Saturday, April 22, 2006

Gonjang-ganjing media

Oleh
Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com














Sekitar 10 tahun lalu, mungkin kita tak membayangkan perkembangan industri media di Indonesia bisa sedahsyat sekarang. Dulu, di era Orba, hanya ada lima atau enam koran besar berskala nasional, plus majalah berita, serta beberapa stasiun televisi nasional.

Kini, kita malah sering bingung saat memutuskan koran apa yang akan kita jadikan referensi utama. Atau channel berapa yang harus dipanteng untuk menyaksikan siaran favorit.

Bermula dari keputusan Presiden BJ Habibie untuk mencabut Permenpen No 01/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pada 5 Juni 1998. Setahun kemudian pemerintah bersama legislatif mereformasi UU Pers yang lama dan menggantinya dengan UU baru, yang dikenal dengan UU No 40/1999 tentang Pers. Beberapa pasal tentang kemerdekaan untuk memperoleh informasi diatur di dalamnya, begitu pula kran kebebasan terbuka bagi wartawan untuk memilih organisasi pers.

Buntutnya penerbitan pers marak. Siapa saja, asal memiliki modal cukup-setidaknya impas dalam kalkulasi arus kas sebuah perusahaan bisnis-bisa menerbitkan koran, majalah, atau tabloid, bahkan membangun stasiun televisi baru. Itu belum terhitung media online (dotcom), radio, dan sebagainya.

Media-media baru itu juga amat beragam isinya. Ada yang berisi aneka macam berita, seperti layaknya koran atau majalah yang banyak beredar, ada pula yang menyajikan isi amat spesifik. Misalnya, khusus soal ekonomi, hiburan, olahraga, remaja, keluarga, fashion, hingga panduan beternak ikan, serta renovasi rumah.

Situasi industri media kini mirip situasi industri perbankan pasca Pakto 1988. Bahkan, aksi bajak membajak wartawan juga semakin marak. Apalagi untuk wartawan yang dianggap sudah cukup senior. Bisa saja, si B yang beberapa bulan lalu baru pindah ke posisi redaktur pelaksana di media W, kini kartu namanya sudah berubah menjadi pemimpin redaksi di media Z.

Bukan hanya bajak membajak wartawan senior, namun kisah eksodus besar-besaran para wartawan dari satu media ke media lainnya, juga bukan cerita baru. Memang tidak pernah diberitakan di media-media, mungkin karena sesama rekan media sangat sungkan untuk memberitakan rekan yang lain. Namun faktanya demikian.

Media massa pun memasuki fase yang sebelumnya dinilai kontroversial, yakni fase pers industri. Benar-benar sebuah industri, karena selain mengedepankan persoalan idealisme, media massa juga tidak bisa menghindar dari nuansa bisnisnya yang makin kental. Ada hitungan untung rugi yang amat cermat di sana. Salah perhitungan di sini bisa berakibat kematian bagi si media tersebut.
Kehabisan duit
Tak heran, jika kini kita mendengar ada sebuah media massa harus tutup, bukan lantaran beritanya terlalu pedas buat pemerintah, sehingga harus dibredel. Tapi lebih karena pemiliknya memang sudah kehabisan duit untuk membiayai koran atau majalah itu. Artinya, peran iklan menjadi semakin penting.

Koran harian, misalnya, tak mungkin lagi hanya mengandalkan dari penjualan atau sirkulasi, tapi juga butuh kerja sama atau kontrak iklan untuk kesinambungan penerbitannya.

Di dunia telivisi ada istilah rating, yaitu jika acara televisi suatu stasiun banyak ditonton orang, maka peringkat acara itu akan naik. Dengan sendirinya iklannya juga akan banyak. Sedangkan di media cetak juga dipengaruhi oplahnya. Jika banyak pembeli dan pembacanya, maka oplah akan meningkat.
Dan dengan sendirinya juga iklan akan berdatangan. Karena iklan memiliki logic untuk pergi ke media yang paling banyak didengar atau ditonton atau dibaca oleh publik.

Media yang sangat bagus, jika tidak banyak didengar atau ditonton atau dibaca oleh publik, maka dengan sendirinya media itu akan berkurang iklannya. Dan pada saatnya nanti media ini akan sulit untuk bertahan, karena cash out-nya jauh melebihi cash in-nya.

Selain itu, mirip sebuah bank, nasib media massa sangat erat hubungannya dengan kredibilitas media tersebut di mata publik. Jika media tersebut kredibel, beritanya dapat dipercaya, tidak sekadar berita bombastis. Maka media itu akan memiliki banyak pelanggan.

Namun, jika media itu terlalu bombastis dan tampak kurang kredibel dimata publik, maka dapat dipastikan media itu tinggal menghitung hari untuk ditutup.

Selain itu, sekali lagi, mirip dengan kondisi industri perbankan. Industri pers kini juga mulai menjadi mencari dan dicari investor asing. Yang paling sensasional adalah manuver raja media Rupert Murdoch saat mengambilalih sebagian kepemilikan saham keluarga Bakrie di ANTV.

Lalu, meski masih berjuang dengan izin siarannya, Astro- jaringan televisi satelit asal Malaysia-juga siap meramaikan industri televisi (hiburan) di Indonesia. Ia siap menjadi penantang serius bagi jaringan televis kabel atau setelit yang sebelumnya sudah mengudara, yakni Indovision dan Kabelvision.

Etika jurnalistik
Memang pelonggaran regulasi di bidang pers ibarat dua sisi dari keping mata uang. Di satu sisi, membuka arus informasi bagi masyarakat dan di sisi lain adalah masalah etika jurnalistik.

Dengan membuka lebar peluang bagi munculnya media baru, maka arus informasi yang mengalir ke masyarakat tak lagi seragam. Ada alternatif yang bisa dijadikan pilihan. Dan yang penting, tak didominasi oleh kekuatan media yang telanjur status quo.

Kemerdekaan juga dirasakan oleh para pekerja pers. Untuk melegalisasi statusnya sebagai wartawan profesional mereka tak wajib lagi menjadi anggota PWI. Karena itu ada pilihan lembaga lain untuk berorganisasi, misalnya melalui Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Namun, di sisi lain, ada sejumlah persoalan yang juga menarik dicermati di balik semakin longgarnya regulasi di bidang pers. Mulai banyaknya pelanggaran etika jurnalistik. Ada yang masih dalam taraf yang masih bisa diperdebatkan, hingga yang sudah sangat terang-terangan.

Menurut Dewan Press, laporan tentang pelanggaran etika jurnalistik makin hari makin menggunung di kantor mereka. Yang tentu saja melanggar etika jurnalistik, adalah bila satu media massa mulai dikendalikan oleh kekuatan yang tidak pro publik, yang menjadikan sang media tak lagi mencerdaskan dan untuk kepentingan publik.

