Sunday, December 29, 2002

Hollywood & Delicious Communications


Hollywood & Delicious Communications
Bisnis Indonesia 29 Dec, 2002

Sudah nonton film 'Die Another Day'? Kalau Anda ingin sedikit refreshing, dan sekadar ingin melepaskan diri dari tekanan kesibukan sehari-hari, boleh lah meluangkan waktu barang dua atau tiga jam untuk menyimak serial terbaru James Bond itu.

Dalam film yang digarap oleh sutradara asal Selandia Baru, Lee Tamahori ini, Bond -- agen rahasia Inggris, yang menyandang sandi 007 -- terlibat petualangan melawan pedagang berlian culas bernama Gustav Grave. Grave yang beraliansi dengan para pejabat militer komunis dari Korea Utara, Kuba dan Cina berambisi menguasai dunia dengan memanfaatkan Icarus, satelit pemantul sinar matahari yang juga berfungsi sebagai senjata mematikan.

Seperti film-film Bond terdahulu, jalan ceita 'Die Another Day' memang mudah diduga. Melalui kecerdikannya, dibantu dengan sejumlah peralatan (khususnya mobil) berteknologi canggih, Bond – yang dalam film ini diperankan oleh Pierce Brosnan -- dengan mudah bisa melumat lawan-lawannya.

Tapi justru karena tak perlu harus mengerutkan kening untuk memahaminya itu lah, 'Die Another Day' bisa menjadi sarana efektif untuk melepas lelah. Apalagi, selama 123 menit durasi film berbiaya 142 juta dolar AS itu, Anda juga disuguhi aksi-aksi pertempuran yang memacu adrenalin. Dan jangan lupa, di sana juga ada Halle Berry, aktris negro cantik, yang bermain sebagai Jinx, agen rahasia AS.

Film-film Bond, memang amat renyah untuk dinikmati. Karena itu, usai menontonnya, besar kemungkinan Anda akan pulang dengan 'kepala ringan', tapi sekaligus penasaran, apa yang akan ditampilkan lagi oleh para industriawan Hollywood untuk film Bond berikutnya. Peralatan canggih seperti apa lagi yang akan digelar, siapa lagi perempuan sexy yang akan mendampingi sang jagoan, dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah industri film, Hollywood memang telah menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat di dunia. Dia bisa mengarahkan kemana trend budaya pop masyarakat dunia, melalui film-film laris yang diproduksinya. Hollywood juga dengan mudah bisa memainkan peran sebagai institusi sales promotion yang sangat efektif.

Boleh percaya atau tidak. Tapi pabrik mobil Inggris Aston Martin -- yang seri terbarunya dipakai Bond sebagai kendaraan andalannya -- telah terjual lebih dari 700 unit, beberapa saat sebelum premiere 'Die Another Day' digelar di London. Padahal, harga tiap unit mobil itu mencapai 228 ribu dolar AS!

Penetrasi bisnis ala Hollywood seperti itu lah, yang di kalangan praktisi komunikasi, biasa disebut dengan 'delicious communications' -- komunikasi (bisnis) yang lezat. Dengan praktik seperti ini, sang komunikator bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin disampaikannya dengan amat halus. Bahkan 'lawan bicara' nya, sama sekali tak merasa terpaksa -- untuk sejumlah kasus, mereka malah menikmatinya -- untuk menelan semua yang ingin disampaikan sang komunikator.

Melalui film-film James Bond, Hollywood telah berhasil 'membentuk' opini dunia, bahwa AS, Inggris dan sekutunya adalah pahlawan dunia. Bond (yang filmnya kali pertama diproduksi sekitar 40 tahun lalu, dan kini telah memasuki episode ke 20) hampir selalu berhadapan dengan lawan-lawan yang tak lain adalah para pejabat militer atau pengusaha maniak asal Uni Sovyet. Maklum selama berpuluh tahun, musuh AS memang negeri berjuluk 'Beruang Putih' tersebut.

Tak cuma itu, melalui serial super hero lainnya, semacam Rambo (Silvester Stallone) dan Die Hard (Bruce Willis), Hollywood juga mampu 'menipu' dunia dengan menggambarkan betapa pemerintahan komunis di Vietnam Utara dan Eropa Timur, serta gerilyawan Islam di Timur Tengah, adalah adalah para teroris yang layak dibasmi.

Tentu saja, Hollywood tak mungkin melakukan semua itu sendirian. Untuk menjadikan dirinya sebagai sebuah 'kekuatan utama pembentuk opini dunia', Hollywood didukung oleh sejumlah investment banking dengan dana yang hampir unlimited. Mereka juga memiliki intelijen khusus yang punya akses kuat ke dinas-dinas rahasia AS -- salah satu indikasinya, hampir semua senjata canggih yang dipakai James Bond, belakangan terbukti sebagai senjata rahasia yang secara faktual memang dipakai oleh militer AS.

Sampai di sini, kita barangkali boleh gundah, karena berpuluh tahun telah 'tertipu' mentah-mentah oleh propaganda Hollywood. Namun, tentunya kita dapat mengambil banyak pelajaran dari apa yang dilakukan Hollywood. Khususnya bagaimana cara menciptakan komunikasi yang lezat tadi.

