Sunday, January 18, 2004

Strategi PR




Strategi PR
Bisnis Indonesia 18 Jan, 2004

Seorang pengacara kondang muncul di sebuah tayangan infotainment televisi. Menarik memang, karena acara infotainment tersebut lebih fokus ke berita-berita gossip para artis. Pertanyaan yang timbul adalah apakah pengacara ini telah beralih profesi menjadi artis?

Melihat pernyataan-pernyataan yang dilontarkan di acara televisi tersebut, serta penampilannya yang gondrong, memang terkesan lebih artis dari pada pengacara.
Pengacara itu gondrong dengan baju yang nampak kekecilan dengan design yang lebih mirip baju artis daripada pakaian seorang pengacara. Ada juga anting-anting juga gambar tattoo kecil.

Jika dibandingkan dengan serial TV Ally McBeal atau LA Law di mana para pengacara tampil sangat smart, konservatif, dan meyakinkan. Tentu saja penampilan pengacara yang muncul di infotainment TV itu jauh dari bagus, selain tidak mencitrakan pengacara sebagai hamba hukum, malah sebaliknya merusak citra dan persepsi publik terhadapnya.

Sebetulnya pengacara itu termasuk seorang pengacara sukses, dia sangat pandai, dan mungkin karena terlalu sibuk, dia lupa mempersiapkan penampilannya di muka kamera. Dia berpenampilan dan bicara apa adanya. Hal ini mungkin akan menjadi wajar-wajar saja dalam interaksi sehari-hari. Tetapi menjadi hal yang berbeda sama sekali, ketika tertangkap kamera TV dan ditanyangkan. Penampilannya di televisi itu segera membentuk persepsi publik yang mungkin salah terhadap dirinya.

Sebagian orang masih beranggapan bahwa ber PR adalah sekedar muncul di media atau dimuka publik, atau membuat berita-berita. Itu salah! Muncul di kalangan publik, media, menjadi berita tanpa strategi yang tepat Sangat Berbahaya. Hal tersebut dapat membuat Over Exposed, Reputasi yang tidak terkontrol, dan akhirnya mengundang krisis untuk datang.

Tetapi kenyataannya masih sangat banyak perusahaan-perusahaan, dan juga pribadi-pribadi, berprinsip asal terkenal, asal tampil, asal diliput, asal menjadi berita. Tidak ada perencanaan PR strategis yang jelas, bahkan sering kali menyimpang dari perencanaan strategis perusahaan yang telah di tetapkan. Seringkali juga reputasi yang terbentuk menyimpang jauh dari visi dan misi perusahaan, atau tujuan karir pribadi (jika kasus ini terjadi pada seorang figure), menjadi under positioning, over positioning atau confused positioning.

Apa kira-kira image Indonesia di mata masyarakat Internasional? Setelah adanya berbagai bom, kerusuhan, demontrasi, peperangan, krisis ekonomi dan berbagai skandal yang ada? Kalau mau jujur sebenarnya cukup buruk, kalau tidak mau disebut sangat buruk!

Dan tentu perlu upaya Strategic Public Relations yang sungguh-sungguh, strategis, sistematis serta terus menerus untuk mengubahnya menjadi lebih baik.Dari pengalaman saya sebagai konsultan Public Relations, dalam menangani sekitar 60 klien, tidak ada yang tidak, semua berkeinginan untuk memiliki image yang positif. Karena tanpa image positif perusahaan akan mati, produk tidak laku, bisnis tidak langgeng, karir tidak meningkat dll.

Sebetulnya dalam filosofi Public Relations, rumus dari image atau citra sangatlah sederhana: kinerja ditambah komunikasi. Inilah yang menciptakan image positif atau negatif baik bagi negara, perusahaan, produk, keluarga atau pribadi.

Kinerja yang baik tanpa komunikasi yang juga baik, tidaklah cukup untuk menciptakan image positif. Sebaliknya komunikasi yang berbusa-busa tanpa kinerja yang baik juga tidak ada artinya.

Mother Theresa adalah contoh pribadi dengan image yang sangat positif, walaupun ia melakukan karyanya jauh di tempat terpencil di Calcuta. Mother Teresa bukanlah seorang yang secara sadar menggunakan strategi PR untuk menciptakan image positifnya, tetapi segala perbuatannya sangat mengharumkan namanya, bahkan jauh setelah ia meninggal dunia. Sadar atau tidak sadar Mother Theresa telah dengan piawai memainkan strategi PR yang jitu.

