Friday, January 27, 2006

Playboy Indonesia?

Foto: Tiara Lestari Model Playboy Agustus 2005 Asli Indonesia
Bisnis Indonesia,
Minggu 29 Januari 2006

Playboy Indonesia?

Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com
email: powerpr@wiloto.com

Siapa tak kenal majalah Playboy? Logo kepala kelinci putihnya telah mendunia. Walaupun menjadi simbol perlawanan terhadap segala sesuatu yang bersifat konservatisme, dia juga menjadi ikon para pemuja 'revolusi seksual' yang menjadi tren di kalangan muda Amerika pada era 1960/1970-an.

Kehadiran Playboy tentu saja tak dapat dilepaskan dari sosok Hugh Marston Hefner. Penggagas ''ide liar' menerbitkan majalah berkategori triple X' ini. Lahir di Chicago, Illinois, 9 April 1926, dia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filosofi di Universitas Illinois, Urbana-Champaign. Dia lalu masuk wajib militer menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Naluri wirausaha dan bakat menulisnya-Hefner pernah menjadi copywriter di majalah Esquire-diwujudkan dengan menerbitkan majalah yang dia dedikasikan pada kekasihnya. Majalah itu semula diberinya nama Stag Party. Tapi kemudian diubah menjadi Playboy, karena sebelumnya sudah ada majalah bernama mirip, yakni Stag Magazine.

''Nama Playboy diusulkan oleh seorang teman,'' kata Hefner dalam biografinya. Tapi dia tak pernah menyebut siapa teman yang dimaksudnya.
Sebagai majalah yang dikonsepkan untuk konsumsi pria dewasa, Playboy memang bertabur foto-foto wanita cantik dengan pose menantang, plus busana yang serba minim. Bahkan tak jarang ada model yang tampil nyaris-maaf - telanjang. Yang menarik, hampir semua model Playboy berambut pirang. ''Saya memang selalu tertarik dengan perempuan berambut blonde,'' ujar Hefner.

Dalam perkembangannya, Playboy tak cuma memajang model-model semitelanjang. Tapi juga menyajikan wawancara dengan sejumlah tokoh terkenal - khususnya artis dan politikus-dengan format yang amat lugas. Tak heran kalau model jurnalistik Playboy sempat jadi acuan majalah lain.

Maaf, saya bukan mempromosikan Playboy. Tapi deskripsi di atas sengaja saya paparkan untuk referensi terhadap apa yang akan kita diskusikan berikut ini. Yakni kontroversi seputar rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia oleh PT Velvet Silver Media.

Pornografi dan pornoaksi

Sejak muncul kabar bakal diterbitkannya Playboy edisi Indonesia, awal Januari, berbagai komentar ramai berseliweran di media massa. Banyak yang menghujat, tapi tak sedikit pula yang memberi dukungan. Di antara keduanya, ada yang mencoba memberi jalan tengah.

Pihak Velvet Silver Media beberapa kali mencoba menjelaskan Playboy versi Indonesia tak akan sama dengan versi aslinya-artinya tak akan gegabah memajang model-model semitelanjang di majalahnya.

''Lihat dulu, baru komentar,'' kata Director Publisher Velvet Silver Media, Ponti Carolus. Ponti sebelumnya dikenal sebagai calon anggota legislatif Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Kalimantan Barat. Dia juga pernah menjabat sebagai wakil Sekjen partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Tanpa disadari, pro-kontra tersebut, menjadi promosi gratis bagi rencana penerbitan Playboy versi Indonesia. Sehingga, meski coba dihadang oleh berbagai kalangan, Velvet Silver Media 'katanya' tak akan mundur dari rencananya semula.

Apalagi, secara hukum, memang tak ada aturan yang melarang penerbitan Playboy edisi Indonesia. UU Pers bahkan tak memberi ruang bagi pemerintah untuk mengintervensi rencana tersebut. ''Sesuai UU Pers, kita bisa diancam dua tahun kalau melarang peredaran sebuah media,'' ujar Menkominfo, Sofyan Djalil, seperti dikutip Republika.