Namun, justru melakukan pembodohan serta merusak bangsa, baik dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Contoh yang sangat jelas adalah tabloid-tabloid porno atau paparazzi, yaitu orang-orang dengan kamera menguntit semua kehidupan pribadi seseorang figur publik, untuk kepentingan gosip. Yang semuanya mengaku diri sebagai bagian dari pers.

Atau, kian banyaknya kelompok orang yang mengaku sebagai wartawan, tapi sejatinya yang mereka lakukan hanya memeras atau bahkan mengancam nara sumber agar memberi uang. Itulah kelompok yang di kalangan wartawan di sebut WTS (wartawan tanpa surat kabar) atau wartawan 'bodrex'.

Sampai di sini, persoalan yang muncul rasanya tak bisa dianggap remeh. Karena, bagaimana pun, pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Artinya, pers seharusnya memainkan peran sebagai salah satu penegak demokrasi di negara ini. Salah satu caranya dengan tetap menjaga kebebasannya secara bertanggung jawab.

Dan untuk menjaga kredibilitas media massa di Indonesia, tak lain adalah kalangan media dan pers Indonesia sendirilah yang harus berdiri dimuka dan menjaga kredibilitasnya.

Monday, April 10, 2006

Gelombang Merger & PHK












Bisnis Indonesia
Jumat, 07/04/2006

Gelombang merger & PHK
oleh : Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com


Laba mayoritas emiten perbankan per 2005 anjlok rata-rata 35% dibanding 204. Ada 22 eminten bank yang saat ini tercatat di lantai bursa. Total aset yang dimiliki 22 bank tersebut sebesar Rp1.033 triliun, atau 70% dari total seluruh aset perbankan nasional yang berjumlah Rp1.470 triliun.

Banyak analis yang mengatakan bahwa anjloknya laba perbankan disebabkan oleh situasi ekonomi makro 2005 yang buruk, sehingga rasio kredit bermasalah naik dan memaksa bank meningkatkan pencadangan penghapusan aktiva produktif (PPAP) atau provisi. Hal ini ditambah dengan naiknya suku bunga, dan lemahnya ekspansi kredit.

Selain fenomena kerugian perbankan, fenomena lain yang menarik adalah kepemilikan pihak internasional terhadap perbankan kita pun makin meningkat. Coba hitung, dari 20 bank dengan aset terbesar di Indonesia, berapa yang benar-benar masih dimiliki pengusaha Indonesia? Kecuali bank-bank BUMN yang dimiliki pemerintah, mungkin sudah tak ada lagi bank besar yang mayoritas sahamnya dikuasai pengusaha Indonesia.

BCA-bank swasta terbesar di Indonesia-pun kini sudah dimiliki lebih dari 51% Farallon Capital, AS, melalui Farindo Investment, sayap usahanya yang berkedudukan di Mauritius. Sementara Permatabank kini separo sahamnya sudah dikuasai Standard Chartered Bank, Inggris (separo sisanya dibeli Astra International). Lalu ada Bank Century yang kini jadi milik Chinkara Capital Ltd, Hong Kong. Serta Bank Panin yang sebagian sahamnya dilepas ke ANZ.

Demikian juga dengan Bank Danamon, BII, Bank NISP,atau Bank Buana. Semuanya kini sudah dimiliki investor Singapura. Asia Financial, menguasai Bank Danamon dan BII. Hanya saja di BII, Asia Financial tak sendirian. Iabergabung dalam konsorsium dengan Sorak Financial dan Kookmin Bank (Korea), ICB Financial (Malaysia) dan Barclays Bank (Inggris).

Lalu, UOB International Investment (anak usaha United Overseas Bank, Singapura) kini tercatat sebagai pemegang saham terbesar di Bank Buana. Sedangkan hampir semua saham Bank NISP diambil oleh OCBC Overseas Investment, anak perusahaan Overseas Chinese Banking Corp Ltd.

Seakan tak mau kalah dengan investor-investor Singapura, para pengusaha Malaysia juga berlomba membeli bank di Indonesia. ICB Financial yang telah memiliki sebagian saham BII, secara mayoritas menguasai saham Bank Bumiputera. Sedangkan Khazanah Nasional Bhd membeli saham Bank Niaga (melalui Commmerce Asset Bhd) dan Lippobank (melalui Santubong Investment BV).

Beralihnya kepemilikan saham bank-bank nasional itu, memang tak dapat dilepaskan dari maraknya penjualan aset yang dilakukan BPPN. Kala itu, bank-bank tersebut diagunkan oleh pemiliknya, para penerima dana BLBI. Status bank-bank itu pun menjadi BTO (bank take over).Bank-bank itu misalnya, BII, Danamon, Permatabank dan BCA.

Tapi kemudian, tren penjualan aset bank ke investor asing berlanjut hingga setahun terakhir. Bank Niaga, Bank NISP, Bank Buana, dan Bank Bumiputera dijual pemiliknya bukan lantaran ada kewajiban BLBI yang harus dibayar. Tapi lebih karena ada kalkulasi bisnis yang menarik.

Bank NISP, dan Bank Buana, misalnya, diharapkan lebih mencorong kiprahnya setelah berkoalisi dengan OCBC dan UOB-yang telah memiliki jaringan internasional luas di Asia Tenggara. Artinya, ada kesadaran bahwa economic size menjadi saat penting saat persaingan industri perbankan sudah sedemikian ketat.

Industri perbankan mempunyai memiliki logic of business yang unik, yaitu barrier to entry dan barrier to exit, yang amat tinggi! Tapi sayangnya, barrier to entry dibuka lebar dengan gelombang pemberian izin operasional bank saat Pakto 1988. Tak heran kalau saat itu, banyak pengusaha yang sebenarnya tak pernah berkecimpung di bisnis finansial, tiba-tiba muncul menjadi bankir.

Situasi perbankan yang sangat crowded saat itulah yang merupakan salah satu penyebab meletupnya ledakan krisis perbankan 1997. Krisis inilah membuat situasi ekonomi Indonesia mundur secara drastis. Barrier to exit dari industri perbankan yang sangat tinggi itulah antara lain yang membuat BPPN harus dibentuk untuk bank bisa keluar dari industri ini.

Hindari Krisis
Maraknya penjualan bank saat ini juga merupakan mekanisme yang wajar bagi beberapa pemilik bank untuk melakukan exit strategy dari industri ini. Dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang kuat dan sehat, sehingga Indonesia dapat terhindar dari krisis perbankan berikutnya, maka BI merumuskan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Tujuan API, adalah untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien. Ini semua demi menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam konsep API, kelak bank-bank akan terkelompokkan berdasarkan kapasitas modal dan kemampuan operasionalnya-menjadi bank internasional, bank nasional, bank dengan fokus operasional di daerah, bank yang fokus melayani ritel, atau korporasi dan sebagainya.