Friday, December 13, 2002

Syur Sendiri

Syur Sendiri
Bisnis Indonesia 13 Dec, 2002

Kita agaknya tak ingin setengah-setengah membenahi kembali citra Bali sebagai salah satu tujuan wisata paling eksotik di dunia. Karena itu, pasca Tragedi Legian 12 Oktober, semua unsur bangsa saling bahu-membahu menggalang aksi "Bali Recovery". Aparat kepolisian, seperti kita tahu, telah bekerja keras untuk mengungkap dan menangkap komplotan radikal yang dengan bom rakitannya meluluh-lantakan Sari Club dan Paddy's Café khususnya dan Asia Tenggara pada kenyataannya.

Sementara, para pengusaha hotel dan maskapai penerbangan ramai-ramai menawarkan diskon sampai separuh harga. Sedangkan, pemerintah dengan semangat menggebu menitahkan agar semua departemen sedapat mungkin menggelar acara resmi di Bali.

Maka November lalu, BPPN bekerja sama dengan bank-bank rekap pun menggelar perundingan akbar dengan para obligor besarnya di Kuta. Kantor Kementerian Negara BUMN pun tak segan men-sponsori konser Twilight Orchestra pimpinan Adie MS di tempat yang sama. Berapa ongkos yang dikeluarkan? Konon lumayan besar untuk semua ''kampanye'' itu.

Guardian of public trust

Aksi all out yang dilakukan pemerintah itu memang wajar. Mengingat gara-gara Bom Legian, peluang Indonesia meraup devisa dari sektor pariwisata sebesar 5,3 miliar dolar AS dipastikan tak akan terealisasi. Padahal, angka itu merupakan 10 persen dari total pendapatan dari sektor ekspor dan jasa pelayanan.

Namun, yang jadi pertanyaan, bagaimana mengefektifkan ''kampanye'' tadi? Untuk menjawabnya, tentu kita harus simak dulu, siapa target audience dari aksi ''Bali Recovery'' tersebut.

Kalau jawabannya adalah kalangan domestik, barangkali kita bisa bilang, ''ya''. Walaupun jawaban itu juga masih amat layak diperdebatkan. Sebaliknya, kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah komunitas internasional, maka kita harus jujur mengatakan, ''belum''.

Bayangkan, meski sejak aksi teror 12 Oktober lalu, ratusan wartawan dari luar negeri ''tumplek blek'' di Bali, tapi siapa di antara mereka yang tertarik meliput perundingan BPPN dengan para obligor kakapnya? Ketika tim investigasi pimpinan I Made Mangku Pastika sedang giat mengusut jaringan pelaku pengeboman, siapa pula yang merasa perlu mempublikasikan sebuah konser di tengah situasi yang masih mencekam dan penuh isak tangis di Bali? Perhatian publik dunia, saat ini memang masih akan terkonsentrasi pada kerja yang dilakukan tim Made Mangku Pastika. Artinya, menggelar berbagai macam acara entertainment, dan ekspose lembaga resmi pemerintah dan aneka seremonia lainnya di Bali, masih agak kurang efektif, dan seakan syur sendiri.

Terutama -- sekali lagi – jika target audience dari berbagai macam event itu adalah para turis dan pihak internasional lainnya. Kondisi yang terjadi saat ini, pada pihak internasional adalah paranoia, ketakutan yang berlebihan pihak internasional terhadap “terorisme” yang mereka pikir ada di Indonesia bahkan Asia Tenggara.

Mungkin lebih banyak manfaatnya jika kita fokuskan usaha Public Relations kita untuk menjawab masalah ini dalam bahasa yang dimengerti oleh publik internasional. Dipandang dari sudut Public Relations, kita harus mengakui bahwa PR bangsa kita ke publik internasional sangat lemah. Kita ahli di kandang sendiri, syur sendiri, bahkan disaat kritis dimana kita harus tampil di kancah global ini.

Dalam praktek Public Relations (PR), over expose yang syur sendiri seperti itu kerap terjadi di perusahaan-perusahaan. Misalnya, ketika perusahaan menyiapkan materi yang sekadar memaparkan kebaikan kinerja, tapi menutup diri dari kemungkinan munculnya sejumlah pertanyaan kritis dari publik dan media.

Atau memaksakan release-release yang tidak sesuai dengan selera publik, muncullah berita yang mungkin hanya dibaca oleh kalangan internal manajemen saja.

Dengan metode seperti itu, internal perusahaan mungkin akan terpuaskan dengan publikasi yang terjadi. Dan merasa targetnya telah terkomunikasikan ke publik dengan baik. Padahal, publik tidak aware.

Publik tak hanya butuh paparan kinerja yang serba ''mengkilap'', apalagi jika itu cuma sekadar kosmetis. Publik lebih membutuhkan kejujuran dan transparansi terhadap sesuatu yang menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab.

Di sini, PR harus menempatkan diri sebagai ''guardian of public trust'', penjaga kepercayaan publik. Memang, tak mudah melakukan peran tersebut. Tapi, justru itu lah tantangan terbesar dalam aktivitas PR modern saat ini.

www.wiloto.com

www.wiloto.com