Monday, April 10, 2006

Gelombang Merger & PHK












Bisnis Indonesia
Jumat, 07/04/2006

Gelombang merger & PHK
oleh : Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com


Laba mayoritas emiten perbankan per 2005 anjlok rata-rata 35% dibanding 204. Ada 22 eminten bank yang saat ini tercatat di lantai bursa. Total aset yang dimiliki 22 bank tersebut sebesar Rp1.033 triliun, atau 70% dari total seluruh aset perbankan nasional yang berjumlah Rp1.470 triliun.

Banyak analis yang mengatakan bahwa anjloknya laba perbankan disebabkan oleh situasi ekonomi makro 2005 yang buruk, sehingga rasio kredit bermasalah naik dan memaksa bank meningkatkan pencadangan penghapusan aktiva produktif (PPAP) atau provisi. Hal ini ditambah dengan naiknya suku bunga, dan lemahnya ekspansi kredit.

Selain fenomena kerugian perbankan, fenomena lain yang menarik adalah kepemilikan pihak internasional terhadap perbankan kita pun makin meningkat. Coba hitung, dari 20 bank dengan aset terbesar di Indonesia, berapa yang benar-benar masih dimiliki pengusaha Indonesia? Kecuali bank-bank BUMN yang dimiliki pemerintah, mungkin sudah tak ada lagi bank besar yang mayoritas sahamnya dikuasai pengusaha Indonesia.

BCA-bank swasta terbesar di Indonesia-pun kini sudah dimiliki lebih dari 51% Farallon Capital, AS, melalui Farindo Investment, sayap usahanya yang berkedudukan di Mauritius. Sementara Permatabank kini separo sahamnya sudah dikuasai Standard Chartered Bank, Inggris (separo sisanya dibeli Astra International). Lalu ada Bank Century yang kini jadi milik Chinkara Capital Ltd, Hong Kong. Serta Bank Panin yang sebagian sahamnya dilepas ke ANZ.

Demikian juga dengan Bank Danamon, BII, Bank NISP,atau Bank Buana. Semuanya kini sudah dimiliki investor Singapura. Asia Financial, menguasai Bank Danamon dan BII. Hanya saja di BII, Asia Financial tak sendirian. Iabergabung dalam konsorsium dengan Sorak Financial dan Kookmin Bank (Korea), ICB Financial (Malaysia) dan Barclays Bank (Inggris).

Lalu, UOB International Investment (anak usaha United Overseas Bank, Singapura) kini tercatat sebagai pemegang saham terbesar di Bank Buana. Sedangkan hampir semua saham Bank NISP diambil oleh OCBC Overseas Investment, anak perusahaan Overseas Chinese Banking Corp Ltd.

Seakan tak mau kalah dengan investor-investor Singapura, para pengusaha Malaysia juga berlomba membeli bank di Indonesia. ICB Financial yang telah memiliki sebagian saham BII, secara mayoritas menguasai saham Bank Bumiputera. Sedangkan Khazanah Nasional Bhd membeli saham Bank Niaga (melalui Commmerce Asset Bhd) dan Lippobank (melalui Santubong Investment BV).

Beralihnya kepemilikan saham bank-bank nasional itu, memang tak dapat dilepaskan dari maraknya penjualan aset yang dilakukan BPPN. Kala itu, bank-bank tersebut diagunkan oleh pemiliknya, para penerima dana BLBI. Status bank-bank itu pun menjadi BTO (bank take over).Bank-bank itu misalnya, BII, Danamon, Permatabank dan BCA.

Tapi kemudian, tren penjualan aset bank ke investor asing berlanjut hingga setahun terakhir. Bank Niaga, Bank NISP, Bank Buana, dan Bank Bumiputera dijual pemiliknya bukan lantaran ada kewajiban BLBI yang harus dibayar. Tapi lebih karena ada kalkulasi bisnis yang menarik.

