Sunday, December 29, 2002

Hollywood & Delicious Communications


Hollywood & Delicious Communications
Bisnis Indonesia 29 Dec, 2002

Sudah nonton film 'Die Another Day'? Kalau Anda ingin sedikit refreshing, dan sekadar ingin melepaskan diri dari tekanan kesibukan sehari-hari, boleh lah meluangkan waktu barang dua atau tiga jam untuk menyimak serial terbaru James Bond itu.

Dalam film yang digarap oleh sutradara asal Selandia Baru, Lee Tamahori ini, Bond -- agen rahasia Inggris, yang menyandang sandi 007 -- terlibat petualangan melawan pedagang berlian culas bernama Gustav Grave. Grave yang beraliansi dengan para pejabat militer komunis dari Korea Utara, Kuba dan Cina berambisi menguasai dunia dengan memanfaatkan Icarus, satelit pemantul sinar matahari yang juga berfungsi sebagai senjata mematikan.

Seperti film-film Bond terdahulu, jalan ceita 'Die Another Day' memang mudah diduga. Melalui kecerdikannya, dibantu dengan sejumlah peralatan (khususnya mobil) berteknologi canggih, Bond – yang dalam film ini diperankan oleh Pierce Brosnan -- dengan mudah bisa melumat lawan-lawannya.

Tapi justru karena tak perlu harus mengerutkan kening untuk memahaminya itu lah, 'Die Another Day' bisa menjadi sarana efektif untuk melepas lelah. Apalagi, selama 123 menit durasi film berbiaya 142 juta dolar AS itu, Anda juga disuguhi aksi-aksi pertempuran yang memacu adrenalin. Dan jangan lupa, di sana juga ada Halle Berry, aktris negro cantik, yang bermain sebagai Jinx, agen rahasia AS.

Film-film Bond, memang amat renyah untuk dinikmati. Karena itu, usai menontonnya, besar kemungkinan Anda akan pulang dengan 'kepala ringan', tapi sekaligus penasaran, apa yang akan ditampilkan lagi oleh para industriawan Hollywood untuk film Bond berikutnya. Peralatan canggih seperti apa lagi yang akan digelar, siapa lagi perempuan sexy yang akan mendampingi sang jagoan, dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah industri film, Hollywood memang telah menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat di dunia. Dia bisa mengarahkan kemana trend budaya pop masyarakat dunia, melalui film-film laris yang diproduksinya. Hollywood juga dengan mudah bisa memainkan peran sebagai institusi sales promotion yang sangat efektif.

Boleh percaya atau tidak. Tapi pabrik mobil Inggris Aston Martin -- yang seri terbarunya dipakai Bond sebagai kendaraan andalannya -- telah terjual lebih dari 700 unit, beberapa saat sebelum premiere 'Die Another Day' digelar di London. Padahal, harga tiap unit mobil itu mencapai 228 ribu dolar AS!

Penetrasi bisnis ala Hollywood seperti itu lah, yang di kalangan praktisi komunikasi, biasa disebut dengan 'delicious communications' -- komunikasi (bisnis) yang lezat. Dengan praktik seperti ini, sang komunikator bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin disampaikannya dengan amat halus. Bahkan 'lawan bicara' nya, sama sekali tak merasa terpaksa -- untuk sejumlah kasus, mereka malah menikmatinya -- untuk menelan semua yang ingin disampaikan sang komunikator.

Melalui film-film James Bond, Hollywood telah berhasil 'membentuk' opini dunia, bahwa AS, Inggris dan sekutunya adalah pahlawan dunia. Bond (yang filmnya kali pertama diproduksi sekitar 40 tahun lalu, dan kini telah memasuki episode ke 20) hampir selalu berhadapan dengan lawan-lawan yang tak lain adalah para pejabat militer atau pengusaha maniak asal Uni Sovyet. Maklum selama berpuluh tahun, musuh AS memang negeri berjuluk 'Beruang Putih' tersebut.

Tak cuma itu, melalui serial super hero lainnya, semacam Rambo (Silvester Stallone) dan Die Hard (Bruce Willis), Hollywood juga mampu 'menipu' dunia dengan menggambarkan betapa pemerintahan komunis di Vietnam Utara dan Eropa Timur, serta gerilyawan Islam di Timur Tengah, adalah adalah para teroris yang layak dibasmi.

Tentu saja, Hollywood tak mungkin melakukan semua itu sendirian. Untuk menjadikan dirinya sebagai sebuah 'kekuatan utama pembentuk opini dunia', Hollywood didukung oleh sejumlah investment banking dengan dana yang hampir unlimited. Mereka juga memiliki intelijen khusus yang punya akses kuat ke dinas-dinas rahasia AS -- salah satu indikasinya, hampir semua senjata canggih yang dipakai James Bond, belakangan terbukti sebagai senjata rahasia yang secara faktual memang dipakai oleh militer AS.