Tapi kontroversi Playboy Indonesia sebenarnya tak perlu berlarut-larut. Khususnya, jika pemerintah punya visi yang jelas, mau dibawa kemana negeri ini. Artinya, kalau pemerintah memang berkomitmen untuk membangun 'generasi emas' di masa depan, segala sesuatu yang bisa merusak tekad itu harus dieliminasi sejak dini.

Soal pornografi dan pornoaksi, misalnya, pemerintah tak perlu menunggu selesainya RUU yang saat ini sedang dibahas di DPR. Tumpas saja masalah pornografi dan pornoaksi dengan aturan pelanggaran kesusilaan yang jelas tercantum dalam KUHP.

Etika ketimuran kita rasanya juga bisa dipakai sebagai landasan untuk menolak kehadiran Playboy Indonesia. Sebab, bagaimana pun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah melekat di benak hampir setiap orang. Dan itu tak sesuai dengan etika kesusilaan di Indonesia.

Sebagai benchmark, di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, memperjualbelikan majalah-majalah porno macam Playboy termasuk dalam tindakan kriminal. Ini jelas untuk melindungi generasi penerusnya dari kehancuran. Apalagi menerbitkannya.

Sebenarnya kehadiran Playboy ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah, negarawan, para pendidik, tokoh-tokoh masyarakat, para orangtua dan berbagai pihak yang peduli akan masa depan generasi muda, untuk bersama-sama menentang semua bentuk pornografi dan pornoaksi yang kini kian marak di Indonesia.

Pemerintah tak perlu takut pelarangan peredaran majalah, koran atau tabloid porno, dan tayangan mesum yang kini banyak bermunculan di televisi, dianggap melanggar kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers sama sekali tak ada hubungannya dengan pornografi. Bahkan, kalangan pers mengaku justru tabloid dan tayangan mesum adalah 'penumpang gelap' kebebasan pers. Karenanya harus dienyahkan.

Wednesday, January 18, 2006

Longsor & Formalin




Longsor & formalin
Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner Wiloto Corp. Indonesia
www.wiloto.com,
email: powerpr@wiloto.com

