Saturday, February 10, 2007

Banjir & Doa Nasional

Oleh Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific

"Indonesia Floods Leave 200,000 Homeless." begitu kira-kira judul berita yang dimuat hampir di seluruh media internasional, seperti The Associated Press; Washington Post, USA; Focus News, Bulgaria; The Telegraph, Inggris; Turkish Daily News; MWC News, Canada; ABC News Australia; BBC News, Inggris; dan masih banyak lagi media-media international yang memuat berita sedih ini.

Berita banjir besar di Jakarta ini sempat menggeser beberapa berita buruk lainnya asal Indonesia, seperti flu burung dan lumpur panas Lapindo yang selalu dipantau perkembangannya oleh publik internasional.Setelah diguyur hujan hanya selama hampir tiga hari berturut-turut -- sejak Kamis (1/2) hingga Sabtu (3/2) -- Ibu Kota pun nyaris tenggelam.

Air meluap kemana-mana. Dari perumahan kelas bawah hingga ke kompleks perumahan menteri, bahkan Istana Presiden. Dari gang-gang sempit hingga jalan protokol. Jalan tol -- termasuk yang ke arah Bandara -- terpaksa ditutup.

Sementara, jalan tol yang masih beroperasi praktis lumpuh, dan macet total, lantaran semua kendaraan (termasuk sepeda motor) berebut aman dengan mengakses jalan tersebut. Puluhan ribu warga mengungsi.

Tak kurang dari 29 orang dinyatakan tewas, karena kedinginan, terseret arus dan tersengat listrik. Karena itu, hampir 20 persen listrik Jakarta terpaksa dimatikan, untuk menghindari korban lebih banyak lagi. Separuh warga Jakarta terpaksa hidup dalam gulita, dan kekurangan air bersih.

Setral Telepon Otomat (STO) Semanggi II, di Jl Gatot Subroto terendam setinggi dada. Akibatnya, 70.000 satuan sambungan telepon (SST) menjadi bisu tuli. Jaringan telepon seluler dan internet terganggu. Sehingga warga Jakarta seperti hidup di zaman batu, sebelum alat komunikasi ditemukan.

Layanan perbankan juga tak optimal. Ratusan mesin ATM -- dari berbagai bank -- offline. Pusat perbelanjaan, dan rumah sakit juga banyak yang berkubang air. Sebagian sarana transportasi, terpaksa berhenti beroperasi. Termasuk 80-an lebih bis Trans Jakarta yang melintasi tiga koridor busway.

Jalur kereta api antar kota pun tak dapat digunakan. Demikian pula KRL yang dioperasikan tenaga listrik, terpaksa tak bisa melayani penumpang. Ribuan warga Jakarta terkatung-katung.

''Ini siklus lima tahunan. Tak perlu cari kambing hitam,'' kilah Gubernur DKI, Sutiyoso. Memang pada saat yang bersamaan dilaporkan di Johor Malaysia & juga Fiji, sebuah negara kepulauan dekat Irian juga terlanda banjir. Namun jika ini siklus lima tahunan, mengapa seperti tidak ada persiapan sama sekali? Aneh bukan?

Siapa yang patut disalahkan dalam bencana kali ini? Sudahlah, hanya yang berjiwa ksatria saja yang berani mengakui kesalahannya. Tapi, pemerintah juga tak bisa lepas tangan sama sekali, dengan berlindung di balik fenomena alam.

''Lahan hijau yang selama ini menjadi resapan air hujan, banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan,'' kata Wapres Jusuf Kalla. Sementara pembangunan villa-villa mewah di kawasan Puncak yang kian menggila juga dituduh sebagai salah satu biang keladi banjir di Jakarta. ''Saya sudah berulang kali peringatkan, ini (pembangunan villa-villa yang tak terkendali di Puncak) bisa berdampak sangat luas,'' kata Menhut MS Ka'ban.

Sementara pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) -- sepanjang 23,7 kilometer dari Duren Sawit hingga ke Marunda -- berjalan amat lambat. Hingga kini tak lebih dari 8 kilometer yang mulai dibangun. Walau sudah direncanakan sejak zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sampai saat ini pembebasan tanahnya pun belum sepenuhnya tuntas.

''Padahal kita siap memberi penggantian sesuai harga pasar. Artinya, masyarakat yang terkena gusur tak akan rugi,'' kata Menteri PU, Djoko Kirmanto. Uniknya, saat Pemprov DKI meminta izin untuk memakai dana APBD sebesar Rp 600 miliar, DPRD minta angka itu dikurangi.