Sampai di sini, kita barangkali boleh gundah, karena berpuluh tahun telah 'tertipu' mentah-mentah oleh propaganda Hollywood. Namun, tentunya kita dapat mengambil banyak pelajaran dari apa yang dilakukan Hollywood. Khususnya bagaimana cara menciptakan komunikasi yang lezat tadi.

Friday, December 13, 2002

Syur Sendiri

Syur Sendiri
Bisnis Indonesia 13 Dec, 2002

Kita agaknya tak ingin setengah-setengah membenahi kembali citra Bali sebagai salah satu tujuan wisata paling eksotik di dunia. Karena itu, pasca Tragedi Legian 12 Oktober, semua unsur bangsa saling bahu-membahu menggalang aksi "Bali Recovery". Aparat kepolisian, seperti kita tahu, telah bekerja keras untuk mengungkap dan menangkap komplotan radikal yang dengan bom rakitannya meluluh-lantakan Sari Club dan Paddy's Café khususnya dan Asia Tenggara pada kenyataannya.

Sementara, para pengusaha hotel dan maskapai penerbangan ramai-ramai menawarkan diskon sampai separuh harga. Sedangkan, pemerintah dengan semangat menggebu menitahkan agar semua departemen sedapat mungkin menggelar acara resmi di Bali.

Maka November lalu, BPPN bekerja sama dengan bank-bank rekap pun menggelar perundingan akbar dengan para obligor besarnya di Kuta. Kantor Kementerian Negara BUMN pun tak segan men-sponsori konser Twilight Orchestra pimpinan Adie MS di tempat yang sama. Berapa ongkos yang dikeluarkan? Konon lumayan besar untuk semua ''kampanye'' itu.

Guardian of public trust

Aksi all out yang dilakukan pemerintah itu memang wajar. Mengingat gara-gara Bom Legian, peluang Indonesia meraup devisa dari sektor pariwisata sebesar 5,3 miliar dolar AS dipastikan tak akan terealisasi. Padahal, angka itu merupakan 10 persen dari total pendapatan dari sektor ekspor dan jasa pelayanan.

Namun, yang jadi pertanyaan, bagaimana mengefektifkan ''kampanye'' tadi? Untuk menjawabnya, tentu kita harus simak dulu, siapa target audience dari aksi ''Bali Recovery'' tersebut.

Kalau jawabannya adalah kalangan domestik, barangkali kita bisa bilang, ''ya''. Walaupun jawaban itu juga masih amat layak diperdebatkan. Sebaliknya, kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah komunitas internasional, maka kita harus jujur mengatakan, ''belum''.

Bayangkan, meski sejak aksi teror 12 Oktober lalu, ratusan wartawan dari luar negeri ''tumplek blek'' di Bali, tapi siapa di antara mereka yang tertarik meliput perundingan BPPN dengan para obligor kakapnya? Ketika tim investigasi pimpinan I Made Mangku Pastika sedang giat mengusut jaringan pelaku pengeboman, siapa pula yang merasa perlu mempublikasikan sebuah konser di tengah situasi yang masih mencekam dan penuh isak tangis di Bali? Perhatian publik dunia, saat ini memang masih akan terkonsentrasi pada kerja yang dilakukan tim Made Mangku Pastika. Artinya, menggelar berbagai macam acara entertainment, dan ekspose lembaga resmi pemerintah dan aneka seremonia lainnya di Bali, masih agak kurang efektif, dan seakan syur sendiri.

Terutama -- sekali lagi – jika target audience dari berbagai macam event itu adalah para turis dan pihak internasional lainnya. Kondisi yang terjadi saat ini, pada pihak internasional adalah paranoia, ketakutan yang berlebihan pihak internasional terhadap “terorisme” yang mereka pikir ada di Indonesia bahkan Asia Tenggara.

Mungkin lebih banyak manfaatnya jika kita fokuskan usaha Public Relations kita untuk menjawab masalah ini dalam bahasa yang dimengerti oleh publik internasional. Dipandang dari sudut Public Relations, kita harus mengakui bahwa PR bangsa kita ke publik internasional sangat lemah. Kita ahli di kandang sendiri, syur sendiri, bahkan disaat kritis dimana kita harus tampil di kancah global ini.

Dalam praktek Public Relations (PR), over expose yang syur sendiri seperti itu kerap terjadi di perusahaan-perusahaan. Misalnya, ketika perusahaan menyiapkan materi yang sekadar memaparkan kebaikan kinerja, tapi menutup diri dari kemungkinan munculnya sejumlah pertanyaan kritis dari publik dan media.

Atau memaksakan release-release yang tidak sesuai dengan selera publik, muncullah berita yang mungkin hanya dibaca oleh kalangan internal manajemen saja.

