Monday, February 27, 2006

Petrokimia

Petrochemical Refinery UK
Bisnis Indonesia
Februari 28, 2006

oleh
Christovita Wiloto
CEO
Wiloto Corp Asia Pacific
powerpr@wiloto.com

Kita tidak bisa menutup mata bahwa perekonomian nasional kita mulai merangkak mencoba bangkit. Walau dampaknya terutama di kalangan bawah belum terasa. Walau harus diakui pemerintahan nampak cukup konsisten dengan upaya memberantas korupsi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi yang secara perlahan namun pasti dibongkar habis.

Di luar itu, meskipun tanpa regulasi-regulasi baru, kehidupan industri, termasuk industri petrokimia baik hulu maupun hilir berjalan seperti adanya. Kenyataan ini membuktikan bahwa industri yang bergerak di sektor ini mampu menghidupi dirinya sendiri dan tetap eksis untuk menopang mitra bisnisnya yang lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, industri petrokimia (baik hulu maupun hilir), praktis berjalan dan mampu melindungi dirinya tanpa harus minta proteksi pemerintah. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan pemerintah kita tempo hari yang sebentar-sebentar mengeluarkan kebijakan yang setengah memaksa yang akhirnya malah menjadi bumerang buat industri ini.

Di tengah semakin terus melambungnya harga minyak dunia, kita tidak bisa pungkiri bahwa salah satu pilar kekuatan perekonomian Indonesia adalah hasil tambang, khususnya minyak dan gas. Selama ini, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia lebih difokuskan pada ekspor.

Karenanya kita sayangkan bila sumber daya alam migas Indonesia yang sangat besar ini tidak dikembangkan dalam satu industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Padahal industri hulu migas tidak kalah penting jika dibandingkan dengan industri hilirnya.
Idealnya pengembangan industri hulu migas inilah yang harus dimanfaatkan sebagai salah satu strategi dalam mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Misalnya Thailand dan Vietnam, yang telah jauh mengembangkan industri ini.

Potensi Strategis
Dalam soal pengembangan industri petrokimia hulu ini, sebenarnya kita sudah mempunyai potensi strategis. Industri ini memang sempat mengalami krisis keuangan. Tapi lambat laun, industri petrokimia hulu ini secara swadaya terus melakukan konsolidasi dan berbenah diri. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana jika industri pretrokimia hulu yang sudah berdiri ini tidak beroperasi, padahal begitu banyak industri hilir yang mengandalkan perusahaan ini, terutama dalam pengadaan bahan baku.

Strategis karena jika industri petrokimia hulu ini tidak beroperasi, otomatis industri hilirnya seperti pabrik tekstil berskala besar maupun kecil akan menyusul mati. Belum lagi para distributor, pedagang tekstil, dan sebagainya. Jika ini terjadi, tidak bisa kita bayangkan betapa repotnya pemerintah, sebab jumlah pengangguran pasti bakal meningkat.

Sebagai gambaran, jumlah pengangguran di Indonesia hingga saat ini masih bertengger pada angka 40 juta orang. Berita-berita yang dilansir media massa, angka pengangguran itu tidak pernah turun. Akhir-akhir ini, media massa bahkan sering memberitakan ribuan orang berbondong-bondong memperebutkan formulir pendaftaran untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).Bukan cuma itu, acara bursa-bursa kerja yang banyak digelar di sejumlah kota disesaki banyak calon pekerja.

Bahwa industri petrokimia -- baik hulu maupun hilir -- sudah terbukti sebagai industri yang penyebarannya hampir merata di Indonesia menyerap banyak tenaga kerja. Kita harus menggantungkan optimisme bahwa ke depan industri ini harus terus dikembangkan ke arah yang lebih baik.

Mengembangkan industri petrokimia jelas menguntungkan. Mengapa? Sebab produksi industri petrokimia seperti aromatic dan olefin sangat berperan dalam menunjang industri tekstil, plastik, karpet, benang untuk ban mobil, pestisida, dan obat-obatan.

Peranannya yang sangat strategis inilah yang juga telah berperan membuat harga produk petrokimia pernah berkisar US$400 sampai di atas US$1.200 per ton. Dari setiap tonnya, dapat menghasilkan keuntungan antara US$80-US$200 dari setiap 1 ton.

