Sunday, January 26, 2003

Apollo 11 & Komunikasi Saat Krisis



Apollo 11 & Komunikasi Saat Krisis
Bisnis Indonesia 26 Jan, 2003

Sejarah Apollo adalah sejarah umat manusia. Terutama bangsa Amerika. Namun, ketika ada yang meragukan keotentikan pendaratan Apollo 11 di Bulan pada Juli 1969, hebohlah seluruh Negeri Paman Sam.

Apalagi, keberhasilan misi Apollo 11, yang diawaki Neil Amstrong dan Edwin 'Buzz' Aldrin, selama bertahun-tahun dijadikan simbol kemenangan bangsa Amerika atas Uni Soviet dalam persaingan menaklukkan angkasa luar. Soviet sendiri sebelumnya berhasil meluncurkan Soyus -pesawat berawak pertama ke luar orbit Bumi. Tapi Soyus tak pernah mendarat di Bulan.

Salah satu figur yang paling sering bersuara keras meragukan keberhasilan misi Apollo 11 adalah Bart Sibrel-sutradara lokal yang dikenal cerdas dan cermat dalam membuat film. Setidaknya, ada lima kejanggalan yang selalu dipertanyakan Sibrel

Pertama, dalam foto-foto pendaratan Amstrong dan 'Buzz' Aldrin di Bulan, bendera AS Stars and Stripes tampak berkibar-kibar. Padahal, Bulan adalah kawasan hampa udara.

Kedua, beberapa foto menunjukkan adanya huruf C di batu dan pasir Bulan. Sejumlah studio Hollywood juga kerap menandai propertinya dengan huruf yang sama, sehingga ada pertanyaan, jangan-jangan pendaratan Apollo 11 di Bulan sebenarnya dilakukan di sebuah studio raksasa Hollywood, di lokasi yang dirahasiakan.

Ketiga, bayangan Amstrong dalam foto-foto lain saling bertabrakan dengan bayangan objek lain. Padahal, bayangan yang muncul karena sinar Matahari selalu jatuh sejajar. Jadi, mungkinkah ini terjadi karena adanya beberapa sumber sinar sekaligus, seperti yang biasa terjadi dalam sebuah studio film?

Keempat, Apollo 11 mengangkut kendaraan Bulan, Lunar Roving Vehicle, yang berukuran 3,1 m x 1,3 m. Sementara, ukuran Apollo 11 sendiri hanya 1,5 m x 1,3 m.

Dan yang terakhir, dari seluruh foto publikasi pendaratan Apollo 11 di Bulan, tak ada satu pun yang menampakkan bintang berkilauan. Padahal, di kawasan hampa udara seperti di Bulan, bintang mestinya tampak jauh lebih terang ketimbang di Bumi yang udaranya pekat oleh polusi.
Berbekal argumentasi di atas, Sibrel pernah meminta 'Buzz' Aldrin bersumpah di atas kitab Injil bahwa ia memang pernah berjalan-jalan di Bulan. Akibatnya, 'Buzz' naik pitam, dan memukul Sibrel di sebuah hotel di Los Angeles.

Untuk meredam silang pendapat tersebut, NASA mencoba mereaksinya dengan membuat semacam buku putih soal misi Apollo 11. Mereka meminta James Oberg, kolumnis antariksa kenamaan, untuk menulis buku tersebut.

Konon, Oberg dibayar Rp150 juta (kala itu) untuk merealisasikan buku putih tersebut. Tapi anehnya, proyek 'buku putih' NASA tadi tiba-tiba dibatalkan, hanya sehari setelah pengumuman jadwal terbitnya.

Dalam situasi seperti itu sangat wajar bila pihak yang terpojok tiba-tiba menjadi terkejut, panik, lalu lepas kontrol karena tak siap mental. Inilah yang terjadi pada 'Buzz' Aldrin, sampai ia menonjok Sibrel.

Ini sungguh sebuah sikap yang tak layak dilakukan oleh seorang 'pahlawan bangsa'. NASA juga tampak over reaktif dengan proyek buku putihnya, meski kemudian dibatalkan tanpa penjelasan apa pun.

Langkah kongkret

Kontroversi misi Apollo 11 merupakan contoh menarik dalam studi public relations (PR). Khususnya, terkait dengan pengelolaan komunikasi saat krisis.

Dalam kasus ini yang dimaksud dengan krisis adalah keraguan publik terhadap kebenaran pendaratan Apollo 11 di Bulan, kecurigaan adanya rekayasa misi yang sebenarnya hanya berupa cerita celluloid.