Dengan metode seperti itu, internal perusahaan mungkin akan terpuaskan dengan publikasi yang terjadi. Dan merasa targetnya telah terkomunikasikan ke publik dengan baik. Padahal, publik tidak aware.

Publik tak hanya butuh paparan kinerja yang serba ''mengkilap'', apalagi jika itu cuma sekadar kosmetis. Publik lebih membutuhkan kejujuran dan transparansi terhadap sesuatu yang menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab.

Di sini, PR harus menempatkan diri sebagai ''guardian of public trust'', penjaga kepercayaan publik. Memang, tak mudah melakukan peran tersebut. Tapi, justru itu lah tantangan terbesar dalam aktivitas PR modern saat ini.

Friday, November 29, 2002

Senyum Amrozy


Senyum Amrozy
Bisnis Indonesia 29 Nov, 2002

Perbicangan di ruang kaca itu berlangsung amat santai. Kapolri Da'i Bachtiar, yang saat itu menanggalkan atribut dinasnya, tampak menanyakan sejumlah pertanyaan kepada lawan bicaranya. Sesekali, pejabat tertinggi Kepolisian Republik Indonesia itu juga melempar senyum.
Sikap yang sama ditunjukkan oleh Amrozy, lawan bicara Da'i.

Bahkan, salah satu tersangka anggota komplotan yang meluluh-lantakkan kawasan wisata Legian, Kuta, Bali itu, terlihat jauh lebih rileks. Meski mengenakan seragam resmi tahanan Polda Bali, tapi Amrozy sama sekali tak tampak sebagai ''pembunuh'', yang aksinya menyebabkan tak kurang dari 186 nyawa melayang sia-sia.

Maklum, wajah lelaki 39 tahun asal Desa Tenggulun itu -- yang harus diakui cukup ganteng --tampak bersih seperti baru dicukur klimis. Dan, yang lebih mencengangkan, usai ''talk show'' tersebut, Amrozy menyempatkan diri melambaikan tangan dan tersenyum.

Ia seakan ingin menyampaikan salam kepada publik dunia (melalui ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang menyaksikan perbincangannya dengan Da'i). Sungguh, sama sekali tak tampak raut penyesalan di wajahnya. Secara komunikasi Amrozy memenangkan adegan ini.
Tentu saja, adegan tadi langsung ditanggapi serius oleh berbagai publik diseluruh dunia.

Pemerintah Australia dan anggota keluarga korban Bom Legian, yang kebanyakan juga adalah warga Australia, marah besar dengan adegan tadi. Mereka juga sempat melontarkan protes kepada pemerintah Indonesia, sambil mempertanyakan, ''Seberapa serius sih Kepolisian Indonesia mengungkap kasus Bom Legian.''

Sementara, sejumlah kalangan di dalam negeri, mencoba menanggapinya secara berhati-hati. Mereka bertanya, ada apa di balik sikap Da'i dan Amrozy tadi. Malah ada yang menyarankan agar dilakukan test psikologi terhadap Amrozy.

Cuplikan kisah tadi, memang sempat menjadi bahan pergunjingan dunia. Tapi dalam konteks komunikasi strategis yang kita bicarakan kali ini, adegan tadi juga bisa dijadikan sebagai contoh kasus yang menarik, betapa ''bahasa tubuh'' dalam kasus ini (yang ditampilkan sangat rileks ditengah konteks masalah yang sangat amat serius) bisa ditafsirkan dengan banyak makna. Dan, bisa menyebabkan blunder dan menambah masalah baru yang harus dihadapi.

Siapkan Materi

Seorang pejabat publik, memang harus melengkapi diri dengan kemampuan berkomunikasi melalui ''bahasa tubuh.'' Sebagus apa pun materi yang akan dikomunikasikan, ketika tubuhnya tak mampu mengkomunikasikannya dengan baik, maka hal itu akan ditanggapi secara salah oleh publik.

Apalagi, kalau keliru bersikap di depan press. Dalam sekejap bahkan secara langsung lensa-lensa kamera melalui satelit dapat mewakili milyaran mata pemirsa di seluruh dunia, bahkan di luar bumi sekalipun.

Dulu seorang pejabat BPPN pernah hampir membuat blunder serupa. Dalam sebuah press conference yang dilakukannya (yang semula berjalan lancar), tiba-tiba ada pertanyaan wartawan yang membuatnya tercekat.

Ia pun langsung merasa ''blank'', dan seakan tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut. Dan, ''kegagapan'' sang pejabat BPPN itu lah yang kemudian dijadikan pusat perhatian oleh pers – dengan mengeksploitasi isu itu, jangan-jangan memang ada sesuatu yang tak beres di balik sikap tersebut.

