Friday, February 23, 2007

No Trust Society



Bisnis Indonesia http://www.bisnis.com/

Oleh:
Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific

Seorang rekan sangat panik ketika kehilangan dompetnya. Maklum di sana ada duit sekitar Rp10 juta, berbagai kartu kredit, asuransi, SIM, ID, KTP dan surat-surat berharga lainnya.
Dia pasrah dan merelakan dompetnya tadi. Namun ajaib, esoknya, pagi-pagi sebelum dia berangkat kerja, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ketika pintu dibuka, seorang dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat menyerahkan sebuah dompet.

''Maaf, apakah bapak kehilangan dompet ini?'' tanya orang berseragam tadi. Rekan saya memeriksanya, benar itu dompet miliknya. Yang membuat dia terkesan, tak ada selembar pun uangnya yang hilang. Kartu kreditnya juga masih di tempatnya semula. Sejumlah surat berharga yang dia khawatirkan hilang juga masih utuh.
''Saya menemukan dompet bapak ini di stasiun kereta. Mungkin terjatuh,'' kata orang tadi. ''Saya lihat ada kartu identitas bapak, lalu saya antarkan sesuai alamat yang ada di kartu itu,'' lanjutnya.

Kejadian hampir serupa terjadi pada diri saya. Tak lama setelah saya menyadari kalau handphone saya raib, seorang sopir taksi tiba-tiba datang dan mengembalikan handphone tadi. ''Saya menemukannya di jok belakang taksi saya. Jadi saya antar ke sini,'' ujar sopir taksi tadi, dengan tulus.

Dua kejadian tadi, sungguh luar biasa. Tapi sayang, keduanya tak terjadi di Indonesia. Rekan saya mengalaminya di Tokyo, sedangkan saya saat berada di Singapura. Mungkinkah kejadian seperti itu terjadi di Jakarta?

Ketika pertanyaan itu saya lontarkan pada rekan-rekan saat makan siang, hampir serempak mereka menjawab, "Tidak!". Bahkan seorang rekan bercerita, bahwa belum lama berselang ada seorang ibu jatuh terserempet mobil. Banyak orang yang datang menolong. Tapi-mudah diduga-ibu itu malah kehilangan dompet, handphone dan perhiasannya.

Julukan untuk Indonesia

Tiba-tiba saya ingat istilah no trust society. Sebuah julukan menyesakkan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Saya selalu ingin membantah julukan itu. Tapi sejumlah fakta justru kerap makin memperkuat julukan itu.

Bahwa di koran ada surat pembaca yang memuji kejujuran seorang sopir taksi yang mengembalikan barang penumpangnya yang ketinggalan, itu merupakan sesuatu yang amat langka. Yang lebih sering kita baca adalah keluhan lantaran terjadi tabrak lari, atau seorang ibu yang harus digeledah paksa saat berbelanja di sebuah mal karena dicurigai mencuri oleh satpam mal tersebut.

Salah satu hal yang kita sudah anggap lumrah, adalah kewajiban untuk menitipkan bawaan kita, bahkan jaket dan topi, setiap mau belanja di supermarket. Sementara kewajiban itu, dibanyak negara lain tidak diberlakukan. Selain itu, di Jakarta setiap mobil dan tas kita harus digeledah saat memasuki sebuah hotel atau pusat perbelanjaan, walau kita bersama anak-anak sekalipun.

Di beberapa hotel dan gedung perkantoran harus melewati pintu detektor yang selalu berbunyi kalau kita lupa mengeluarkan uang receh atau benda-benda logam lainnya.

Meski ada alasan pembenarannya, misalnya sebagai tindakan preventif dari tindakan terorisme, tapi menurut saya semua itu merupakan sebuah bentuk kecurigaan di antara kita. Tak ada sikap saling percaya di antara masyarakat kita. Dari sinilah muncul julukan tadi, no trust society.

Sikap tidak saling percaya itulah yang kini hampir setiap hari kita lihat, rasakan, juga baca di media massa. Hampir setiap hari ada demo buruh menyerang manajemen dan pemilik pabrik. Atau demo mahasiswa/LSM menyerang kebijakan pemerintah.