Kecurigaan seperti ini sangat beralasan mengingat saat ini teknologi sinema semakin canggih dan memungkinkan terjadinya rekayasa terhadap pencapaian berbagai kepentingan.

Namun, dalam menghadapi kasus-kasus semacam itu, seorang PR seharusnya membuat sejumlah langkah kongkret. Dimulai dengan memberi penjelasan selogis mungkin terhadap kritik yang muncul.

Saat dicerca dengan argumen yang memang kuat seperti itu, NASA dapat memberikan penjelasan ilmiah yang bisa diterima akal. Misalnya, bendera Stars and Stripes tampak berkibar karena memang sengaja dipasang kayu melintang di ujung atas tiangnya, sehingga bendera itu tampak seakan-akan tertiup angin.

Atau bayangan yang saling bertabrakan adalah akibat distorsi kamera, dan Lunar Roving Vehicle bisa muat di kabin Apollo 11 yang berukuran lebih kecil karena ia diangkut dalam keadaan terurai, dan seterusnya.

Krisis komunikasi dapat juga terjadi dalam kasus lain. Misalnya soal rencana merger bank yang mungkin berakibat pada terjadinya rush, seorang PR bisa meredamnya dengan mengingatkan publik bahwa pemerintah masih menjamin dana nasabah bank.

Atau kalau ada kabar produk yang dikeluarkan klien kita ternyata tak baik untuk kesehatan, sebaiknya cepat dikatakan bahwa terhadap produk itu akan dilakukan penelitian lebih cermat, dan kalau perlu, produk tersebut segera ditarik dari pasaran.

Singkatnya, saat krisis terjadi ada beberapa hal yang harus dipegang teguh oleh seorang PR, agar citra perusahaan tak langsung ambrol hanya karena satu kritik.

Jangan membuat spekulasi apa pun terhadap situasi yang terjadi. Jangan pernah mencoba membohongi publik. Tetap lah pada fakta yang terjadi. Jangan pula melawan arus pemberitaan media, cermati saja ke mana arahnya, lalu berikan penjelasan secara gamblang bagaimana kejadian yang sebenarnya.

Usahakan Anda-sebagai seorang manajer PR-selalu menjadi sumber utama yang menjernihkan semua persoalan yang muncul. Di sini tetap lah bersikap tenang dan siap bekerja sama dengan siapa pun.

Dengan resep seperti itu akar permasalahan dapat diatasi. Bukan tidak mungkin pihak-pihak yang selama ini bersikap apriori menjadi simpati. Semua itu memang butuh profesionalitas yang tinggi. Tidak susah bukan?

Sumber:
Bisnis Indonesia
Oleh:
Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia

Sunday, January 12, 2003

Michelle Yeoh: Truly Asia!



Michelle Yeoh: Truly Asia!
Bisnis Indonesia 12 Jan, 2003

Anda pasti kenal siapa dia, aktris Asia Tenggara pertama yang menjadi pendamping James Bond, agen rahasia Inggris berkode 007, dalam petualangannya yang sensasional. Yeoh bermain bersama Pierce Brosnan dalam Tomorrow Never Dies(1997).

Sebelum Yeoh, sebenarnya pesona Asia, sudah pernah dimunculkan produser James Bond melalui aktris Jepang, Akiko Wakabayashi, yang tampil sebagai Bond's Girl dalam seri You Only Live Twice (1967).

Berbeda dengan Yeoh yang tampil eksplosif dengan kekuatan akting dan ketrampilan bela dirinya, peran Wakabayashi tak lebih dari sekadar 'pemanis' belaka.

Permainan ciamik Yeoh, tak cuma mengangkat namanya ke deretan aktris laris, tapi juga melambungkan citra negaranya, Malaysia, ke pentas dunia. Setidaknya, mata komunitas perfilman internasional jadi terbuka, bahwa ada negara di semenanjung Melayu yang mampu melahirkan aktor berkelas Hollywood.

Tak heran, kalau konon, Yeoh sempat dianugerahi gelar kebangsawanan dan dihormati sebagi 'Pahlawan' oleh pemerintah Malaysia. Bayangkan, betapa pemerintah Malaysia sadar betul arti dari komunikasi strategis yang dilakukan Yeoh!! Dijadikan maskot, sekaligus anchor untuk iklan pariwisata Malaysia. Dalam iklan tersebut, dengan senyumnya yang eksotik, Yeoh mengundang pelancong dari seluruh dunia dengan gumamannya, 'Malaysia, truly Asia.'