Walaupun, secara faktual itu cuma persoalan ketidak-siapan sang pejabat semata dalam menghadapi pers dengan berbagai macam pertanyaan yang mengejutkan. Untung pada saat itu pejabat lain cepat tanggap merespon situasi sehingga kondisi yang berpotensi merugikan perekonomian nasional tersebut dapat dihindari.

Nah, agar sebuah maksud dapat tersampaikan dengan baik, pejabat publik diharapkan dapat mengelola dan mengendalikan semua persoalan serba kompleks tersebut.

Salah satu caranya, adalah dengan menyiapkan ''kontra materi'' yang dapat dipakai untuk menghadapi segala kemungkinan. Tentunya semua itu tidak akan ada artinya jika tidak sungguh-sungguh dikuasai dengan benar dan dipersiapkan dengan matang.

Kalau kita kembalikan ke kasus Da'i dan Amrozy di atas, kegundahan dunia akhirnya terobati dengan kinerja ciamik aparat Kepolisian, yang menunjukkan keseriusan dan kerja keras serta kemajuan yang sangat cepat dan berarti.

Sekali lagi kinerja yang baik ternyata mampu membentuk citra positif dan sebaliknya komunikasi yang salah pun dapat dengan mudah merubahnya.

Meski sempat membuat blunder, tapi kali ini kita perlu mengacungkan jempol untuk prestasi polisi kita. Bravo Kepolisian Republik Indonesia!!

Sunday, November 17, 2002

Paradigma baru atau mati


Paradigma baru atau mati
Bisnis Indonesia 17 Nov, 2002

Menjalankan aktivitas public relations, hampir tak berbeda dengan menyusun sebuah ''strategi perang''. Karena hubungan yang baik dengan publik adalah strategis dan vital. Sehingga, siapa yang mampu membuat skenario public relations dengan format yang tepat, maka dipastikan dia bakal tampil sebagai pemenang dalam pertempuran yang dihadapinya -- baik itu pertempuran dalam arti persaingan bisnis, upaya pengembalian image yang sedang merosot atau memenangkan reputasi.

Dalam situasi seperti itu, aktivitas public relations, tak bisa dijalankan dengan cara-cara konvensional, yang cuma sekadar mengungkapkan kisah sukses, atau segala sesuatu yang sekilas tampak manis belaka. Salah satu penyebabnya, saat ini masyarakat yang harus dihadapi, sudah jauh lebih kritis ketimbang generasi-generasi sebelumnya. Sehingga, kita pun dituntut untik menjalankan komunikasi bisnis dengan langkah-langkah yang lebih strategis.

Karena itu, sebuah paradigma baru public relations menjadi sangat kontekstual. Dan, paradigma baru yang dimaksud di sini adalah perpaduan aktivitas komunikasi dan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kinerja.

Sebagus apa pun kualitas sebuah produk, atau sedahsyat apa pun kinerja sebuah perusahaan, tak akan ada artinya jika tak mampu terkomunikasikan dengan baik ke publik. Masyarakat, tetap saja tak akan memakai jasa atau membeli produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan.

Sebaliknya, semanis apa pun, pemberitaan yang dirilis mengenai sebuah perusahaan, di masa depan juga akan percuma belaka, jika pemilik dan pengelola perusahaan yang bersangkutan tetap tak mampu mendongkrak kinerja usaha. Memang, ada yang mengatakan, kebohongan yang terus-menerus, suatu ketika bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Tapi ingat pula, serapat apa pun kita menyimpan bangkai, suatu ketika bau busuknya pasti akan tercium juga.

Clinton & Gus Dur

Dalam konteks seperti itu, namun di tataran kenegaraan, ada sebuah cerita menarik mengenai strategi public relations yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat semasa kepemimpinan Bill Clinton dan pemerintah Indonesia saat kursi kepresidenan diduduki oleh Abdurrahman Wahid. Saat berkuasa, kedua presiden tersebut sama-sama sempat digoyang isu selingkuh. Clinton dengan Monica Lewinsky, dan Gus Dur dengan Aryanti.

Namun, strategi public relations yang dijalankan oleh para pembela kedua presiden itu sungguh berbeda. Di Amerika Serikat, ketika pamor Clinton hampir hancur akibat tuduhan pelecehan seksual yang dilakukannya kepada Lewinsky, Gedung Putih memilih menonjolkan sisi humanis Clinton untuk meredam isu tersebut.

Berkali-kali, Gedung Putih melansir aktivitas Clinton bersama istrinya, Hillary, dan putrinya, Chelsea. Di sana digambarkan, misalnya, kunjungan Clinton dan Hillary ke sekolah putri tercintanya itu.