Prospek keuntungan inilah yang melatarbelakangi mengapa negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Iran, Qatar, dan Abu Dhabi termotivasi membangun industri petrokimia sampai tahun 2010 yang diperkirakan memproduksi olefin (ethylene) sebesar 15 juta ton per tahun.

Untuk keperluan itu, usaha patungan Saudi Arabia, Exxon Mobil, Shell, BP, dan Phillip akan menginvestasikan senilai US$10-15 miliar. Arab Saudi sendiri melalui Sabic memperoleh laba senilai US$1 miliar lebih dengan revenue US$ 7,6 miliar.

Demikian juga dengan Eropa Timur yang memprogramkan pembangunan industri petrokimia hulu dan turunannya sebesar 5 juta ton per tahun. China ternyata tidak mau ketinggalan, ikut mengembangkan industri petrokimia hulu ini. Informasi yang diperoleh, sampai tahun 2006, mereka merencanakan membangun industri petrokimia hulu berkapasitas 6,35 juta ton per tahun. Hal ini belum termasuk pembangunan industri petrokimia hulu hasil kerja sama antara Fujian Petrochemical, Exxon Mobil, dan Saudi Aramco berkapasitas 800.000 ton per tahun dengan nilai investasi sebesar US$ 3 miliar.

Indonesia yang sudah tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pengembangan industri petrokimia hulu ini, sudah seharusnya mengejar ketertinggalannya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan kapasitas aset yang telah dimiliki. Sekali lagi tanpa industri petrokimia hulu, kita bukanlah apa-apa

Sunday, February 19, 2006

Garuda; Berubah atau Mati



Bisnis Indonesia
Minggu 12 Februari 2006

Oleh Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific


Perubahan "logic of business" industri penerbangan ternyata
tak cuma memakan korban maskapai penerbangan gurem.
Perusahaan penerbangan sekelas Garuda
Indonesia pun harus ''mati-matian" memikul "warisan" beban utang ratusan juta dolar
AS. Perundingan restrukturisasinya pun berlarut-larut, tak kunjung
mencapai kesepakatan.

Dari 800 juta dolar AS utang Garuda, sebesar 510 juta dolar AS merupakan
utang ke European Credit Agency (ECA), 130 juta dolar AS ke pemegang surat
utang (promisorry note), sedangkan sisanya 160 juta dolar AS ke Bank
Mandiri dan kepada PT Angkasa Pura I dan II. Garuda juga belum sanggup
membayar utang sebesar 55 juta dolar AS kepada pemegang promissory note
yang jatuh tempo pada akhir Desember 2005.

Selain karena amat besarnya beban utang, tak kunjung selesainya negosiasi
dengan para kreditor, juga terkait pola penyelesaian utangnya. Secara
umum, para kreditor minta agar manajemen Garuda meng-update rencana
bisnisnya. Terutama terkait dengan dampak peristiwa bom Bali. Selain itu,
kreditor juga minta jaminan pemerintah Indonesia berupa kesanggupan
membayar utang, suntikan dana, dan jaminan kelangsungan bisnis Garuda.

Pemerintah Indonesia sudah mencoba membantu Garuda dengan memberi talangan
sebesar 56 juta dolar AS. Dana talangan dimaksudkan untuk menambah modal
kerja perusahaan.

Sementara, dalam arahannya, Kementerian Negara BUMN mendorong Garuda agar
melakukan aliansi strategis dengan perusahaan penerbangan skala global.
Selain melakukan tranformasi bisnis untuk mengantisipasi sengitnya
persaingan di industri penerbangan.

Intinya, apa pun pola restrukturisasi yang akan diajukan kepada kreditor,
usulan aliansi strategis merupakan salah satu pilihan yang harus
dijalankan Garuda. Tak heran kalau Garuda aktif melakukan penjajakan
dengan sejumlah perusahaan penerbangan asing, khususnya dari negara-negara
Eropa.

Namun, usulan aliansi strategis dengan maskapai asing inilah yang sempat
memicu pro dan kontra. Tak cuma di kalangan anggota DPR. Tapi juga di
antara pengamat dan praktisi industri penerbangan. Bahkan, Wapres Jusuf
Kalla pun sempat memberikan penilaian yang cukup mengagetkan.