Secara tak langsung, bank-bank didorong untuk segera melakukan merger dan akuisisi. Lantaran ada tahapan-tahapan yang harus dipenuhi dalam implementasi API, gelombang merger dan akuisisi, atau secondary offering mudah diduga, akan marak terjadi dalam waktu dekat.

Dalam situasi seperti itu, satu hal yang harus dicermati, adalah kemungkinan bakal membengkaknya angka PHK di perbankan. Logikanya, pascamerger atau akuisisi, tak mungkin satu posisi yang dulu cukup diisi dua orang, kini harus dikerumuni karyawan dalam jumlah dua, tiga atau empat kali lipat. Selain itu, tak mungkin pula satu bank memiliki dua, tiga atau bahkan empat presiden direktur.

Bom Waktu
Efek samping seperti itulah yang patut diwaspadai. Jangan sampai gelombang PHK di industri perbankan menjadi bom waktu baru yang meledakkan ekonomi nasional yang sudah beranjak pulih. Jangan sampai aturan yang dimaksudkan untuk menciptakan stabilisasi di sektor keuangan, justru merontokkan kepercayaan publik dan dunia bisnis (baik lokal maupun internasional) pada sektor perbankan-pilar utama sektor keuangan dan moneter negeri ini.

Disinilah diperlukannya strategi komunikasi yang terencana dengan rapi dan strategisyang mampu melakukan prakondisi terhadap setiap tahap implentasi API tersebut.

Pengalaman krisis 1997/1998 seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dan yang juga perlu dipahami adalah gelombang merger di industri perbankan adalah sesuatu yang sangat wajar, dan umum terjadi di banyak negara.

Dengan strategi komunikasi yang baik,dampaknya seharusnya juga sudah harus diantisipasi sejak awal dan lebih matang. Sehingga bisa dikelola dengan baik. Setidaknya gejolak yang muncul bisa diminimalkan.

Saya yakin pemerintah sekarang jauh lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi persoalan yang terkait dengan kepentingan publik, khususnya yang menyangkut perbankan.

Thursday, March 30, 2006

Terkaya di Indonesia


Bisnis Indonesia
Jumat, 24/03/2006 13:57 WIB
oleh :
Christovita Wiloto
Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific

Sebenarnya tak ada sesuatu yang luar biasa dalam daftar orang terkaya dunia 2006, yang dirilis majalah Forbes, awal Maret lalu. Memang, di sana ada tambahan 10 nama orang terkaya baru dari India, sehingga jumlah orang paling tajir dari negara itu menjadi 23 orang. Sementara, Rusia menambah tujuh nama baru, sehingga totalnya menjadi 33 orang.

Tapi, di urutan-urutan puncak nama-nama yang muncul tak beranjak dari nama raja peranti lunak Microsoft, Bill Gates, dan investor kawakan pemilik Berkshire Hathaway, Warren Buffett. Keduanya, masing-masing memiliki kekayaan senilai, masing-masing, US$50 miliar dan US$42 miliar.

Sementara itu, di bawahnya berderet nama-nama populer semacam Lakshmi Mittal seorang Raja Besi dunia yang berasal dari India, dengan kekayaan US$23,5 miliar. Yang menarik adalah Mittal memulai bisnisnya 30 tahun lalu dari Surabaya! Sampai saat ini pun dia masih memiliki perusahaan besi PT Ispat Indo di Surabaya.

Nama lainnya adalah pemilik Microsoft, Paul Allen (US$22 miliar), Pangeran Al-Waleed Bin Talal Al-Saud (Arab Saudi, US$20 miliar), raja komunikasi Mexico, Carlos Slim Helu (US$30 miliar), jawara ritel IKEA, dan Ingvar Kamprad (Swedia, US$28 miliar).

Dari Indonesia
Lalu, siapa orang Indonesia yang masuk daftar Forbes kali ini? Mudah diduga, nama yang masuk adalah para juragan rokok, yakni Rachman Halim, pemilik Gudang Garam, dengan kekayaan sebesar US$1,90 miliar di urutan 410 dan Budi Hartono, pemilik Jarum, yang mempunyai aset US$1,80 miliar di peringkat 428.

Entah kenapa Forbes tak memasukkan nama Aburizal Bakrie dan Putera Sampoerna dalam laporannya awal Maret lalu. Faktanya mungkin saat ini keluarga Bakrie-lah yang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan yang "dengar-dengar" mencapai lebih dari US$ 4 miliar (sekitar lebih dari Rp 38.8 triliun) dan Putera Sampoerna yang baru saja menjual saham HM Sampoerna senilai US$2 miliar (sekitar Rp18,4 triliun) kepada Philip Morris. Mungkin karena info ini belum sampai ke telinga redaksi Forbes.

Tapi yang patut kita simak adalah bagaimana kiat keluarga-keluarga kaya Indonesia itu menembus daftar Forbes. Keluarga Rachman Halim alias Tjoa To Hing, misalnya, adalah pewaris kerajaan rokok Gudang Garam, yang berdiri sejak Juni 1958, dari pendirinya Surya Wonowidjojo.

Gudang Garam sendiri merupakan produsen rokok terbesar di Indonesia. Ia memiliki pabrik seluas 514 hektare di Kediri, Jawa Timur. Pabrik itu mempekerjakan puluhan ribu warga Kediri dan sekitarnya. Tak heran kalau Gudang Garam juga menjadi motor penggerak perekonomian kota tersebut. Tanpa Gudang Garam, mungkin Kediri-meski ada pabrik gula Ngadirejo-tetap akan menjadi kota kecil yang cuma dikenal di peta Jawa Timur semata.

Keluarga Halim sendiri tak asing dengan atribut-atribut orang terkaya. Ia telah masuk daftar Forbes sejak beberapa tahun lalu. Di Asia Tenggara, ia malah menempati peringkat keempat orang terkaya. Demikian juga Budi Hartono, juga pewaris kerajaan rokok

Djarum dari Oei Wie Gwan. Bersama saudaranya, Michael Bambang Hartono, kedua putra konglomerat Kudus bahu membahu mengibarkan bendera Grup Djarum hingga ke luar negeri.

Ketekunan pendiri dan pengelola Gudang Garam dan Djarum menyebabkan mereka menjadi jawara di bidang yang digelutinya. Gudang Garam dan Djarum secara total kini menguasai lebih dari separuh pangsa pasar rokok di dalam negeri. Mereka, masing-masing juga punya produk andalan yang hampir menjadi produk generik. Yakni Gudang Garam Filter, dan Djarum Super. Popularitas kedua produk itu hanya tersaingi oleh A Mild milik Sampoerna, yang merajai pasar rokok mild.

Yang menarik, saat Keluarga Halim terus konsisten dengan bisnis rokok yang telah ditekuninya hampir setengah abad, Grup Djarum justru memilih melakukan ekspansi dengan merambah bisnis properti dan perbankan.