Pemberitaan seperti itu, secara tegas menggambarkan image bahwa Clinton Family adalah sebuah keluarga bahagia, keluarga harmonis yang bisa menjadi panutan seluruh bangsa Amerika. Betapa tidak, sebagai seorang presiden sebuah negara adi kuasa, Clinton ternyata masih bisa menunjukkan sikap ke-bapak-annya.

Hasilnya, skandalnya dengan Lewinsky pun, harus dimaklumi sebagai sebuah ''keteledoran'' masa lalu yang tak perlu diingat lagi. ''Selain itu, siapa sih, laki-laki yang tak pernah melakukan kegenitan seperti itu di masa mudanya,'' ujar Clinton, saat pamornya sudah pulih kembali.

Namun, berbeda dengan apa yang dilakukan Gedung Putih, di Indonesia, orang-orang dekat Gus Dur malah mencoba melawan isu Aryantigate, dengan mengungkap skandal yang tak kalah hebohnya. Ketika arus pemberitaan mengenai kabar ''perselingkuhan'' Gus Dur dengan Aryanti sedang kencang-kencangnya, tiba-tiba sejumlah media melansir kabar rencana Abdurrahman Wahid untuk membeli pesawat khusus, semacam Air Force One milik presiden Amerika.

Otomatis, semua pemberitaan memang berbelok ke isu tersebut. Tak ada lagi pemberitaan mengenai Aryanti -- yang secara frontal bisa menjadi aib besar bagi kalangan nahdliyin. Tapi mengalihkan isu itu ke skandal Air Force One sebenarnya juga bukan langkah yang bijaksana. Karena pembelian pesawat khusus itu -- kalau memang benar-benar direalisasikan – dipastikan bisa merontokkan anggaran negara yang sedang defisit.

Memang, kabar soal Air Force One ala Gus Dur itu cuma sekadar isu belaka. Karena sebenarnya pemerintah Indonesia kala itu sama sekali tak berniat merealisasikannya. Di sini, tampak jelas bahwa orang-orang dekat Gus Dur memilih untuk menjalankan skenario public relations nya dengan strategi pengalihan berita. Karena, meski terbebas dari gunjingan kasus Aryanti, presiden keempat Indonesia itu tetap dicerca karena impiannya yang tak masuk akal, dan menurut saya secara keseluruhan makin menambah jajaran masalah; menyelesaikan masalah tidak harus dengan menciptakan masalah baru kan?

Sampai di sini, kita, tentunya bisa memilih strategi seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk mengkomunikasikan suatu hal tertentu.

Di sini, kecermatan kita untuk menerapkan paradigma baru public relations akan diuji. Apakah Anda sudah siap untuk itu? Kenyataannya siap tidak siap kita harus siap!

Sunday, April 28, 2002

BPPN, The Guardian of Public Trust?


BPPN, The Guardian of Public Trust?
Christovita Wiloto
KOMPAS - Minggu, 28 Apr 2002 Halaman: 32.

Mungkin begitulah rupa BPPN. Persis seperti ulat yang berubah jadi kupu-kupu, bentuknya berubah, cara hidupnya berubah, warnanya berubah, makanannya berubah, dari merayap di pohon menjadi terbang ke sana-sini. Bedanya ulat berubah hanya sekali, BPPN berkali-kali dan belum ketahuan kapan berhentinya perubahan- perubahan yang signifikan itu.

KETIKA dilahirkan, BPPN punya kesempatan menjadi lembaga yang ramping, andal, mampu menyelesaikan persoalan, dan dilengkapi dengan wewenang yang superkuasa. Maksud dan tujuannya tak lain, BPPN bisa menjadi ujung tombak pemerintah untuk segera mengentaskan Indonesia dari krisis ekonomi yang melanda sejak perrtengahan tahun 1997.

Tentu saja BPPN tak bisa bekerja sendirian. Dibutuhkan prasyarat berupa dukungan dan visi yang sama dari seluruh lembaga pemerintah seperti kejaksaan, kepolisian, seluruh kementerian ekonomi, dan tak lupa Bank Indonesia. Selain itu harus ada hukum, politik, dan keamanan yang kondusif.

Namun apa mau dikata. Karena menguasai aset Rp 650 milyar, BPPN menjadi incaran banyak pihak. Ibaratnya, BPPN adalah gula yang dirubung semut, dari semut hitam sampai semut hutan yang ganas. Celakanya, kondisi hukum, politik dan keamanan masih terus meledak- ledak sejak lahirnya BPPN pada bulan Februari 1998. Salah satu akibatnya adalah bukan dukungan dan visi yang sama antarlembaga pemerintah yang didapat, malah intrik yang menghabiskan energi yang terjadi. BPPN punya kesepakatan dengan debitor untuk menyelesaikan utang piutang di luar pengadilan, tetapi kejaksaan jalan sendiri. Tim menteri ekonomi yang tergabung dalam Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang merupakan bos BPPN, sekarang maunya begini, ganti personel KKSK, ganti lagi kemauannya.