Bank NISP, dan Bank Buana, misalnya, diharapkan lebih mencorong kiprahnya setelah berkoalisi dengan OCBC dan UOB-yang telah memiliki jaringan internasional luas di Asia Tenggara. Artinya, ada kesadaran bahwa economic size menjadi saat penting saat persaingan industri perbankan sudah sedemikian ketat.

Industri perbankan mempunyai memiliki logic of business yang unik, yaitu barrier to entry dan barrier to exit, yang amat tinggi! Tapi sayangnya, barrier to entry dibuka lebar dengan gelombang pemberian izin operasional bank saat Pakto 1988. Tak heran kalau saat itu, banyak pengusaha yang sebenarnya tak pernah berkecimpung di bisnis finansial, tiba-tiba muncul menjadi bankir.

Situasi perbankan yang sangat crowded saat itulah yang merupakan salah satu penyebab meletupnya ledakan krisis perbankan 1997. Krisis inilah membuat situasi ekonomi Indonesia mundur secara drastis. Barrier to exit dari industri perbankan yang sangat tinggi itulah antara lain yang membuat BPPN harus dibentuk untuk bank bisa keluar dari industri ini.

Hindari Krisis
Maraknya penjualan bank saat ini juga merupakan mekanisme yang wajar bagi beberapa pemilik bank untuk melakukan exit strategy dari industri ini. Dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang kuat dan sehat, sehingga Indonesia dapat terhindar dari krisis perbankan berikutnya, maka BI merumuskan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Tujuan API, adalah untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien. Ini semua demi menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam konsep API, kelak bank-bank akan terkelompokkan berdasarkan kapasitas modal dan kemampuan operasionalnya-menjadi bank internasional, bank nasional, bank dengan fokus operasional di daerah, bank yang fokus melayani ritel, atau korporasi dan sebagainya.

Secara tak langsung, bank-bank didorong untuk segera melakukan merger dan akuisisi. Lantaran ada tahapan-tahapan yang harus dipenuhi dalam implementasi API, gelombang merger dan akuisisi, atau secondary offering mudah diduga, akan marak terjadi dalam waktu dekat.

Dalam situasi seperti itu, satu hal yang harus dicermati, adalah kemungkinan bakal membengkaknya angka PHK di perbankan. Logikanya, pascamerger atau akuisisi, tak mungkin satu posisi yang dulu cukup diisi dua orang, kini harus dikerumuni karyawan dalam jumlah dua, tiga atau empat kali lipat. Selain itu, tak mungkin pula satu bank memiliki dua, tiga atau bahkan empat presiden direktur.

Bom Waktu
Efek samping seperti itulah yang patut diwaspadai. Jangan sampai gelombang PHK di industri perbankan menjadi bom waktu baru yang meledakkan ekonomi nasional yang sudah beranjak pulih. Jangan sampai aturan yang dimaksudkan untuk menciptakan stabilisasi di sektor keuangan, justru merontokkan kepercayaan publik dan dunia bisnis (baik lokal maupun internasional) pada sektor perbankan-pilar utama sektor keuangan dan moneter negeri ini.

Disinilah diperlukannya strategi komunikasi yang terencana dengan rapi dan strategisyang mampu melakukan prakondisi terhadap setiap tahap implentasi API tersebut.

Pengalaman krisis 1997/1998 seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dan yang juga perlu dipahami adalah gelombang merger di industri perbankan adalah sesuatu yang sangat wajar, dan umum terjadi di banyak negara.

Dengan strategi komunikasi yang baik,dampaknya seharusnya juga sudah harus diantisipasi sejak awal dan lebih matang. Sehingga bisa dikelola dengan baik. Setidaknya gejolak yang muncul bisa diminimalkan.

Saya yakin pemerintah sekarang jauh lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi persoalan yang terkait dengan kepentingan publik, khususnya yang menyangkut perbankan.

www.wiloto.com

www.wiloto.com