Di sektor properti, Djarum membangun WTC Mangga Dua, Pulogadung Trade Centre dan Grand Hotel Indonesia. Sedangkan di perbankan, Djarum memiliki Bank Haga dan Hagakita, serta 5% saham di BCA melalui Alaerka yang bergabung dalam konsorsium Farindo Investment yang memegang 51,19% saham BCA.

Sampai di sini, pelajaran yang bisa kita ambil adalah ternyata ada juga pengusaha Indonesia yang tekun dan gigih, mampu menjadi besar dan bersanding dengan pengusaha kelas dunia lainnya.

Selain itu juga dapat memberi sumbangan yang berarti bagi masyarakat di sekitar lokasi industrinya. Berperan besar dalam mengangkat nama baik bangsa dan negara di dunia olahraga. Klub Bulutangkis Djarum Kudus, misalnya, bahkan menjadi penyumbang terbanyak pemain nasional yang kerap menjadi juara internasional.

Sementara, kita tentu maklum, bahwa perusahan-perusahaan seperti ini merupakan pembayar pajak terbesar di negeri ini. Setoran mereka barangkali hanya bisa disaingi oleh BUMN besar semacam Pertamina, atau perusahaan asing seperti Freeport.

Indonesia sudah letih dengan pengusaha-pengusaha besar gelap yang kurang jelas integritas bisnisnya. Kini, Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi pengusaha yang berintegritas, terhormat, jujur, tekun, gigih dan hati-hati dalam menjalankan usahanya, dapat menjadi warga negara yang baik, serta mampu menjadi besar dan bersanding dengan pengusaha-pengusaha kelas dunia lainnya. Kalau perlu mampu mendunia, membeli dan menguasai perusahaan-perusahaan dunia lainnya untuk kejayaan Indonesia tercinta. Semoga...

Wednesday, March 15, 2006

Pandangan Nasional vs Internasional


Bisnis Indonesia
Maret 12, 2006

oleh
Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp Asia Pacific
powerpr@wiloto.com

Selama dua bulan pertama tahun ini, ada banyak isu Indonesia yang menjadi perhatian khusus publik internasional. Dan menjadi berita di pelbagai media massa utama pelbagai negara.

Mulai isu penegakkan hukum, dengan dijadikannya sejumlah pejabat, mantan pejabat dan tokoh-tokoh yang selama ini nyaris tak tersentuh hukum sebagai tersangka, hingga ditemukannya "The Lost Paradise" yang berisi puluhan spesies binatang dan tanaman baru di pedalaman Papua.

Namun, tak semua media massa di Indonesia tertarik mengangkatnya. Kebanyakan, isu itu hanya jadi informasi yang disajikan di halaman dalam. Atau bahkan cuma muncul jadi berita kecil yang sama sekali tidak eye catching. padahal, isu-isu itu menjadi perhatian sangat khusus publik internasional.

Bahwa mantan Ketua BPPN, Syafruddin Temenggung, dijadikan tersangka dalam kasus penjualan pabrik gula di Gorontalo. Demikian pula dengan dipenjarakannya mantan menteri, pejabat dan sejumlah tokoh penting republik ini memang sempat menghiasi halaman utama hampir semua media massa.

Sedangkan berita soal diperbaikinya peringkat utang Indonesia oleh lembaga rating internasional Standard & Poor's serta Moody's Investor Services (dari stabil ke positif), hanya muncul di halaman ekonomi koran-koran nasional. Walau porsinya cukup besar, tapi tampaknya media kita kurang percaya diri menampilkannya di halaman muka.

Hal serupa terjadi dalam isu G3 di telekomunikasi. Dunia internasional mengamatinya dengan sangat cermat perkembangan tehnologi telekomunikasi Indonesia ke era yang lebih canggih ini. Namum media di Indonesia lebih condong menyoroti silang sengketa perebutan tender frekuensi seluler generasi ketiga (3G).

Berita lebih menarik seperti betapa pemerintah berhasil menangguk dana segar sebesar hampir Rp 1,3triliun dari tender tersebut, justru hampir luput dari bidikan media massa nasional. Selain itu, fakta betapaIndonesia sudah kian dekat pada teknologi 3G -- teknologi yang bukan tak mungkin bakal membuatrevolusi dalam aktivitas bisnis dan kehidupan sehari-hari kita di masa depan -- juga tak terlalu banyak diekspos.

Isu lain yang sebenarnya bisa dikategorikan luar biasa, tapi tak tersaji secara menarik di media nasional, adalah diizinkannya Indonesia membangun reaktor nuklir oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dengan izintersebut, diharapkan paling lambat pada 2016, Indonesia sudah membangun empat pusat listrik tenaga nuklir (PLTN)berdaya 1.000 Megawatt (MW).

Bahkan, IAEA menawarkan bantuan kajian teknoekonomi, pemilihan lokasi yang terbaik, alih teknologi, dan pembelajaran publik. PLTN menjadi alternatif pasokan listrik bagi Jawa, Madura, dan Bali karena pulau itu mengkonsumsi lebih dari 60 persen kebutuhan listrik di Indonesia. Energi nuklir menjadi alternatif karena harga listriknya termurah, kurang dari empat sen dolar AS per kilowatthour (kwh).

Indonesia telah menjalin kerja sama riset reaktor dan proteksi radiasi dengan Australian Nuclear S & T Organization (ANSTO). Saat ini, Amerika Serikat telah memiliki 102 PLTN. Jepang 40, Korea 20, dan Cina 30 PLTN.

Berita lain yang menjadi perhatian publik internasional adalah ditandatanganinya kerjasama Indonesia dan Rusia untuk pembangunan Stasiun Peluncuran Roket Luar Angkasa di Biak, Papua. Pulau ini dipilih karena dekat garis khatulistiwa, dimana roket dapat memanfaatkan rotasi bumi yang lebih cepat, sehingga sangat menghemat bahan bakar. Hal ini tentu akan sangat mengubah posisi Indonesia di percaturan dunia selanjutnya.

Selain itu berita yang sangat menghebohkan dunia, adalah tentang temuan spektakuler tim peneliti gabungan Conservation International Indonesia bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Cendarawasih (UNCEN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua I di Pegunungan Foja, Mamberamo, Papua.

Di sana mereka menemukan puluhan spesies baru -- dan spesies amat langka yang semua dianggap sudah punah --binatang dan tumbuhan di hutan yang nyaris terisolasi. Media-media internasional menyebutnya sebagai The LostWorld, bahkan The Lost Eden dan The Lost Paradise.

Penemuan The Lost Paradise ini sungguh sangat mencenggangkan, dan sangat menarik perhatian jutaan warga dunia. Digambarkan bahwa binatang-binatang spesies baru itu sangat ramah terhadap manusia, dan tumbuh-tumbuhan spesies baru itu sangat indah. Berita tentang hal ini disajikan berhari-hari dipelbagai media internasional.