Tak urung dalam usianya yang keempat, lembaga ini sudah tujuh kali gonta-ganti kepala. Bambang Subianto, kepala BPPN pertama, cuma bertahan sebulan. Yang dikerjakannya baru menyusun rancangan tugas dan wewenang BPPN, yang akan dituangkan dalam Keppres, tetapi belum sempat diteken Presiden Soeharto waktu itu.

Kepala BPPN kedua, Iwan Prawiranata, bertahan tiga bulan dengan kesibukan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan menutup bank-bank bobrok. Praktis baru di bawah kepemimpinan kepala BPPN ketiga Glenn Yusuf, BPPN mulai bekerja. Tetapi, karena penguasa negara berpindah-pindah tangan, BPPN, juga mengalami intervensi tiada henti. Glenn diganti Cacuk Sudaryanto, yang kemudian diganti lagi oleh Edwin Gerungan. Edwin kemudian diganti I Gde Putu Ary Suta dan Putu diganti BPPN Arsyad Temenggung Senin 22 April barusan.

Kondisi ini tentu merepotkan sebab selain belum tentu kepentingannya, setiap pemimpin punya gaya dan kultur yang berpengaruh pada gaya dan kultur lembaga yang dipimpinnya. Di sinilah BPPN mengalami metamorfosis, tetapi perubahan bentuk ini bukannya makin sempurna, justru makin tak jelas dan persoalan yang dihadapinya pun makin runyam.

Penyelesaian bukannya bertambah cepat, tetapi justru tak karuan juntrungannya, makin jauh panggang dari api. Hal ini di mata investor tentu bisa jadi ukuran. Kondisi makroekonominya belum pulih benar, keamanan tidak stabil, BPPN juga tak jelas. Kalaupun mereka tertarik membeli aset di BPPN, terang mereka meminta harga dengan diskon segede gunung.

Glenn Yusuf menyiapkan sistem dan strategi besar BPPN, tetapi sayang tidak taktis terhadap situasi politik yang extra-hot saat itu. Aset-aset dari bank yang tutup masuk ke daftar aset berhasil dikuasai BPPN. Begitu juga aset yang merupakan jaminan dari kredit bermasalah di bank-bank yang menerima suntikan dana rekapitalisasi pemerintah ditransfer ke BPPN.

Bila pemilik bank ketahuan menyalahi peraturan karena melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK), BPPN juga meminta pemilik bank membayarnya dengan setoran aset. Waktu itu BPPN kerja siang malam mengumpulkan aset sebanyak- banyaknya. Makin banyak aset didapat, kemungkinan kerugian negara makin berkurang, tetapi sayang setelah masa itu hampir-hampir tidak ada lagi aset yang dapat dikumpulkan BPPN.

Cacuk Sudaryanto sebenarnya melanjutkan program, bahkan dengan gerakan yang cepat dan sigap, berani mengambil keputusan dan fokus pada restrukturisasi aset sambil menunggu jelasnya persoalan dokumentasi aset milik BPPN. Sayangnya, Cacuk mungkin kena intervensi, memilih-milih debitor mana saja yang harus segera menyelesaikan kewajibannya, dan debitor mana saja yang diberi kelonggaran.

Dengan maksud membersihkan BPPN dari praktik curang, Presiden Abdurrahman Wahid waktu itu mengangkat Edwin Gerungan sebagai kepala BPPN kelima. Hanya sayang, Edwin terlalu takut mengambil keputusan, yang memang lebih banyak bernuansa politis dari pada ekonomisnya. Penyelesaian masalah debitor jadi terkatung-katung tak jelas. Sementara biaya yang harus ditanggung rakyat Indonesia atas lambatnya pengambilan kepusan di BPPN sekitar Rp 150 milyar per hari. Ini adalah biaya bunga obligasi rekapitalisasi yang harus dibayar pemerintah ke bank-bank yang menerima suntikan dana rekapitalisasi.

Mission Impossible

Kondisi yang makin memburuk ini masih harus ditambahi oleh satu faktor lagi. Pemerintah tak jelas memberi tugas BPPN karena BPPN dibebani dua tanggung jawab yang saling bertolak belakang. Di satu sisi BPPN bertugas mengurangi kerugian negara dengan melakukan restrukturisasi sehingga nilai aset tidak jeblok. Bila kondisi makro membaik, keamanan terjamin, BPPN baru akan menjual aset yang didapat dengan harapan harga asetnya ikut naik.
Bila banyak investor tertarik, harga aset BPPN bisa terdongkrak naik, kerugian negara bisa diminimalkan.

Di sisi lain, BPPN juga dibebani tanggung jawab yang cukup berat untuk menyetor duit ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan beban tugas menyetor ke pos penerimaan di APBN. Tidak mungkin mencapai keduanya secara bersamaan, dan bagi sebagian kepala BPPN yang paling gampang ya Obral! Sale!