Akhir tahun lalu, Wapres mengatakan, pemerintah tak lagi menganggap Garuda
sebagai simbol negara (flag carrier). Alasannya, era saat ini berbeda
dengan zaman dulu, sehingga bisa saja Garuda dijual kepada investor --
baik asing maupun dalam negri.

''Saat ini hampir tidak ada satu negara pun di dunia yang memiliki flag
carrier,'' kata Wapres, usai salat Jumat di kantornya.

Tren penjualan pesawat terbang yang menyimbolkan negara tertentu, lanjut
Kalla, sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Ia mencontohkan maskapai
penerbangan Qantas, KLM, atau Malaysia Airlines System (MAS).

Nilai Strategis Garuda

Sampai di sini, sebenarnya tak perlu ada silang pendapat. Sebab, saya kira
kita semua sebagai warga negara Indonesia, pasti berharap Garuda bisa
tetap gagah mengarungi udara. Tak sekadar menjadi ''jembatan'' dari
Indonesia ke negara lain (dan sebaliknya), tapi juga mampu menjadi duta
bangsa di pentas internasional.

Bahwa Indonesia memiliki seorang duta besar di hampir semua negara di
dunia, itu tetap harus diapresiasi. Namun, dengan berbagai kesibukannya di
tingkat elit, saya yakin seorang duta besar tak akan cukup intens
bersosialisasi dengan masyarakat, atau publik negara setempat.

Yang justru bisa lebih dalam ''masuk'' ke ruang publik, adalah perusahaan
penyedia jasa, semacam Garuda. Dengan fungsi dan perannya sebagai jembatan
udara bagi masyarakat yang ingin bepergian ke dan dari Indonesia,
keberadaan Garuda saya kira lebih ''eye catching'' dan familiar. Warga
beberapa negara Eropa, misalnya, mungkin lebih tahu di mana kantor
perwakilan Garuda, dibanding kantor kedutaan dan nama dubes Indonesia di
sana.

Dalam posisi seperti itu, dan tanpa mengurangi hormat pada apa yang telah
dilakukan atase kebudayaan di masing-masing kedutaan, saya kira Garuda
juga bisa lebih efektif dan efisien mempromosikan tidak hanya pariwisata
Indonesia, tapi Indonesia itu sendiri.

Nah, sekarang coba bayangkan seandainya Garuda tak lagi menerbangi jalur
ke kota-kota besar di dunia. Barangkali, popularitas Indonesia bakal
semakin buruk. Artinya, apa pun yang terjadi, rasanya
Garuda harus tetap mengudara, dan membawa kejayaan Indonesia di dunia
internasional.

Hanya saja, untuk itu, Garuda wajib mengubah total paradigmanya, dari
yang "hanya" sekedar sebagai sebuah BUMN, menjadi sebuah korporasi kelas dunia.
Sehingga ia mampu "bersaing" dengan maskapai-maskapai dunia,
semacam Singapore Airlines, Qantas, MAS atau Thai Airways.
Tidak hanya sekedar bersaing dengan masakapai-maskapai baru yang
sedang naik daun dan terus menggeliat
semacam Lion Air, Adam Air, Awair dan semacamnya.

Yang jadi persoalan sekarang, mengubah paradigma secara total bukanlah hal yang mudah.
Perlu "keteguhan hati" dan ''tangan besi'' untuk melakukannya. Bukan tak mungkin, langkah itu
akan sangat menyakitkan bagi sebagian kalangan. Baik di dalam Garuda
sendiri, maupun di pihak yang terafiliasi. Dan pasti banyak resistensi, terutama dari dalam
Garuda sendiri.

Crew dan manajemen Garuda tidak bisa terus berparadigma sebagai "anak emas"
dan merasa "berbeda". Paradigma lama harus segera berganti dengan pardigma baru yang selalu bersaing
untuk lebih melayani, lebih memuaskan. Garuda harus memahami dan mampu bersaing dengan "logic of business"
yang baru dari dunia penerbangan saat ini.
Agar menjadi Garuda yang "sehat", lincah dan siap terbang
bebas mengudara, bersaing dengan dunia.

Jelaslah, kini Garuda hanya punya dua pilihan saja.
Merubah total paradigmanya atau mati.

www.wiloto.com

www.wiloto.com