Friday, February 23, 2007

No Trust Society



Bisnis Indonesia http://www.bisnis.com/

Oleh:
Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific

Seorang rekan sangat panik ketika kehilangan dompetnya. Maklum di sana ada duit sekitar Rp10 juta, berbagai kartu kredit, asuransi, SIM, ID, KTP dan surat-surat berharga lainnya.
Dia pasrah dan merelakan dompetnya tadi. Namun ajaib, esoknya, pagi-pagi sebelum dia berangkat kerja, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ketika pintu dibuka, seorang dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat menyerahkan sebuah dompet.

''Maaf, apakah bapak kehilangan dompet ini?'' tanya orang berseragam tadi. Rekan saya memeriksanya, benar itu dompet miliknya. Yang membuat dia terkesan, tak ada selembar pun uangnya yang hilang. Kartu kreditnya juga masih di tempatnya semula. Sejumlah surat berharga yang dia khawatirkan hilang juga masih utuh.
''Saya menemukan dompet bapak ini di stasiun kereta. Mungkin terjatuh,'' kata orang tadi. ''Saya lihat ada kartu identitas bapak, lalu saya antarkan sesuai alamat yang ada di kartu itu,'' lanjutnya.

Kejadian hampir serupa terjadi pada diri saya. Tak lama setelah saya menyadari kalau handphone saya raib, seorang sopir taksi tiba-tiba datang dan mengembalikan handphone tadi. ''Saya menemukannya di jok belakang taksi saya. Jadi saya antar ke sini,'' ujar sopir taksi tadi, dengan tulus.

Dua kejadian tadi, sungguh luar biasa. Tapi sayang, keduanya tak terjadi di Indonesia. Rekan saya mengalaminya di Tokyo, sedangkan saya saat berada di Singapura. Mungkinkah kejadian seperti itu terjadi di Jakarta?

Ketika pertanyaan itu saya lontarkan pada rekan-rekan saat makan siang, hampir serempak mereka menjawab, "Tidak!". Bahkan seorang rekan bercerita, bahwa belum lama berselang ada seorang ibu jatuh terserempet mobil. Banyak orang yang datang menolong. Tapi-mudah diduga-ibu itu malah kehilangan dompet, handphone dan perhiasannya.

Julukan untuk Indonesia

Tiba-tiba saya ingat istilah no trust society. Sebuah julukan menyesakkan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Saya selalu ingin membantah julukan itu. Tapi sejumlah fakta justru kerap makin memperkuat julukan itu.

Bahwa di koran ada surat pembaca yang memuji kejujuran seorang sopir taksi yang mengembalikan barang penumpangnya yang ketinggalan, itu merupakan sesuatu yang amat langka. Yang lebih sering kita baca adalah keluhan lantaran terjadi tabrak lari, atau seorang ibu yang harus digeledah paksa saat berbelanja di sebuah mal karena dicurigai mencuri oleh satpam mal tersebut.

Salah satu hal yang kita sudah anggap lumrah, adalah kewajiban untuk menitipkan bawaan kita, bahkan jaket dan topi, setiap mau belanja di supermarket. Sementara kewajiban itu, dibanyak negara lain tidak diberlakukan. Selain itu, di Jakarta setiap mobil dan tas kita harus digeledah saat memasuki sebuah hotel atau pusat perbelanjaan, walau kita bersama anak-anak sekalipun.

Di beberapa hotel dan gedung perkantoran harus melewati pintu detektor yang selalu berbunyi kalau kita lupa mengeluarkan uang receh atau benda-benda logam lainnya.

Meski ada alasan pembenarannya, misalnya sebagai tindakan preventif dari tindakan terorisme, tapi menurut saya semua itu merupakan sebuah bentuk kecurigaan di antara kita. Tak ada sikap saling percaya di antara masyarakat kita. Dari sinilah muncul julukan tadi, no trust society.

Sikap tidak saling percaya itulah yang kini hampir setiap hari kita lihat, rasakan, juga baca di media massa. Hampir setiap hari ada demo buruh menyerang manajemen dan pemilik pabrik. Atau demo mahasiswa/LSM menyerang kebijakan pemerintah.

Bahkan, demo ribuan karyawan sebuah BUMN untuk menagih pembayaran gaji yang dijanjikan pemerintah segera cair. Mereka terpaksa melakukan demo karena janji itu cuma di mulut saja. Dan, kalau pun cair, jumlah gaji yang dibayarkan tak sesuai dengan yang dijanjikan.

Bahkan, banyak pula tabloid yang memaparkan keretakan rumah tangga aktor dan artis ternama. Persoalannya, kadang-kadang sepele, karena sang istri atau suami berselingkuh dengan pria/wanita idaman lain (PIL/WIL). Kasus seperti ini malah sampai melebar ke saling gugat dan harus masuk ke persidangan. Dan, berujung pada perceraian.

Fenomena inilah yang barangkali menginspirasi pencipta lagu SMS, yang dipopulerkan oleh Trio Macan. Lirik lagu itu memang jenaka, dan digandrungi masyarakat. Coba simak bait pertamanya, ''Bang SMS siapa ini Bang. Bang pesannya pakai sayang-sayang. Bang tampaknya dari pacar Abang. Bang hati ini mulai tak senang.''

Saling percaya

Fenomena seperti yang terjadi di masyarakat kita tadi memang menyesakkan. Padahal, di saat negara sedang mengalami banyak cobaan seperti sekarang, seluruh bangsa seharusnya harus saling percaya. Harus saling mendukung.

Karena dengan saling percaya itulah kita bisa bersinergi untuk membangun bangsa dan negara ini. Bukan malah menyuburkan budaya masyarakat yang saling mencurigai. Dan jangan ada yang berupaya mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan.

No trust society merupakan masalah strategis yang sangat kritis untuk segera kita atasi. Dalam perusahaan hal inipun selalu terjadi, antar anggota manajemen dan karyawan tidak saling percaya satu dengan yang lain. Bahkan, sering kali sudah menjurus pada saling mencurigai.

Hal ini biasanya dimulai dengan tidak adanya upaya masing-masing anggota untuk saling menjaga kepercayaan yang sudah diperoleh. Sebetulnya lingkungan perusahaan adalah lingkungan kecil yang sangat mungkin untuk diubah menjadi suatu trust society. Dengan kepemimpinan dan sistem serta program yang terintegrasi dan dijalankan dengan konsisten, bisa membentuk budaya perusahaan yang saling percaya.

Memang salah satu cara strategis mengubah Indonesia dari no trust society menjadi trust society adalah melalui perubahan di unit-unit terkecil sebuah negara, seperti diri sendiri, keluarga dan perusahaan. Tentunya juga harus didukung dengan sistem hukum yang sehat.

www.wiloto.com

www.wiloto.com