Bahkan, demo ribuan karyawan sebuah BUMN untuk menagih pembayaran gaji yang dijanjikan pemerintah segera cair. Mereka terpaksa melakukan demo karena janji itu cuma di mulut saja. Dan, kalau pun cair, jumlah gaji yang dibayarkan tak sesuai dengan yang dijanjikan.

Bahkan, banyak pula tabloid yang memaparkan keretakan rumah tangga aktor dan artis ternama. Persoalannya, kadang-kadang sepele, karena sang istri atau suami berselingkuh dengan pria/wanita idaman lain (PIL/WIL). Kasus seperti ini malah sampai melebar ke saling gugat dan harus masuk ke persidangan. Dan, berujung pada perceraian.

Fenomena inilah yang barangkali menginspirasi pencipta lagu SMS, yang dipopulerkan oleh Trio Macan. Lirik lagu itu memang jenaka, dan digandrungi masyarakat. Coba simak bait pertamanya, ''Bang SMS siapa ini Bang. Bang pesannya pakai sayang-sayang. Bang tampaknya dari pacar Abang. Bang hati ini mulai tak senang.''

Saling percaya

Fenomena seperti yang terjadi di masyarakat kita tadi memang menyesakkan. Padahal, di saat negara sedang mengalami banyak cobaan seperti sekarang, seluruh bangsa seharusnya harus saling percaya. Harus saling mendukung.

Karena dengan saling percaya itulah kita bisa bersinergi untuk membangun bangsa dan negara ini. Bukan malah menyuburkan budaya masyarakat yang saling mencurigai. Dan jangan ada yang berupaya mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan.

No trust society merupakan masalah strategis yang sangat kritis untuk segera kita atasi. Dalam perusahaan hal inipun selalu terjadi, antar anggota manajemen dan karyawan tidak saling percaya satu dengan yang lain. Bahkan, sering kali sudah menjurus pada saling mencurigai.

Hal ini biasanya dimulai dengan tidak adanya upaya masing-masing anggota untuk saling menjaga kepercayaan yang sudah diperoleh. Sebetulnya lingkungan perusahaan adalah lingkungan kecil yang sangat mungkin untuk diubah menjadi suatu trust society. Dengan kepemimpinan dan sistem serta program yang terintegrasi dan dijalankan dengan konsisten, bisa membentuk budaya perusahaan yang saling percaya.

Memang salah satu cara strategis mengubah Indonesia dari no trust society menjadi trust society adalah melalui perubahan di unit-unit terkecil sebuah negara, seperti diri sendiri, keluarga dan perusahaan. Tentunya juga harus didukung dengan sistem hukum yang sehat.

Saturday, February 10, 2007

Indonesia; Pacific Ring of Fire




Bisnis Indonesia

Oleh: Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp Asia Pacific

Kita harus menghadapi kenyataan hidup diatas Pacific Ring of Fire dan hingga 30 tahun mendatang mau tidak mau kita harus siap setiap saat menghadapi berbagai bencana alam berskala besar, seperti letusan gunung berapi, gempa, dan tsunami.

Pacific Ring of Fire, karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif. Lempeng Indo-Australia yang mendesak ke timur laut dan utara, Lempeng Eurasia yang relatif statis tetapi bergerak ke arah tenggara, dan Lempeng Pasifik yang mendesak ke arah barat daya dan barat laut. Indonesia sendiri terbentuk karena pergerakan besar lempeng-lempeng tersebut.
Aktivitas tiga lempeng besar yang sangat aktif dan saling bertumbukan membuat kita senantiasa rawan bencana. Indonesia juga memiliki sekitar 400 gunung api, sekitar 100 di antaranya aktif.

Setidaknya telah terjadi 212 gempa bumi dengan magnitudo 7 skala Richter atau lebih, sejak tahun 1900 sampai dengan 2004. Sebanyak 86 gempa di antaranya menyebabkan tsunami.

Setelah Aceh, Nias, Padang, Yogyakarta, Pangandaran, Selat Sunda dan kemarin Gorontalo, potensi untuk terjadinya gempa bumi masih ada di sepanjang zona subduksi yang menjadi tempat pertemuan lempeng.

Hal ini disebabkan adanya pergerakan tiga lempeng besar bumi sepanjang 4.000 KM yang memanjang dari sebelah barat Sumatera, selatan Jawa, hingga Bali, NTB, dan NTT.