Padahal, peran BKT mengatasai banjir di Jakarta amat strategis. Setidaknya kanal itu bisa mengendalikan 25 persen tumpahan air bah yang akan menerjang Jakarta. Sampai di sini jelas, Pemprov DKI tak ingin disalahkan sendirian dalam musibah banjir yang kembali menyambangi Jakarta.

Meski, peringatan tentang kemungkinan terjadinya banjir besar di Jakarta sudahkerap didengungkan banyak pihak. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), misalnya, jauh hari sebelumnya telah memprediksikan bakal terjadi hujan besar pada Februari-Maret 2007. Bahkan kira-kira seminggu sebelum banjir besar di Jakarta, BMG sempat melarang (khusus) Presiden SBY untuk terbang. Bahaya bagi Presiden, katanya, BMG memang tidak mengumumkan larang terbang ke bangsa Indonesia.

Dan, saat sejumlah daerah -- termasuk Bekasi, yang notebene berada di pinggir Jakarta -- mulaikebanjiran, Pemprov DKI dan warga Jakarta seakan cuek, tenang-tenang saja. Mereka tak melakukan persiapan apa pun untuk menyambut tamu yang tak pernah diundang itu.

Bahkan, poster-poster 'Indonesia Terapung' yang terpampang di hampir seluruh penjuru kota seakanmenjadi pajangan semata. Padahal, poster itu dipasang Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa selain untuk mengetuk nurani kita menyalurkan donasi ke warga yang terserang banjir di Aceh Tamiang, juga untuk mengingatkan kita, bukan tak mungkin suatu saat Jakarta juga bakal terlanda banjir.

Mungkin kata-kata 'Indonesia Terapung" saat ini dirasa cukup "ngepop" bagi sebagaian warga Jakarta, mungkin yang dibutuhkan warga Jakarta adalah kata-kata keras seperti "Awas Banjir Besar!", atau entahlah.

Tak heran kalau Pemprov DKI dan warga Jakarta seperti terkaget-kaget saat banjir menyerbu Ibu Kota, Jumat (2/2) lalu. Aksi evakuasi korban banjir dan penyaluran bantuan juga nyaris tak terkoordinasi dengan baik.

Warga terpaksa harus berswadaya membangun tempat pengungsian dan dapur umum. Evakuasi pun lebih banyak dilakukan relawan yang tak lain adalah warga setempat. Walau tampak ada personel TNI yang ikut membantu.

Ini indikasi konkret kita memang tak siap menghadapi bencana alam. Tak bisa dibayangkan dengan penangangan banjir yang seperti itu, bagaimana jika bencana yang lebih besar datang secara tiba-tiba. Amit-amit, tapi seperti gempa bumi besar, yang disertai tsunami, seperti di Aceh dan Yogya?

Kita sama sekali tidak mengharapkan dan senantiasa berdoa agar Tuhan menghindarkan kita dari segala bencana. Namun sebagai layaknya sebuah ibukota negara, Jakarta harus tetap bersiap diri, agar korban dapat sebisa mungkin dihindari.

Perlu sekali lagi diingatkan, bahwa Indonesia berada di "Pacific Ring of Fire", karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif. Lempeng Indo-Australia yang mendesak ke timur laut dan utara, Lempeng Eurasia yang relatif statis tetapi bergerak ke arah tenggara, dan Lempeng Pasifik yang mendesak ke arah barat daya dan barat laut. Indonesia sendiri terbentuk karena pergerakan besar lempeng-lempeng tersebut.

Selama 30 tahun kedepan Indonesia harus siap setiap saat berada dalam bahaya gempa bumi dan tsunami, tidak terkecuali DKI Jakarta! (baca tulisan saya di BIM Agustus 2006)

Kita memang berharap berbagai bencana di Indonesia segera dapat berhenti. Sekali lagi, sebagai bangsa yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, adalah sangat urgent bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk segera melakukan doa nasional, demi keselamatan Indonesia.

Memang, sejumlah ustadz -- dengan didukung sejumlah lembaga swasta -- sudah melakukan zikir bersama, demikian juga dengan beberapa Gereja melalukan doa dan puasa. Namun, saya yakin kalau doa nasional ini dikomandani oleh Presiden SBY, dengan melibatkan seluruh bangsa dari semua agama di seluruh pelosok Indonesia, dalam waktu -- misalnya -- sepekan, maka gerakkan moral ini efeknya bisa lebih dahsyat, setidak-tidaknya akan meningkatkan rasa kesatuan dan persaudaraan, senasib sepenanggungan yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia.

Marilah kita berdoa bersama secara nasional, minta pengampunan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Kasih, demi keselamatan Indonesia. Pak SBY, ayo dong?!

No comments:

www.wiloto.com

www.wiloto.com