Transparan

Nah, kepala BPPN harus pandai-pandai memilih aset mana yang bisa maksimal dijual sekarang dan aset mana yang harus direstrukturisasi dulu, lalu bisa dijual belakangan untuk mendapatkan harga lebih baik. Celakanya, paling gampang mengukur kesuksesan kepala BPPN adalah bila ia mampu memenuhi setoran ke APBN, walaupun dengan cara mengobral "ten cents a dollar!".

Jadi, restrukturisasi diabaikan dan penjualan diutamakan. Tetapi, menjual aset dengan cara membabi buta dan menghalalkan segala cara jelas bukan cara yang baik dan tidak bisa dipakai sebagai standar kesuksesan.

Ambil contoh struktur BPPN yang sempat dibuat sentralistis dengan maksud mempercepat pengambilan keputusan. Namun, sebagai konsekuensi keputusan yang sentralistis, kepala BPPN punya ruang yang cukup lebar untuk memainkan kepentingan, baik kepentingan dirinya sendiri, kepentingan orang-orang dekatnya, kepentingan golongan tertentu atau malah kepentingan debitor dengan kompensasi tertentu.

Mekanisme pengambilan keputusan yang tersentralisasi ini juga membuat informasi jadi sangat terbatas. Bila informasi menjadi barang langka, otomatis timbul peluang adanya jual-beli informasi atau calo-calo yang sok menjadi dewa penyelamat debitor karena merasa berjasa atas informasi yang ia miliki.

Jangankan publik, menurut orang dalam BPPN sendiri yang saya dengar, para staf tidak tahu sampai di mana proses yang tengah dijalani oleh debitor tertentu. Situasi yang serba gelap ini tak pernah diketahui publik. Proses di dalam BPPN tak pernah kena sorot pers. Yang muncul ke permukaan hanyalah pucuk gunungnya saja, sedangkan badan gunung masalah tidaklah tampak.

Selain ukuran prosedur dan kewenangan, etika harus penjadi ukuran kunci, sayangnya yang satu ini sulit mencari standarnya. Kalau BPPN memang mau berdandan rapi di muka publik bahwa dirinya bersih dari KKN, hal-hal seperti ini mestinya tak perlu terjadi. Dengan demikian jelas bahwa kinerja BPPN di satu sisi tertinggal oleh pemberitaan di media massa pada sisi yang lain.

Ada jurang perbedaan antara performance BPPN dan kepalanya di media massa yang diketahui publik dengan performance BPPN yang sesungguhnya, terutama yang menyangkut proses pengambilan keputusan. Sadar tidak sadar pemberitaan selama ini adalah pemberitaan yang mengalami distorsi.

Kepercayaan publik

Lepas dari kecurigaan sebagian orang per orang, yang pasti BPPN pada awalnya berani terbuka untuk mengatakan sampai di mana proses penyelesaian setiap debitor. Divisi komunikasi diberi keleluasaan dan akses yang sangat besar ke seluruh divisi di dalam BPPN, bahkan menjadi anggota Board of Directors walaupun tidak memiliki hak suara, tetapi yang didengarkan masukkannya dalam proses pengambilan keputusan.

Yang disampaikan ke publik adalah proses riil yang sedang berjalan. Misalnya saja, setiap minggu ada jadwal yang jelas untuk mengumumkan status debitor, dari debitor satu ke debitor lain secara bergiliran. Lalu apa keuntungannya bagi BPPN? Debitor yang mbalelo akan antre di depan pintu BPPN ingin segera bicara dengan staf BPPN agar ada kemajuan dalam proses penyelesaian kewajibannya. Itu semua dilaporkan kepada publik secara transparan.

Dengan demikian, BPPN menggunakan startegi komunikasi sebagai alat untuk mempermudah proses negosiasi dalam penyelesaian kewajiban debitur. Masyarakat mengalami pembelajaran bahwa membayar utang itu penting karena negara telah merugi.

Lalu bagaimana sekarang nasib debitor-debitor itu? Tugas BPPN- lah mengumumkan status penyelesaiannya. Ada debitor yang sudah membayar, ada yang empat tahun kerjanya cuma negosiasi dan belum bayar sepeser pun, ada juga debitor yang kabur atau pengadilan justru memenangkan debitor padahal sudah mencuri uang nasabah di bank bekas miliknya. Semua itu terjadi karena ketidaktransparanan.

Kalau BPPN belum bisa menagih uang negara, masyarakat harus tahu apa alasannya. Apakah sistem di BPPN yang bobrok, sistem peradilannya yang keliru, atau memang debitornya yang ngemplang dengan mengorbankan seluruh masyarakat Indonesia, karena seharusnya kewajiban itu adalah tanggung jawab debitor yang bersangkutan saja.