Juga menyebabkan terjadinya patahan/ sesar-baik besar maupun kecil yang menjulur ke berbagai arah melintasi berbagai daerah padat penduduk tersebut.

Daerah-daerah rawan tsunami menurut peta Badan Meteorologi dan Geofisika, adalah wilayah pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, hingga selatan Nusa Tenggara yang akan dilanda tsunami dari subduksi lempeng di dasar laut Samudra Hindia, yaitu menghunjamnya lempeng Indo- Australia ke lempeng Eurasia di bagian utaranya.
Sedangkan wilayah utara NTT, sebagian pantai barat Kalimantan, hampir seluruh pantai di Sulawesi, seluruh pantai di kepulauan Maluku, dan pantai barat Papua akan diterjang tsunami dari interaksi lempeng benua Eurasia dan Pasifik serta lempeng mikro di dasar laut. Tsunami yang akan terjadi di daerah itu pascagempa akan menerjang pantai dengan kisaran waktu lima hingga 30 menit.
Ramalan BMG, aktivitas lempeng-lempeng ini masih akan terus meningkat dalam kurun 30 tahun ke depan.

Bahkan DKI Jakarta terbukti tidak aman dari ancaman gempa dan tsunami. Hal ini dapat dilihat dari rekaman sejarah wilayah pantai utara. Beberapa hari lalu warga Jakarta sempat lebih dari sekali dibuat panik dengan goncangan gempa.
Namun, bencana yang kini marak di Indonesia, bukan semata akibat aktivitas lempengan bumi saja. Banyak bencana tambahan yang terjadi karena ulah jumawa manusia sendiri, seperti lumpur panas, kekeringan, kebakaran hutan, belum lagi nanti pada musim hujan, longsor, banjir, dan banjir bandang yang langganan akan datang silih berganti.

Mempersiapkan Seluruh Rakyat

Untuk mencegah korban jiwa dan kerugian yang sangat besar, maka seluruh rakyat Indonesia perlu dipersiapkan, baik mental maupun secara teknis, untuk menghadapi bencana alam.

Pertama, sistem peringatan dini, menurut Praveen Pardeshi pakar dari UN/ISDR, bekerja berdasarkan pada empat unsur, yakni pemahaman mengenai risiko bencana yang dihadapi, warning services yang menekankan pada pengawasan teknis, diseminasi informasi kepada publik dan masyarakat, serta kapabilitas untuk merespons dengan cepat dalam kondisi gempa dan tsunami benar-benar terjadi.
Dalam kasus gempa dan tsunami Aceh, keempat-empatnya tidak berfungsi. Hal ini menyebabkan jumlah korban jiwa yang sangat besar.

Beda dengan Aceh yang mendadak sontak, gempa dan tsunami di selatan Jawa seharusnya bisa lebih diantisipasi.

Berdasarkan catatan United Stated Geological Survey, Pacific Tsunami Warning Center di Hawaii dan Japan Meteorogical Agency sebenarnya sudah mengingatkan Indonesia bakal datangnya tsunami hanya 4 menit setelah gempa terjadi atau 45 menit sebelum terjadinya tsunami.

Kalau saja peringatan itu bisa diumumkan tepat waktu pada masyarakat, pasti banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Kedua, koordinasi penanganan bencana. Dalam kasus tsunami Pangandaran, tidak ada pernyataan yang sinkron antara pejabat pemerintah. Termasuk dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, sangatlah disayangkan dan harus dibenahi, karena mengakibatkan resiko yang sangat tinggi.

Hasil wawancara AFP menunjukkan, bahwa Menneg Ristek tidak mengumumkan informasi yang didapatnya karena ia tidak ingin muncul kepanikan berlebihan. "Kalau tidak terjadi (tsunami), bagaimana?" ujarnya. Dalam pernyataan lain lagi, ia mengatakan, bukan wewenang dia untuk mengumumkan apakah gempa akan menyebabkan tsunami atau tidak.
Lembaga yang berwenang, menurut dia, adalah BMG. Padahal, menurut Hatta, Menneg Ristek-lah koordinator sistem peringatan dini. Pengakuan terakhir Kusmayanto kepada Kompas (21/7), ia baru mengetahui informasi soal gempa dan prediksi tsunami dari BMG, yang menerima informasi tersebut dari PTWC dan JMA, 17 menit setelah gempa atau 45 menit sebelum tsunami.