Selain itu peranan Indonesia, sebagai "Juru Damai" Korea Utara dan Selatan; beberapa kemajuan Indonseia yang cukup berarti dalam penanganan terorisme; dan juga ketegasan penanganan masalah narkoba dengan putusan hukuman mati pada kasus Bali Nine menjadi isu strategis yang sangat positif dan amat disoroti oleh publik Internasional.

Isu-isu tadi tak terlalu menonjol dalam pemberitaan media-media nasional, namun media-media internasional justru memberi apresiasi yang tinggi . Publik internasional bahkan berani menatap Indonesia dengan pandangan yang amat optimistis.

Optimisme Nasional
Perbedaan padangan media dan publik nasional dan internasional sangatlah wajar terjadi, hal ini disebabkan karena publik internasional memiliki jarak yang cukup jauh untuk melihat setiap isu. Sementara publik nasional berada tepat di jantung masalah, sehingga sangat dapat merasakan setiap detak jantung Indonesia.

Ketahanan ekonomi masyarakat --yang sebenarnya mulai membaik -- kembali goyah setelah terkena imbas sejumlah kebijakan kontroversial pemerintah. Seperti, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sebanyak dua kali dalam satu tahun terakhir. Hal itu, disusul dengan rencana kenaikan tarif telepon, listrik dan kebutuhan yang sudah tergolong pokok lainnya.

Melemahnya ketahanan ekonomi masyarakat, secara langsung dapat dilihat dari kian sepinya aktivitas transaksi di pusat perdagangan semacam Mangga Dua atau Pasar Baru, serta keluhan hampir semua pengusaha tentang anjloknya omzet penjualan mereka hingga 50%, semenjak kenaikan harga BBM.

Dalam situasi seperti itu, pemerintah harus sadar benar bahwa kondisi riil ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya sangatlah menyedihkan. Segala aktifitas yang dilakukan pemerintah dalam memajukan Indonesia,
haruslah segera dapat dirasakan oleh lapisan masyarakat bawah.

Artinya, pemerintah tak cuma harus berhasil meyakinkan publik internasional terhadap kredibilitas Indonesia. Tapijuga musti mampu mengangkat rasa percaya diri publik di dalam negeri. Dengan strategi yang cerdas yang mampu menggugah optimisme nasional, kita bisa berharap Indonesia bakal segera bangkit.

Dan, memang sudah seharusnya, kita selalu memelihara optimisme untuk bisa cepat bangkit. Optimisme ini merupakan ''tenaga pendorong'' untuk mempercepat kebangkitan kembali Indonesia menjadi sebuah bangsa yang tangguh. Bangsa yang disegani. Bangsa yang mampu melepaskan diri dari keterpurukan di berbagai bidangyang telah hampir 10 tahun terjerat. Motivasi untuk bangkit, rasanya perlu terus digelorakan.

Monday, February 27, 2006

Petrokimia

Petrochemical Refinery UK
Bisnis Indonesia
Februari 28, 2006

oleh
Christovita Wiloto
CEO
Wiloto Corp Asia Pacific
powerpr@wiloto.com

Kita tidak bisa menutup mata bahwa perekonomian nasional kita mulai merangkak mencoba bangkit. Walau dampaknya terutama di kalangan bawah belum terasa. Walau harus diakui pemerintahan nampak cukup konsisten dengan upaya memberantas korupsi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi yang secara perlahan namun pasti dibongkar habis.

Di luar itu, meskipun tanpa regulasi-regulasi baru, kehidupan industri, termasuk industri petrokimia baik hulu maupun hilir berjalan seperti adanya. Kenyataan ini membuktikan bahwa industri yang bergerak di sektor ini mampu menghidupi dirinya sendiri dan tetap eksis untuk menopang mitra bisnisnya yang lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, industri petrokimia (baik hulu maupun hilir), praktis berjalan dan mampu melindungi dirinya tanpa harus minta proteksi pemerintah. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan pemerintah kita tempo hari yang sebentar-sebentar mengeluarkan kebijakan yang setengah memaksa yang akhirnya malah menjadi bumerang buat industri ini.

Di tengah semakin terus melambungnya harga minyak dunia, kita tidak bisa pungkiri bahwa salah satu pilar kekuatan perekonomian Indonesia adalah hasil tambang, khususnya minyak dan gas. Selama ini, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia lebih difokuskan pada ekspor.

Karenanya kita sayangkan bila sumber daya alam migas Indonesia yang sangat besar ini tidak dikembangkan dalam satu industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Padahal industri hulu migas tidak kalah penting jika dibandingkan dengan industri hilirnya.
Idealnya pengembangan industri hulu migas inilah yang harus dimanfaatkan sebagai salah satu strategi dalam mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Misalnya Thailand dan Vietnam, yang telah jauh mengembangkan industri ini.

Potensi Strategis
Dalam soal pengembangan industri petrokimia hulu ini, sebenarnya kita sudah mempunyai potensi strategis. Industri ini memang sempat mengalami krisis keuangan. Tapi lambat laun, industri petrokimia hulu ini secara swadaya terus melakukan konsolidasi dan berbenah diri. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana jika industri pretrokimia hulu yang sudah berdiri ini tidak beroperasi, padahal begitu banyak industri hilir yang mengandalkan perusahaan ini, terutama dalam pengadaan bahan baku.

Strategis karena jika industri petrokimia hulu ini tidak beroperasi, otomatis industri hilirnya seperti pabrik tekstil berskala besar maupun kecil akan menyusul mati. Belum lagi para distributor, pedagang tekstil, dan sebagainya. Jika ini terjadi, tidak bisa kita bayangkan betapa repotnya pemerintah, sebab jumlah pengangguran pasti bakal meningkat.

Sebagai gambaran, jumlah pengangguran di Indonesia hingga saat ini masih bertengger pada angka 40 juta orang. Berita-berita yang dilansir media massa, angka pengangguran itu tidak pernah turun. Akhir-akhir ini, media massa bahkan sering memberitakan ribuan orang berbondong-bondong memperebutkan formulir pendaftaran untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).Bukan cuma itu, acara bursa-bursa kerja yang banyak digelar di sejumlah kota disesaki banyak calon pekerja.

Bahwa industri petrokimia -- baik hulu maupun hilir -- sudah terbukti sebagai industri yang penyebarannya hampir merata di Indonesia menyerap banyak tenaga kerja. Kita harus menggantungkan optimisme bahwa ke depan industri ini harus terus dikembangkan ke arah yang lebih baik.

Mengembangkan industri petrokimia jelas menguntungkan. Mengapa? Sebab produksi industri petrokimia seperti aromatic dan olefin sangat berperan dalam menunjang industri tekstil, plastik, karpet, benang untuk ban mobil, pestisida, dan obat-obatan.