Standar penanganan debitor walaupun secara teknis sangat kontekstual, harus memenuhi rasa keadilan dan tegas. Jika satu pihak saja dimanjakan, maka BPPN akan pusing tujuh keliling karena jutaan yang lain akan minta perlakuan yang sama.

Hal lain yang harus dilakukan selain membuat sistem yang transparan terhadap setiap proses yang sedang berjalan adalah menunjuk juru bicara BPPN, orang yang dipasrahi tanggung jawab untuk bicara pada publik. Orang ini harus berbicara atas nama dan untuk kepentingan BPPN, bukan orang perorang atau kepentingan pihak-pihak tertentu. Karena itu komunikasi dilakukan secara professional dan bukan emosional. Tanggung jawab sebagai spoke person ini jangan diambil alih oleh kepala langsung, tetapi memberi kesempatan pada anak buahnya bercerita atau menunjuk orang lain yang bisa memberi keterangan dengan lebih detil dalam hal proses yang sedang berjalan di BPPN.

Biarkan sistem yang bekerja, buat prosedurnya, awasi pelaksanaannya, dan "jitak" kalau salah. Perlu dukungan staf yang profesional untuk mengurus hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab stafnya. Hal ini mudah sebetulnya, asal BPPN jelas, profesional dan tidak neko- neko.

Mengkomunikasikan kerja BPPN adalah hal yang penting kalau tak mau dibilang paling penting. Soalnya, informasi yang muncul ibarat pedang bermata dua. Yang satu bisa membunuh diri sendiri, yang lain bisa dipakai untuk mecapai tujuan. Dengan kata lain, komunikasi bisa menjadi racun yang mematikan bila diminum, tetapi juga sekaligus obat mujarab yang bisa menyembuhkan banyak penyakit kronis. Nah, arti penting komunikasi inilah yang mestinya mendapat perhatian yang cukup serius dari kepala BPPN yang baru, A Temenggung.

Sepanjang ada keseimbangan antara performance yang baik dari sistem kerja di BPPN dan mengkomunikasikan hal itu ke publik, maka BPPN dengan sendirinya akan mendapatkan kepercayaan publik. Sebaliknya, sebaik apa pun pekerjaan BPPN tetapi bila tidak mengomunikasikan diri di depan publik, maka BPPN hanya akan jadi santapan empuk berbagai pihak yang ingin menyudutkan BPPN.

Sedang bila baik dalam berkomunikasi tetapi tak diimbangi oleh kinerja yang transparan, akibatnya sudah bisa diramal, kepala BPPN nasibnya akan mirip dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Strategi komunikasi ini bukan cuma bisa dipakai oleh BPPN sebagai payung menghadapi hujan serangan dari debitor, tetapi juga bisa dipakai untuk melindungi diri atau mensterilkan diri dari intervensi, mulai dari intervensi Menneg BUMN sebagai atasannya langsung, KKSK, atasannya tidak langsung, Presiden hingga para anggota DPR yang terhormat.

Soalnya, kendati aset yang tersisa tinggal yang relatif busuk, BPPN masih dianggap tambang emas oleh mereka yang mengharapkan keuntungan. Bila BPPN imun, maka BPPN lebih mudah dalam menjalankan pekerjaannya, tidak dikutak-katik atau diintervensi oleh pihak lain. Bila itu bisa terjadi, maka seluruh rakyat bisa tidur nyenyak dan makin percaya pada BPPN. Artinya, BPPN bisa menjadi penjaga kepercayaan publik.

Mampukah BPPN membenahi lagi citranya yang sudah telanjur tidak keruan seperti sekarang ini? Jawabannya tergantung pada BPPN sendiri, apakah BPPN dapat dipercaya? Yang pertama kepala BPPN harus bisa meyakinkan publik bahwa dirinya bukan orang yang biasa melakukan patgulipat. Teman adalah teman, bos adalah bos. Tetapi secara fungsional, BPPN harus berani berdiri di atas kakinya sendiri sebagai badan profesional.

Kalau BPPN gagal pada langkah pertama ini, dapat dipastikan kinerjanya di BPPN bakal jadi bulan-bulanan.

Kedua, BPPN harus bisa meningkatkan kinerja sesuai dengan fungsinya, menyehatkan perekonomian dan meminta debitor menyelesaikan kewajibannya.

Yang terakhir dan patut digarisbawahi adalah mampukah BPPN mengkomunikasikan dirinya sendiri kepada publik. Di sinilah peran public relations menjadi sangat strategis.

CHRISTOVITA WILOTO,
Mantan Agency Secretary BPPN,
Managing Partner Power PR-Christovita Wiloto & Co

www.wiloto.com

www.wiloto.com