Ini bukan pertama kalinya terjadi, di kasus Nias, 28 Maret 2005, menurut laporan misi ahli dari Intergovernmental Oceanographic Commission, informasi ancaman tsunami juga sudah diterima pihak Indonesia kurang dari 20 menit setelah gempa.

Namun, seperti kasus Pangandaran, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Akibatnya, jatuh korban hingga mencapai sekitar 900 orang.

Ketiga, perlengkapan deteksi bencana. BMG menyalahkan perangkat peringatan dini yang sederhana dan kendala telekomunikasi sebagai sumber kegagalan sistem peringatan dini.

Indonesia memiliki 1.200 titik rawan bencana dan diperlukan satu alat peringatan dini tsunami di setiap 10 KM wilayah perairan yang menghadap zona subduksi. Total biaya sistem peringatan dini yang dibutuhkan adalah Rp 1,2 triliun.
Kini pemerintah baru memiliki 10 alat sumbangan Jerman. Dua sudah dipasang, tetapi rusak. Rencananya 8 sisanya baru dipasang tahun depan.

Keempat, sosialisasi masyarakat. Pemerintah dan masyarakat di daerah rawan gempa tsunami selama ini hanya terfokus pada respons darurat, sesudah bencana datang. Padahal, yang harus dibangun adalah respons preventif sebelum terjadi bencana.

Hasil survei LIPI bersama Unesco di Padang dan Bengkulu, dua daerah yang diperhitungan LIPI terancam bencana sedahsyat Aceh, masyarakat tidak tahu dan kurang peduli pada bencana yang siap menerjang itu.
Bahkan masyarakat Aceh Besar pun belum tergugah untuk mengambil pelajaran dari bencana yang menimpa tetangganya, Banda Aceh dan Meulaboh.

Kelima, gerakan swadaya masyarakat. Sebagai contoh Bantul menggagas pembangunan shelter perlindungan di perbukitan daerah pantai, latihan evakuasi dan 98 orang Tim SAR yang bersiaga 24 jam menjaga pantai secara bergantian. Sumatera Barat dan Bengkulu menggunakan sirene peringatan dini. Di kota-kota lainnya, pelatihan dilakukan secara bergilir.

Justru warga DKI Jakarta yang belum siap dengan segala kemungkinan gempa dan tsunami. Mengingat kondisi Jakarta yang sangat macet arus lalu lintasnya, banyak jalan layang dan gedung-gedung bertingkat, Jakarta sangat berpotensi menelan lebih banyak korban jiwa dan kerugian.

Keenam, undang-undang kebencanaan adalah mutlak sebagai panduan nasional dalam mengantisipasi bencana. Antara lain pengurusan izin mendirikan bangunan yang mengindahkan kaidah-kaidah antisipasi bencana.
Ketujuh, bertobatlah! Posisi kita yang hidup di atas Pacific Ring of Fire, seharusnya membuat kita, bangsa Indonesia, makin sadar akan kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih. Mungkin semua ini adalah cara Tuhan berkomunikasi pada kita, bangsa Indonesia, agar kita bertobat dan makin dekat denganNya, selagi masih sempat.

Banjir & Doa Nasional

Oleh Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific

"Indonesia Floods Leave 200,000 Homeless." begitu kira-kira judul berita yang dimuat hampir di seluruh media internasional, seperti The Associated Press; Washington Post, USA; Focus News, Bulgaria; The Telegraph, Inggris; Turkish Daily News; MWC News, Canada; ABC News Australia; BBC News, Inggris; dan masih banyak lagi media-media international yang memuat berita sedih ini.

Berita banjir besar di Jakarta ini sempat menggeser beberapa berita buruk lainnya asal Indonesia, seperti flu burung dan lumpur panas Lapindo yang selalu dipantau perkembangannya oleh publik internasional.Setelah diguyur hujan hanya selama hampir tiga hari berturut-turut -- sejak Kamis (1/2) hingga Sabtu (3/2) -- Ibu Kota pun nyaris tenggelam.