Awal 2006 sejatinya akan kita sambut dengan suka cita. Dengan semangat baru untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera, lebih berkualitas, lebih cerdas, lebih martabat, lebih sehat, lebih berbudaya, dan bebas korupsi. Tapi, ternyata alam berkehendak lain. Rentetan musibah langsung mengharu-biru bangsa ini. Di Jember, Jawa Timur, banjir lumpur menerjang sejumlah desa di kabupaten yang berada di lereng Gunung Argopuro itu.
Ratusan orang meninggal dalam musibah yang terjadi persis di saat pergantian tahun. Sementara di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sebuah bukit longsor, menimbun lebih dari 200 orang di Desa Sijeruk.
Bencana serupa, dalam skala yang lebih kecil, juga terjadi di beberapa daerah lain. Seperti biasa, berbagai silang pendapat soal penyebab bencana lalu muncul di media massa. Ada yang bilang, bencana tersebut murni karena perubahan iklim, akibat badai yang terjadi di belahan dunia lain.
Tapi banyak pula yang memastikan, banjir lumpur dan tanah longsor adalah ulah manusia-yang seenaknya menggunduli hutan, atau mengubah peruntukan lahan tanpa mempedulikan akibatnya. Akibatnya, ''Alam murka karena kejumawaan kita,'' ujar seorang teman.
Banjir, sebenarnya bukan monopoli saudara-saudara kita yang berada di kawasan perdesaan, tapi juga kita semua yang tinggal di daerah perkotaan. Pada 2002, misalnya, banjir besar merendam Jakarta-termasuk halaman Istana Presiden.
Banjir itu mengakibatkan 70% ruas jalan termasuk jalan tol dan pusat Bisnis rusak parah. Lebih dari 50 orang meninggal terbawa arus banjir diikuti puluhan korban lainnya akibat penyakit demam berdarah dan malaria. Ratusan ribu penduduk meninggalkan tempat tinggal untuk mengungsi. Total kerugian diperkirakan miliaran rupiah atau setara dengan ratusan ribu dolar AS.
Ironisnya, kita seperti pasrah saja menerima musibah itu. Tak ada perbaikan signifikan pada tata ruang kota untuk mencegah terulangnya bencana itu. 'Sabuk hijau' yang idealnya mencapai sepertiga dari total wilayah kota- jika ingin kota itu memiliki areal resapan air yang cukup untuk mencegah banjir-justru makin tergerus. Jakarta, hanya memiliki kurang dari sepersepuluh wilayah 'hijau' di seluruh kota.
Dengan kondisi itu, tak heran kalau banjir seperti menjadi 'tamu tahunan' bagi Jakarta. Dan, sebuah perusahaan rokok dengan jitu menyindir ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta mengatasi banjir dengan iklannya bertajuk, Banjir kok jadi tradisi. Tanya Kenapa?
Kebodohan atau kejahatan
Bencana yang tak kalah mengerikan, juga mengancam dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Oktober dan November 2005 lalu menyebutkan, sejumlah makanan yang beredar di pasar mengandung bahan kimia berbahaya, semacam formalin, boraks, pewarna tekstil dan sebagainya.
Bahan-bahan kimia itu kalau dikonsumsi terus menerus bisa merusak kesehatan-mulai dari kanker, kelumpuhan syaraf, bahkan kematian. Yang menyedihkan, kejadian itu-pencampuran bahan kimia berbahaya-ke berbagai makanan yang umum kita konsumsi tadi, telah berlangsung tahunan. Temuan serupa seperti yang diperoleh BPOM juga pernah terungkap beberapa tahun lalu.
Tapi kita semua-para konsumen-seakan terbutakan. Atau memang merasa tak peduli. Entah karena tak paham. Atau tak dapat menghindar dari kenyataan-kenyataan tersebut. Sehingga oknum yang melakukan praktik tak terpuji itu terus melakukannya tanpa 'merasa bersalah.'
Walau, mereka-para pengoplos makanan dengan bahan kimia berbahaya tadi-juga melakukannya lantaran dua hal. Pertama, karena tak paham, bahwa bahan kimia yang dicampurnya ke makanan tadi bisa mengancam nyawa konsumen. Ini adalah sebuah kobodohan.
Kedua, mereka paham (bahkan sangat paham) bahaya bahan-bahan kimia tadi. Tapi hanya karena ingin memperoleh keuntungan lebih, mereka melakukannya tanpa merasa perlu peduli pada dampak negatif yang bakal diterima konsumennya. Artinya, ada unsur kesengajaan, dan kejahatan di sini.
Keduanya harus diberantas. Hanya, cara memberantasnya yang berbeda. Untuk yang pertama, karena itu terkait kebodohan, tentu saja, solusinya adalah dengan memberi pengetahuan dan pembelajaran. Ini harus menjadi sebuah 'program nasional'-karena mencerdaskan kehidupan bangsa tak bakal efektif jika cuma dilakukan secara parsial. Hanya menyentuh sekelompok orang saja. Tapi harus dilakukan hingga ke pelosok negeri.
Sedangkan untuk yang kedua, sanksinya perlu lebih tegas. Kesengajaan mencampur bahan kimia berbahaya pada makanan yang dikonsumsi umum adalah kejahatan yang amat keji. intellectual, kalau motifnya adalah untuk mencari keuntungan pribadi.
Oknum yang melakukan harus dijerat dengan hukuman pidana. Sanksi untuk mereka bisa disamakan dengan para pengedar narkoba. Bukan cuma karena kadar bahaya serta dampak yang ditimbulkannya. Tapi juga lantaran korban yang paling banyak terkena adalah anak-anak, generasi penerus bangsa. Kalau anak-anak tak terlindungi dari ancaman seperti itu, sulit membayangkan, apa jadinya negeri ini kelak.

www.wiloto.com

www.wiloto.com