin




Longsor & formalin
Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com

Awal 2006 sejatinya akan kita sambut dengan suka cita. Dengan semangat baru untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera, lebih berkualitas, lebih cerdas, lebih martabat, lebih sehat, lebih berbudaya, dan bebas korupsi. Tapi, ternyata alam berkehendak lain. Rentetan musibah langsung mengharu-biru bangsa ini. Di Jember, Jawa Timur, banjir lumpur menerjang sejumlah desa di kabupaten yang berada di lereng Gunung Argopuro itu.
Ratusan orang meninggal dalam musibah yang terjadi persis di saat pergantian tahun. Sementara di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sebuah bukit longsor, menimbun lebih dari 200 orang di Desa Sijeruk.
Bencana serupa, dalam skala yang lebih kecil, juga terjadi di beberapa daerah lain. Seperti biasa, berbagai silang pendapat soal penyebab bencana lalu muncul di media massa. Ada yang bilang, bencana tersebut murni karena perubahan iklim, akibat badai yang terjadi di belahan dunia lain.
Tapi banyak pula yang memastikan, banjir lumpur dan tanah longsor adalah ulah manusia-yang seenaknya menggunduli hutan, atau mengubah peruntukan lahan tanpa mempedulikan akibatnya. Akibatnya, ''Alam murka karena kejumawaan kita,'' ujar seorang teman.
Banjir, sebenarnya bukan monopoli saudara-saudara kita yang berada di kawasan perdesaan, tapi juga kita semua yang tinggal di daerah perkotaan. Pada 2002, misalnya, banjir besar merendam Jakarta-termasuk halaman Istana Presiden.
Banjir itu mengakibatkan 70% ruas jalan termasuk jalan tol dan pusat Bisnis rusak parah. Lebih dari 50 orang meninggal terbawa arus banjir diikuti puluhan korban lainnya akibat penyakit demam berdarah dan malaria. Ratusan ribu penduduk meninggalkan tempat tinggal untuk mengungsi. Total kerugian diperkirakan miliaran rupiah atau setara dengan ratusan ribu dolar AS.
Ironisnya, kita seperti pasrah saja menerima musibah itu. Tak ada perbaikan signifikan pada tata ruang kota untuk mencegah terulangnya bencana itu. 'Sabuk hijau' yang idealnya mencapai sepertiga dari total wilayah kota- jika ingin kota itu memiliki areal resapan air yang cukup untuk mencegah banjir-justru makin tergerus. Jakarta, hanya memiliki kurang dari sepersepuluh wilayah 'hijau' di seluruh kota.
Dengan kondisi itu, tak heran kalau banjir seperti menjadi 'tamu tahunan' bagi Jakarta. Dan, sebuah perusahaan rokok dengan jitu menyindir ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta mengatasi banjir dengan iklannya bertajuk, Banjir kok jadi tradisi. Tanya Kenapa?
Kebodohan atau kejahatan
Bencana yang tak kalah mengerikan, juga mengancam dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Oktober dan November 2005 lalu menyebutkan, sejumlah makanan yang beredar di pasar mengandung bahan kimia berbahaya, semacam formalin, boraks, pewarna tekstil dan sebagainya.
Bahan-bahan kimia itu kalau dikonsumsi terus menerus bisa merusak kesehatan-mulai dari kanker, kelumpuhan syaraf, bahkan kematian. Yang menyedihkan, kejadian itu-pencampuran bahan kimia berbahaya-ke berbagai makanan yang umum kita konsumsi tadi, telah berlangsung tahunan. Temuan serupa seperti yang diperoleh BPOM juga pernah terungkap beberapa tahun lalu.
Tapi kita semua-para konsumen-seakan terbutakan. Atau memang merasa tak peduli. Entah karena tak paham. Atau tak dapat menghindar dari kenyataan-kenyataan tersebut. Sehingga oknum yang melakukan praktik tak terpuji itu terus melakukannya tanpa 'merasa bersalah.'
Walau, mereka-para pengoplos makanan dengan bahan kimia berbahaya tadi-juga melakukannya lantaran dua hal. Pertama, karena tak paham, bahwa bahan kimia yang dicampurnya ke makanan tadi bisa mengancam nyawa konsumen. Ini adalah sebuah kobodohan.
Kedua, mereka paham (bahkan sangat paham) bahaya bahan-bahan kimia tadi. Tapi hanya karena ingin memperoleh keuntungan lebih, mereka melakukannya tanpa merasa perlu peduli pada dampak negatif yang bakal diterima konsumennya. Artinya, ada unsur kesengajaan, dan kejahatan di sini.
Keduanya harus diberantas. Hanya, cara memberantasnya yang berbeda. Untuk yang pertama, karena itu terkait kebodohan, tentu saja, solusinya adalah dengan memberi pengetahuan dan pembelajaran. Ini harus menjadi sebuah 'program nasional'-karena mencerdaskan kehidupan bangsa tak bakal efektif jika cuma dilakukan secara parsial. Hanya menyentuh sekelompok orang saja. Tapi harus dilakukan hingga ke pelosok negeri.
Sedangkan untuk yang kedua, sanksinya perlu lebih tegas. Kesengajaan mencampur bahan kimia berbahaya pada makanan yang dikonsumsi umum adalah kejahatan yang amat keji. intellectual, kalau motifnya adalah untuk mencari keuntungan pribadi.
Oknum yang melakukan harus dijerat dengan hukuman pidana. Sanksi untuk mereka bisa disamakan dengan para pengedar narkoba. Bukan cuma karena kadar bahaya serta dampak yang ditimbulkannya. Tapi juga lantaran korban yang paling banyak terkena adalah anak-anak, generasi penerus bangsa. Kalau anak-anak tak terlindungi dari ancaman seperti itu, sulit membayangkan, apa jadinya negeri ini kelak.

www.wiloto.com

www.wiloto.com