Slogan pariwisata Malaysia itu sendiri, sebenarnya agak provokatif. Bangsa Asia lain, termasuk Indonesia, sebenarnya berhak tersinggung dengan klaim tersebut.

'Malaysia, Asia yang sebenar-benarnya' hanya dengan bermodalkan tiga etnis Melayu, Cina & India yang tinggal di Malaysia- memangnya Indonesia, Cina, Jepang, Korea, Singapura, India, atau Thailand bukan Asia betulan?

Tapi justru itulah kekuatan komunikasi Malaysia tadi. Mereka-melalui popularitas Yeoh-seakan ingin berteriak ke seluruh dunia, 'Kalau ingin melihat atau merasakan pesona Asia, datang saja ke Malaysia.'

Sungguh, apa yang dilakukan Malaysia Tourism and Promotions Board (MTPB), benar-benar menunjukkan bahwa mereka memiliki strategi komunikasi bisnis dan public relations (PR) yang amat kuat. Melalui slogannya tadi, mereka secara tegas telah menunjukkan positioning Malaysia sebagai tujuan wisata wajib bagi para turis yang ingin berkunjung ke Asia.

'Malaysia, trully Asia' secara gamblang juga mengungkapkan visi pemerintah Malaysia di masa depan, yang ingin menjadikan pariwisata sebagai salah satu andalan pendapatan negara.
Suatu tekad, yang (mungkin) agak berlebihan, karena-di banding Indonesia, misalnya -Malaysia sebenarnya tak memiliki cukup banyak obyek wisata.

Optimalkan komunikasi

Tapi sekali lagi, kecerdikan dalam mengoptimalkan kekuatan komunikasi dan PR, menjadi kunci sukses.

Sesuatu yang sebelumnya terlihat biasa, dapat dikemas menjadi sesuatu yang luar biasa. Pariwisata Malaysia-setidaknya kalau disimak dari iklan yang dibintangi oleh Michelle Yeoh tadi - hanya mengandalkan pantai, masakan tradisional, dan upacara adat yang barangkali tak lebih dahsyat dari yang dimiliki Indonesia.

Kalau pun ada nilai lebihnya, karena semua itu dikemas dalam komunikasi dengan standar internasional.

Selain itu, satu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan, adalah keberhasilan pemerintah Malaysia 'menjual' landmark negara itu, KLCC (Kuala Lumpur City Center) yakni menara kembar Petronas, sebagai simbol keberhasilan ekonomi sekaligus kemakmuran Malaysia.
Dalam berbagai iklan, brosur, atau booklet pariwisatanya, MTPB selalu menyertakan gambar KLCC Petronas di dalamnya.

Strategi itu secara jitu telah menancapkan citra positif ke seluruh dunia. Walaupun sebenarnya Kuala Lumpur sendiri tidaklah lebih indah dibanding Jakarta.

Karenanya, sangat wajar jika pemerintah Malaysia terpaksa harus mencekal film Entrapment, yang dibintangi oleh Sean Connery dan si jelita Catherine Zeta Jones. Pasalnya, film yang diproduksi oleh 20th Century Fox (1999) itu secara tak senonoh menggambarkan seakan-akan menara kembar KLCC Petronas dibangun di tengah kawasan kumuh (syuting sebagian dilakukan di Malaka)-situasi yang secara tak langsung menggambarkan masih besarnya ketimpangan ekonomi di Malaysia. Malaysia sadar betul apa efek yang diciptakan film itu, yang akan sangat membentuk persepsi publik internasional terhadap Malaysia.

Untuk urusan Public Relations Indonesia ke dunia internasional, barangkali kita perlu belajar dari apa yang dilakukan Malaysia.

Saya yakin, kita bisa. tinggal bagaimana strategi komunikasi dibuat lebih profesional, jangan sekadar dilihat sebagai proyek 'bancakan nasional' yang akhirnya tidak pernah mencapai sasaran.

Apalagi, kita punya lebih banyak obyek wisata, yang jauh lebih cantik ketimbang Malaysia. Tapi sayang, Michelle Yeoh memang tak lahir di Indonesia, he...he...he.. Selamat memasuki tahun 2003!

Sumber:
Bisnis Indonesia
Oleh:
Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
email:
powerpr@wiloto.com
website:
www.powerpr.co.id

www.wiloto.com

www.wiloto.com