Peranannya yang sangat strategis inilah yang juga telah berperan membuat harga produk petrokimia pernah berkisar US$400 sampai di atas US$1.200 per ton. Dari setiap tonnya, dapat menghasilkan keuntungan antara US$80-US$200 dari setiap 1 ton.

Prospek keuntungan inilah yang melatarbelakangi mengapa negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Iran, Qatar, dan Abu Dhabi termotivasi membangun industri petrokimia sampai tahun 2010 yang diperkirakan memproduksi olefin (ethylene) sebesar 15 juta ton per tahun.

Untuk keperluan itu, usaha patungan Saudi Arabia, Exxon Mobil, Shell, BP, dan Phillip akan menginvestasikan senilai US$10-15 miliar. Arab Saudi sendiri melalui Sabic memperoleh laba senilai US$1 miliar lebih dengan revenue US$ 7,6 miliar.

Demikian juga dengan Eropa Timur yang memprogramkan pembangunan industri petrokimia hulu dan turunannya sebesar 5 juta ton per tahun. China ternyata tidak mau ketinggalan, ikut mengembangkan industri petrokimia hulu ini. Informasi yang diperoleh, sampai tahun 2006, mereka merencanakan membangun industri petrokimia hulu berkapasitas 6,35 juta ton per tahun. Hal ini belum termasuk pembangunan industri petrokimia hulu hasil kerja sama antara Fujian Petrochemical, Exxon Mobil, dan Saudi Aramco berkapasitas 800.000 ton per tahun dengan nilai investasi sebesar US$ 3 miliar.

Indonesia yang sudah tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pengembangan industri petrokimia hulu ini, sudah seharusnya mengejar ketertinggalannya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan kapasitas aset yang telah dimiliki. Sekali lagi tanpa industri petrokimia hulu, kita bukanlah apa-apa

Sunday, February 19, 2006

Garuda; Berubah atau Mati



Bisnis Indonesia
Minggu 12 Februari 2006

Oleh Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific


Perubahan "logic of business" industri penerbangan ternyata
tak cuma memakan korban maskapai penerbangan gurem.
Perusahaan penerbangan sekelas Garuda
Indonesia pun harus ''mati-matian" memikul "warisan" beban utang ratusan juta dolar
AS. Perundingan restrukturisasinya pun berlarut-larut, tak kunjung
mencapai kesepakatan.

Dari 800 juta dolar AS utang Garuda, sebesar 510 juta dolar AS merupakan
utang ke European Credit Agency (ECA), 130 juta dolar AS ke pemegang surat
utang (promisorry note), sedangkan sisanya 160 juta dolar AS ke Bank
Mandiri dan kepada PT Angkasa Pura I dan II. Garuda juga belum sanggup
membayar utang sebesar 55 juta dolar AS kepada pemegang promissory note
yang jatuh tempo pada akhir Desember 2005.

Selain karena amat besarnya beban utang, tak kunjung selesainya negosiasi
dengan para kreditor, juga terkait pola penyelesaian utangnya. Secara
umum, para kreditor minta agar manajemen Garuda meng-update rencana
bisnisnya. Terutama terkait dengan dampak peristiwa bom Bali. Selain itu,
kreditor juga minta jaminan pemerintah Indonesia berupa kesanggupan
membayar utang, suntikan dana, dan jaminan kelangsungan bisnis Garuda.

Pemerintah Indonesia sudah mencoba membantu Garuda dengan memberi talangan
sebesar 56 juta dolar AS. Dana talangan dimaksudkan untuk menambah modal
kerja perusahaan.

Sementara, dalam arahannya, Kementerian Negara BUMN mendorong Garuda agar
melakukan aliansi strategis dengan perusahaan penerbangan skala global.
Selain melakukan tranformasi bisnis untuk mengantisipasi sengitnya
persaingan di industri penerbangan.

Intinya, apa pun pola restrukturisasi yang akan diajukan kepada kreditor,
usulan aliansi strategis merupakan salah satu pilihan yang harus
dijalankan Garuda. Tak heran kalau Garuda aktif melakukan penjajakan
dengan sejumlah perusahaan penerbangan asing, khususnya dari negara-negara
Eropa.

Namun, usulan aliansi strategis dengan maskapai asing inilah yang sempat
memicu pro dan kontra. Tak cuma di kalangan anggota DPR. Tapi juga di
antara pengamat dan praktisi industri penerbangan. Bahkan, Wapres Jusuf
Kalla pun sempat memberikan penilaian yang cukup mengagetkan.

Akhir tahun lalu, Wapres mengatakan, pemerintah tak lagi menganggap Garuda
sebagai simbol negara (flag carrier). Alasannya, era saat ini berbeda
dengan zaman dulu, sehingga bisa saja Garuda dijual kepada investor --
baik asing maupun dalam negri.

''Saat ini hampir tidak ada satu negara pun di dunia yang memiliki flag
carrier,'' kata Wapres, usai salat Jumat di kantornya.

Tren penjualan pesawat terbang yang menyimbolkan negara tertentu, lanjut
Kalla, sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Ia mencontohkan maskapai
penerbangan Qantas, KLM, atau Malaysia Airlines System (MAS).

Nilai Strategis Garuda

Sampai di sini, sebenarnya tak perlu ada silang pendapat. Sebab, saya kira
kita semua sebagai warga negara Indonesia, pasti berharap Garuda bisa
tetap gagah mengarungi udara. Tak sekadar menjadi ''jembatan'' dari
Indonesia ke negara lain (dan sebaliknya), tapi juga mampu menjadi duta
bangsa di pentas internasional.

Bahwa Indonesia memiliki seorang duta besar di hampir semua negara di
dunia, itu tetap harus diapresiasi. Namun, dengan berbagai kesibukannya di
tingkat elit, saya yakin seorang duta besar tak akan cukup intens
bersosialisasi dengan masyarakat, atau publik negara setempat.

Yang justru bisa lebih dalam ''masuk'' ke ruang publik, adalah perusahaan
penyedia jasa, semacam Garuda. Dengan fungsi dan perannya sebagai jembatan
udara bagi masyarakat yang ingin bepergian ke dan dari Indonesia,
keberadaan Garuda saya kira lebih ''eye catching'' dan familiar. Warga
beberapa negara Eropa, misalnya, mungkin lebih tahu di mana kantor
perwakilan Garuda, dibanding kantor kedutaan dan nama dubes Indonesia di
sana.

Dalam posisi seperti itu, dan tanpa mengurangi hormat pada apa yang telah
dilakukan atase kebudayaan di masing-masing kedutaan, saya kira Garuda
juga bisa lebih efektif dan efisien mempromosikan tidak hanya pariwisata
Indonesia, tapi Indonesia itu sendiri.