Air meluap kemana-mana. Dari perumahan kelas bawah hingga ke kompleks perumahan menteri, bahkan Istana Presiden. Dari gang-gang sempit hingga jalan protokol. Jalan tol -- termasuk yang ke arah Bandara -- terpaksa ditutup.

Sementara, jalan tol yang masih beroperasi praktis lumpuh, dan macet total, lantaran semua kendaraan (termasuk sepeda motor) berebut aman dengan mengakses jalan tersebut. Puluhan ribu warga mengungsi.

Tak kurang dari 29 orang dinyatakan tewas, karena kedinginan, terseret arus dan tersengat listrik. Karena itu, hampir 20 persen listrik Jakarta terpaksa dimatikan, untuk menghindari korban lebih banyak lagi. Separuh warga Jakarta terpaksa hidup dalam gulita, dan kekurangan air bersih.

Setral Telepon Otomat (STO) Semanggi II, di Jl Gatot Subroto terendam setinggi dada. Akibatnya, 70.000 satuan sambungan telepon (SST) menjadi bisu tuli. Jaringan telepon seluler dan internet terganggu. Sehingga warga Jakarta seperti hidup di zaman batu, sebelum alat komunikasi ditemukan.

Layanan perbankan juga tak optimal. Ratusan mesin ATM -- dari berbagai bank -- offline. Pusat perbelanjaan, dan rumah sakit juga banyak yang berkubang air. Sebagian sarana transportasi, terpaksa berhenti beroperasi. Termasuk 80-an lebih bis Trans Jakarta yang melintasi tiga koridor busway.

Jalur kereta api antar kota pun tak dapat digunakan. Demikian pula KRL yang dioperasikan tenaga listrik, terpaksa tak bisa melayani penumpang. Ribuan warga Jakarta terkatung-katung.

''Ini siklus lima tahunan. Tak perlu cari kambing hitam,'' kilah Gubernur DKI, Sutiyoso. Memang pada saat yang bersamaan dilaporkan di Johor Malaysia & juga Fiji, sebuah negara kepulauan dekat Irian juga terlanda banjir. Namun jika ini siklus lima tahunan, mengapa seperti tidak ada persiapan sama sekali? Aneh bukan?

Siapa yang patut disalahkan dalam bencana kali ini? Sudahlah, hanya yang berjiwa ksatria saja yang berani mengakui kesalahannya. Tapi, pemerintah juga tak bisa lepas tangan sama sekali, dengan berlindung di balik fenomena alam.

''Lahan hijau yang selama ini menjadi resapan air hujan, banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan,'' kata Wapres Jusuf Kalla. Sementara pembangunan villa-villa mewah di kawasan Puncak yang kian menggila juga dituduh sebagai salah satu biang keladi banjir di Jakarta. ''Saya sudah berulang kali peringatkan, ini (pembangunan villa-villa yang tak terkendali di Puncak) bisa berdampak sangat luas,'' kata Menhut MS Ka'ban.

Sementara pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) -- sepanjang 23,7 kilometer dari Duren Sawit hingga ke Marunda -- berjalan amat lambat. Hingga kini tak lebih dari 8 kilometer yang mulai dibangun. Walau sudah direncanakan sejak zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sampai saat ini pembebasan tanahnya pun belum sepenuhnya tuntas.

''Padahal kita siap memberi penggantian sesuai harga pasar. Artinya, masyarakat yang terkena gusur tak akan rugi,'' kata Menteri PU, Djoko Kirmanto. Uniknya, saat Pemprov DKI meminta izin untuk memakai dana APBD sebesar Rp 600 miliar, DPRD minta angka itu dikurangi.

Padahal, peran BKT mengatasai banjir di Jakarta amat strategis. Setidaknya kanal itu bisa mengendalikan 25 persen tumpahan air bah yang akan menerjang Jakarta. Sampai di sini jelas, Pemprov DKI tak ingin disalahkan sendirian dalam musibah banjir yang kembali menyambangi Jakarta.