Kinerja yang baikpun haruslah terkomunikasikan dengan benar kepada publik. Komunikasi terhadap kinerja yang baik juga untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin timbul, menghindari salah pengertian yang pada akhirnya menghindari konflik yang tidak perlu. Tanpa komunikasi yang baik orang lain atau publik mungkin saja tidak mengerti maksud dan tujuan baik kita. Image Positif, berarti kerja marathon yang terus menerus, bukan sprint, sekali cepat sudah itu berhenti.

Fenomena Sakit Kepala

Strategi Public Relations sama seperti fenomena sakit kepala, dapat diobati sendiri, ke tukang obat, dukun, tabib, sinse, dokter atau dokter ahli. Cara diagnosisnya pun berbeda-beda, resepnya juga berbeda-beda. Hasilnya pasti juga akan sangat berbeda. Seorang dokter ahli akan melakukan analisa diagnosa dengan sangat cermat dan hasilnya pasti lebih akurat. Bisa saja pusing tadi hanya sekedar symptom atau gejala, tetapi penyakitnya ternyata kolestrol tinggi, diabetik, tekanan darah tinggi,dll yang pasti treatmentnya akan sama sekali berbeda dan tidak dapat disembuhkan hanya dengan sekedar obat sakit kepala.

Bayangkan jika ternyata penyakitnya adalah diabet, tetapi kita setiap hari minum obat sakit kepala? Nah, Over Exposed itu persis seperti Over Dosis terhadap obat yang salah. Sudah obatnya salah, over dosis pula! Kalau sudah begitu akan menimbukan penyakit yang kronis dan sangat fatal, bahkan dapat menyebabkan kematian karekater baik perusahaan maupun pribadi.

Sunday, January 04, 2004

Kampanye





Kampanye

Sebanyak 24 partai politik (parpol) peserta Pemilu 2004 sudah terpilih. Nomor urut masing-masing partai juga sudah ditentukan. Dan, tentu saja, setiap parpol sudah menyiapkan jagonya masing-masing untuk diusung sebagai calon presiden.

‘Pertempuran besar’ untuk memenangkan Pemilu 2004 memang sudah di depan mata. Tak ada waktu lagi untuk bersantai. Semuanya sudah harus dipersiapkan dengan cermat, agar hasil yang dicapai bisa sesuai target.

Untuk itu, setiap parpol sudah punya strategi masing-masing untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Sejumlah parpol mencoba merangkul publik figur sebagai vote getter – mulai dari artis sampai kiai kondang. Sebagian parpol lain memilih mengusung sentimen primordial – baik dalam bentuk misi keagamaan maupun sentimen historis berupa kerinduan pada figur dan ajaran Soekarno atau Presiden Seharto, kedua-duanya mantan Presiden RI.

Tapi beberapa partai yang lain, mencoba lebih rasional dengan mengedepankan program-program pembangunan yang diharapkan bisa mengentaskan bangsa ini dari keterpurukannya yang telah berlangsung selama hampir enam tahun. Walau, program-program yang dijanjikan takjarang juga masih tampak sebagai sekedar sebuah janji, karena rasanya agak sulit direalisasikan menjadi sebuah bukti.

Terlepas dari apa pun skenario penggalangan massa yang dipakai partai-partai peserta Pemilu 2004 nanti, satu hal yang semestinya tak dilupakan oleh pemimpin parpol adalah bagaimana mengemas semua misi, visi dan janji-janji tadi menjadi sesuatu yang memikat masyarakat. Untuk itu, parpol perlu memahami filosofi dan paradigma baru public relations (PR) – di mana prinsip utamanya adalah memadukan kepiawaian berkomunikasi secara efektif, dengan paparan kinerjayang meyakinkan.

Untuk melakukan komunikasi yang efektif, ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, menggalang kekuatan media massa – baik TV, radio, media cetak, internet maupun SMS (short messaging services). Kemampuan media untuk menjangkau masyarakat dalam lingkup yang nyaris tak terbatas, bisa menjadi senjata ampuh untuk mensosialisasikan program partai. Apalagi, media massa juga punya kekuatan untuk mengarahkan opini publik.

Tentu saja, kekuatan media di sini harus dimanfaatkan secara optimal dengan cara-cara dan tujuan yang fair. Bukan dengan cara ‘membeli’-nya atau memanipulasi informasi. Karena, pengelola media, biasanya adalah mereka yang mau menjunjung tinggi idealisme dan sering bersikap kritis.