Nah, sekarang coba bayangkan seandainya Garuda tak lagi menerbangi jalur
ke kota-kota besar di dunia. Barangkali, popularitas Indonesia bakal
semakin buruk. Artinya, apa pun yang terjadi, rasanya
Garuda harus tetap mengudara, dan membawa kejayaan Indonesia di dunia
internasional.

Hanya saja, untuk itu, Garuda wajib mengubah total paradigmanya, dari
yang "hanya" sekedar sebagai sebuah BUMN, menjadi sebuah korporasi kelas dunia.
Sehingga ia mampu "bersaing" dengan maskapai-maskapai dunia,
semacam Singapore Airlines, Qantas, MAS atau Thai Airways.
Tidak hanya sekedar bersaing dengan masakapai-maskapai baru yang
sedang naik daun dan terus menggeliat
semacam Lion Air, Adam Air, Awair dan semacamnya.

Yang jadi persoalan sekarang, mengubah paradigma secara total bukanlah hal yang mudah.
Perlu "keteguhan hati" dan ''tangan besi'' untuk melakukannya. Bukan tak mungkin, langkah itu
akan sangat menyakitkan bagi sebagian kalangan. Baik di dalam Garuda
sendiri, maupun di pihak yang terafiliasi. Dan pasti banyak resistensi, terutama dari dalam
Garuda sendiri.

Crew dan manajemen Garuda tidak bisa terus berparadigma sebagai "anak emas"
dan merasa "berbeda". Paradigma lama harus segera berganti dengan pardigma baru yang selalu bersaing
untuk lebih melayani, lebih memuaskan. Garuda harus memahami dan mampu bersaing dengan "logic of business"
yang baru dari dunia penerbangan saat ini.
Agar menjadi Garuda yang "sehat", lincah dan siap terbang
bebas mengudara, bersaing dengan dunia.

Jelaslah, kini Garuda hanya punya dua pilihan saja.
Merubah total paradigmanya atau mati.

Friday, January 27, 2006

Playboy Indonesia?

Foto: Tiara Lestari Model Playboy Agustus 2005 Asli Indonesia
Bisnis Indonesia,
Minggu 29 Januari 2006

Playboy Indonesia?

Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com
email: powerpr@wiloto.com

Siapa tak kenal majalah Playboy? Logo kepala kelinci putihnya telah mendunia. Walaupun menjadi simbol perlawanan terhadap segala sesuatu yang bersifat konservatisme, dia juga menjadi ikon para pemuja 'revolusi seksual' yang menjadi tren di kalangan muda Amerika pada era 1960/1970-an.

Kehadiran Playboy tentu saja tak dapat dilepaskan dari sosok Hugh Marston Hefner. Penggagas ''ide liar' menerbitkan majalah berkategori triple X' ini. Lahir di Chicago, Illinois, 9 April 1926, dia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filosofi di Universitas Illinois, Urbana-Champaign. Dia lalu masuk wajib militer menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Naluri wirausaha dan bakat menulisnya-Hefner pernah menjadi copywriter di majalah Esquire-diwujudkan dengan menerbitkan majalah yang dia dedikasikan pada kekasihnya. Majalah itu semula diberinya nama Stag Party. Tapi kemudian diubah menjadi Playboy, karena sebelumnya sudah ada majalah bernama mirip, yakni Stag Magazine.

''Nama Playboy diusulkan oleh seorang teman,'' kata Hefner dalam biografinya. Tapi dia tak pernah menyebut siapa teman yang dimaksudnya.
Sebagai majalah yang dikonsepkan untuk konsumsi pria dewasa, Playboy memang bertabur foto-foto wanita cantik dengan pose menantang, plus busana yang serba minim. Bahkan tak jarang ada model yang tampil nyaris-maaf - telanjang. Yang menarik, hampir semua model Playboy berambut pirang. ''Saya memang selalu tertarik dengan perempuan berambut blonde,'' ujar Hefner.

Dalam perkembangannya, Playboy tak cuma memajang model-model semitelanjang. Tapi juga menyajikan wawancara dengan sejumlah tokoh terkenal - khususnya artis dan politikus-dengan format yang amat lugas. Tak heran kalau model jurnalistik Playboy sempat jadi acuan majalah lain.

Maaf, saya bukan mempromosikan Playboy. Tapi deskripsi di atas sengaja saya paparkan untuk referensi terhadap apa yang akan kita diskusikan berikut ini. Yakni kontroversi seputar rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia oleh PT Velvet Silver Media.

Pornografi dan pornoaksi

Sejak muncul kabar bakal diterbitkannya Playboy edisi Indonesia, awal Januari, berbagai komentar ramai berseliweran di media massa. Banyak yang menghujat, tapi tak sedikit pula yang memberi dukungan. Di antara keduanya, ada yang mencoba memberi jalan tengah.

Pihak Velvet Silver Media beberapa kali mencoba menjelaskan Playboy versi Indonesia tak akan sama dengan versi aslinya-artinya tak akan gegabah memajang model-model semitelanjang di majalahnya.

''Lihat dulu, baru komentar,'' kata Director Publisher Velvet Silver Media, Ponti Carolus. Ponti sebelumnya dikenal sebagai calon anggota legislatif Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Kalimantan Barat. Dia juga pernah menjabat sebagai wakil Sekjen partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Tanpa disadari, pro-kontra tersebut, menjadi promosi gratis bagi rencana penerbitan Playboy versi Indonesia. Sehingga, meski coba dihadang oleh berbagai kalangan, Velvet Silver Media 'katanya' tak akan mundur dari rencananya semula.

Apalagi, secara hukum, memang tak ada aturan yang melarang penerbitan Playboy edisi Indonesia. UU Pers bahkan tak memberi ruang bagi pemerintah untuk mengintervensi rencana tersebut. ''Sesuai UU Pers, kita bisa diancam dua tahun kalau melarang peredaran sebuah media,'' ujar Menkominfo, Sofyan Djalil, seperti dikutip Republika.

Tapi kontroversi Playboy Indonesia sebenarnya tak perlu berlarut-larut. Khususnya, jika pemerintah punya visi yang jelas, mau dibawa kemana negeri ini. Artinya, kalau pemerintah memang berkomitmen untuk membangun 'generasi emas' di masa depan, segala sesuatu yang bisa merusak tekad itu harus dieliminasi sejak dini.

Soal pornografi dan pornoaksi, misalnya, pemerintah tak perlu menunggu selesainya RUU yang saat ini sedang dibahas di DPR. Tumpas saja masalah pornografi dan pornoaksi dengan aturan pelanggaran kesusilaan yang jelas tercantum dalam KUHP.

Etika ketimuran kita rasanya juga bisa dipakai sebagai landasan untuk menolak kehadiran Playboy Indonesia. Sebab, bagaimana pun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah melekat di benak hampir setiap orang. Dan itu tak sesuai dengan etika kesusilaan di Indonesia.