Meski, peringatan tentang kemungkinan terjadinya banjir besar di Jakarta sudahkerap didengungkan banyak pihak. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), misalnya, jauh hari sebelumnya telah memprediksikan bakal terjadi hujan besar pada Februari-Maret 2007. Bahkan kira-kira seminggu sebelum banjir besar di Jakarta, BMG sempat melarang (khusus) Presiden SBY untuk terbang. Bahaya bagi Presiden, katanya, BMG memang tidak mengumumkan larang terbang ke bangsa Indonesia.

Dan, saat sejumlah daerah -- termasuk Bekasi, yang notebene berada di pinggir Jakarta -- mulaikebanjiran, Pemprov DKI dan warga Jakarta seakan cuek, tenang-tenang saja. Mereka tak melakukan persiapan apa pun untuk menyambut tamu yang tak pernah diundang itu.

Bahkan, poster-poster 'Indonesia Terapung' yang terpampang di hampir seluruh penjuru kota seakanmenjadi pajangan semata. Padahal, poster itu dipasang Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa selain untuk mengetuk nurani kita menyalurkan donasi ke warga yang terserang banjir di Aceh Tamiang, juga untuk mengingatkan kita, bukan tak mungkin suatu saat Jakarta juga bakal terlanda banjir.

Mungkin kata-kata 'Indonesia Terapung" saat ini dirasa cukup "ngepop" bagi sebagaian warga Jakarta, mungkin yang dibutuhkan warga Jakarta adalah kata-kata keras seperti "Awas Banjir Besar!", atau entahlah.

Tak heran kalau Pemprov DKI dan warga Jakarta seperti terkaget-kaget saat banjir menyerbu Ibu Kota, Jumat (2/2) lalu. Aksi evakuasi korban banjir dan penyaluran bantuan juga nyaris tak terkoordinasi dengan baik.

Warga terpaksa harus berswadaya membangun tempat pengungsian dan dapur umum. Evakuasi pun lebih banyak dilakukan relawan yang tak lain adalah warga setempat. Walau tampak ada personel TNI yang ikut membantu.

Ini indikasi konkret kita memang tak siap menghadapi bencana alam. Tak bisa dibayangkan dengan penangangan banjir yang seperti itu, bagaimana jika bencana yang lebih besar datang secara tiba-tiba. Amit-amit, tapi seperti gempa bumi besar, yang disertai tsunami, seperti di Aceh dan Yogya?

Kita sama sekali tidak mengharapkan dan senantiasa berdoa agar Tuhan menghindarkan kita dari segala bencana. Namun sebagai layaknya sebuah ibukota negara, Jakarta harus tetap bersiap diri, agar korban dapat sebisa mungkin dihindari.

Perlu sekali lagi diingatkan, bahwa Indonesia berada di "Pacific Ring of Fire", karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif. Lempeng Indo-Australia yang mendesak ke timur laut dan utara, Lempeng Eurasia yang relatif statis tetapi bergerak ke arah tenggara, dan Lempeng Pasifik yang mendesak ke arah barat daya dan barat laut. Indonesia sendiri terbentuk karena pergerakan besar lempeng-lempeng tersebut.

Selama 30 tahun kedepan Indonesia harus siap setiap saat berada dalam bahaya gempa bumi dan tsunami, tidak terkecuali DKI Jakarta! (baca tulisan saya di BIM Agustus 2006)

Kita memang berharap berbagai bencana di Indonesia segera dapat berhenti. Sekali lagi, sebagai bangsa yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, adalah sangat urgent bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk segera melakukan doa nasional, demi keselamatan Indonesia.

Memang, sejumlah ustadz -- dengan didukung sejumlah lembaga swasta -- sudah melakukan zikir bersama, demikian juga dengan beberapa Gereja melalukan doa dan puasa. Namun, saya yakin kalau doa nasional ini dikomandani oleh Presiden SBY, dengan melibatkan seluruh bangsa dari semua agama di seluruh pelosok Indonesia, dalam waktu -- misalnya -- sepekan, maka gerakkan moral ini efeknya bisa lebih dahsyat, setidak-tidaknya akan meningkatkan rasa kesatuan dan persaudaraan, senasib sepenanggungan yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia.

Marilah kita berdoa bersama secara nasional, minta pengampunan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Kasih, demi keselamatan Indonesia. Pak SBY, ayo dong?!

www.wiloto.com

www.wiloto.com