Kedua, komunikasi yang efektif, bisa direalisasikan dengan menjalin intimate relationship, sehingga memunculkan rasa saling percaya tanpa pamrih. Sikap saling percaya ini mutlak dibutuhkan, ketika persaingan untuk mencari dukungan terjadi dengan amat ketat seperti sekarang. Setidaknya, rasa saling percaya akan mencegah munculnya kader-kader kutu loncat – yakni mereka yang amat mudah berpindah kepercayaan ke partai lain, hanya karena iming-iming imbalan material.

Ketiga, agar efektivitas komunikasi juga dapat dijalankan dengan memilih strategi komunikasi yang sesuai dengan target audience yang akan diraih. Misalnya, partai yang ingin membidik suara mahasiswa, harus mampu berkomunikasi dengan bahasa mahasiswa disamping pada waktu bersamaan mampu secara fleksibel mengubah cara berkomunikasi sesuai dengan kondisi publik lain yang berbeda.

Lalu, bagaimana cara untuk mendongkrak kinerja partai? Kalau sebuah parpol bisa dianalogikan dengan sebuah perusahaan atau institusi bisnis, maka ada sejumlah strategi yang bisa ditempuh.

Dengan bantuan perusahaan Public Relations (PR) profesional, pimpinan partai bisa menyusun skenario strategis manajemen. Dengan kata lain, manajemen partai musti piawai mengelola organisasi, pintar menggulirkan isu positif, sekaligus tanggap menganalisis perkembangan apa pun yang terjadi di lapangan, serta cermat menempatkan positioning.

Pengelolaan organisasi yang solid mutlak dilakukan, karena apa yang bisa dilakukan sebuah kelompok untuk bangsa ini, jika untuk membentuk sebuah partai saja tidak bisa. Manajemen isu, juga tak bisa disepelekan, karena dengan penetrasi isu-isu positiflah, calon pemilih bisa dipikat. Sementara, memilih positioning partai tak bisa diabaikan, karena hal itu juga akan sangat menentukan, siapa saja calon pemilih yang musti dibidik, dan mampu memberikan suara signifikan pada partai.

Termasuk dalam upaya melambungkan kinerja, adalah membangun citra, merancang program kerja yang konkret, serta menunjukkan kepedulian pada segala apa yang dibutuhkan rakyat. Dan, yang perlu digaris-bawahi adalah, semua itu harus dilakukan secara berkesinambungan. Jangan sekadar dilakukan pada masa kampanye. Tapi juga musti diteruskan saat kelak berhasil memenangkan Pemilu, dan tampil menjadi penguasa.

Sikap pro rakyat harus selalu menjadi pedoman melangkah. Dengan kata lain, kepentingan masyarakat harus selalu ditempatkan di atas kepentingan partai. Ini penting, karena saat ini banyak partai yang ‘bermulut manis’ saat mencari dukungan. Tapi ketika sudah berkuasa, ia langsung lupa pada siapa yang dulu mendukungnya – orang Jawa bilang, ‘kacang lali karolanjarane’.

Untuk melakukan itu, diperlukan figur-figur manajerial yang memiliki skill tinggi, mempunyai visi masa depan yang jernih, serta kadar moralitas dan kredibilitas yang tak perlu diragukan. Figur-figur seperti itu, diharapkan tak hanya mampu memoles citra partai, tapi juga dapat menyelamatkan partai saat dilanda krisis – baik krisis internal maupun eksternal.

Memang tak ada jaminan, partai dengan kualitas yang mampu menjalankan praktik ideal di atas yang bakal memenangkan Pemilu 2004 mendatang. Sebab, di Indonesia massa pemilih masih kerap mengedepankan simbolisme ketimbang rasionalitas.

Tapi setidaknya, kita bisa berharap, pada partai-partai yang menempatkan prinsip-prinsipmanajemen modern, dengan paradigma baru PR yang seperti itu lah yang bisa mengentaskan bangsa ini dari krisis multi dimensi yang berkepanjangan.

Dan satu lagi, bersiaplah dengan segala isu-isu yang akan muncul dalam bentuk skandal atau manuver-manuver politik yang kurang etis dari lawan politik. Kemungkinan antisipasi terhadap situasi kritis dan krisis pun harus disiapkan dengan matang. Semua itu demi peningkatan reputasi untuk memenangkan hati rakyat.

“Selamat Tahun Baru 2004”

Bisnis Indonesia 4 Jan, 2004

www.wiloto.com

www.wiloto.com