Sebagai benchmark, di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, memperjualbelikan majalah-majalah porno macam Playboy termasuk dalam tindakan kriminal. Ini jelas untuk melindungi generasi penerusnya dari kehancuran. Apalagi menerbitkannya.

Sebenarnya kehadiran Playboy ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah, negarawan, para pendidik, tokoh-tokoh masyarakat, para orangtua dan berbagai pihak yang peduli akan masa depan generasi muda, untuk bersama-sama menentang semua bentuk pornografi dan pornoaksi yang kini kian marak di Indonesia.

Pemerintah tak perlu takut pelarangan peredaran majalah, koran atau tabloid porno, dan tayangan mesum yang kini banyak bermunculan di televisi, dianggap melanggar kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers sama sekali tak ada hubungannya dengan pornografi. Bahkan, kalangan pers mengaku justru tabloid dan tayangan mesum adalah 'penumpang gelap' kebebasan pers. Karenanya harus dienyahkan.

Wednesday, January 18, 2006

Longsor & Formalin




Longsor & formalin
Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com

Awal 2006 sejatinya akan kita sambut dengan suka cita. Dengan semangat baru untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera, lebih berkualitas, lebih cerdas, lebih martabat, lebih sehat, lebih berbudaya, dan bebas korupsi. Tapi, ternyata alam berkehendak lain. Rentetan musibah langsung mengharu-biru bangsa ini. Di Jember, Jawa Timur, banjir lumpur menerjang sejumlah desa di kabupaten yang berada di lereng Gunung Argopuro itu.
Ratusan orang meninggal dalam musibah yang terjadi persis di saat pergantian tahun. Sementara di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sebuah bukit longsor, menimbun lebih dari 200 orang di Desa Sijeruk.
Bencana serupa, dalam skala yang lebih kecil, juga terjadi di beberapa daerah lain. Seperti biasa, berbagai silang pendapat soal penyebab bencana lalu muncul di media massa. Ada yang bilang, bencana tersebut murni karena perubahan iklim, akibat badai yang terjadi di belahan dunia lain.
Tapi banyak pula yang memastikan, banjir lumpur dan tanah longsor adalah ulah manusia-yang seenaknya menggunduli hutan, atau mengubah peruntukan lahan tanpa mempedulikan akibatnya. Akibatnya, ''Alam murka karena kejumawaan kita,'' ujar seorang teman.
Banjir, sebenarnya bukan monopoli saudara-saudara kita yang berada di kawasan perdesaan, tapi juga kita semua yang tinggal di daerah perkotaan. Pada 2002, misalnya, banjir besar merendam Jakarta-termasuk halaman Istana Presiden.
Banjir itu mengakibatkan 70% ruas jalan termasuk jalan tol dan pusat Bisnis rusak parah. Lebih dari 50 orang meninggal terbawa arus banjir diikuti puluhan korban lainnya akibat penyakit demam berdarah dan malaria. Ratusan ribu penduduk meninggalkan tempat tinggal untuk mengungsi. Total kerugian diperkirakan miliaran rupiah atau setara dengan ratusan ribu dolar AS.
Ironisnya, kita seperti pasrah saja menerima musibah itu. Tak ada perbaikan signifikan pada tata ruang kota untuk mencegah terulangnya bencana itu. 'Sabuk hijau' yang idealnya mencapai sepertiga dari total wilayah kota- jika ingin kota itu memiliki areal resapan air yang cukup untuk mencegah banjir-justru makin tergerus. Jakarta, hanya memiliki kurang dari sepersepuluh wilayah 'hijau' di seluruh kota.
Dengan kondisi itu, tak heran kalau banjir seperti menjadi 'tamu tahunan' bagi Jakarta. Dan, sebuah perusahaan rokok dengan jitu menyindir ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta mengatasi banjir dengan iklannya bertajuk, Banjir kok jadi tradisi. Tanya Kenapa?
Kebodohan atau kejahatan
Bencana yang tak kalah mengerikan, juga mengancam dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Oktober dan November 2005 lalu menyebutkan, sejumlah makanan yang beredar di pasar mengandung bahan kimia berbahaya, semacam formalin, boraks, pewarna tekstil dan sebagainya.
Bahan-bahan kimia itu kalau dikonsumsi terus menerus bisa merusak kesehatan-mulai dari kanker, kelumpuhan syaraf, bahkan kematian. Yang menyedihkan, kejadian itu-pencampuran bahan kimia berbahaya-ke berbagai makanan yang umum kita konsumsi tadi, telah berlangsung tahunan. Temuan serupa seperti yang diperoleh BPOM juga pernah terungkap beberapa tahun lalu.
Tapi kita semua-para konsumen-seakan terbutakan. Atau memang merasa tak peduli. Entah karena tak paham. Atau tak dapat menghindar dari kenyataan-kenyataan tersebut. Sehingga oknum yang melakukan praktik tak terpuji itu terus melakukannya tanpa 'merasa bersalah.'
Walau, mereka-para pengoplos makanan dengan bahan kimia berbahaya tadi-juga melakukannya lantaran dua hal. Pertama, karena tak paham, bahwa bahan kimia yang dicampurnya ke makanan tadi bisa mengancam nyawa konsumen. Ini adalah sebuah kobodohan.
Kedua, mereka paham (bahkan sangat paham) bahaya bahan-bahan kimia tadi. Tapi hanya karena ingin memperoleh keuntungan lebih, mereka melakukannya tanpa merasa perlu peduli pada dampak negatif yang bakal diterima konsumennya. Artinya, ada unsur kesengajaan, dan kejahatan di sini.
Keduanya harus diberantas. Hanya, cara memberantasnya yang berbeda. Untuk yang pertama, karena itu terkait kebodohan, tentu saja, solusinya adalah dengan memberi pengetahuan dan pembelajaran. Ini harus menjadi sebuah 'program nasional'-karena mencerdaskan kehidupan bangsa tak bakal efektif jika cuma dilakukan secara parsial. Hanya menyentuh sekelompok orang saja. Tapi harus dilakukan hingga ke pelosok negeri.
Sedangkan untuk yang kedua, sanksinya perlu lebih tegas. Kesengajaan mencampur bahan kimia berbahaya pada makanan yang dikonsumsi umum adalah kejahatan yang amat keji. intellectual, kalau motifnya adalah untuk mencari keuntungan pribadi.
Oknum yang melakukan harus dijerat dengan hukuman pidana. Sanksi untuk mereka bisa disamakan dengan para pengedar narkoba. Bukan cuma karena kadar bahaya serta dampak yang ditimbulkannya. Tapi juga lantaran korban yang paling banyak terkena adalah anak-anak, generasi penerus bangsa. Kalau anak-anak tak terlindungi dari ancaman seperti itu, sulit membayangkan, apa jadinya negeri ini kelak.

www.wiloto.com

www.wiloto.com