Friday, December 13, 2002

Syur Sendiri

Syur Sendiri
Bisnis Indonesia 13 Dec, 2002

Kita agaknya tak ingin setengah-setengah membenahi kembali citra Bali sebagai salah satu tujuan wisata paling eksotik di dunia. Karena itu, pasca Tragedi Legian 12 Oktober, semua unsur bangsa saling bahu-membahu menggalang aksi "Bali Recovery". Aparat kepolisian, seperti kita tahu, telah bekerja keras untuk mengungkap dan menangkap komplotan radikal yang dengan bom rakitannya meluluh-lantakan Sari Club dan Paddy's Café khususnya dan Asia Tenggara pada kenyataannya.

Sementara, para pengusaha hotel dan maskapai penerbangan ramai-ramai menawarkan diskon sampai separuh harga. Sedangkan, pemerintah dengan semangat menggebu menitahkan agar semua departemen sedapat mungkin menggelar acara resmi di Bali.

Maka November lalu, BPPN bekerja sama dengan bank-bank rekap pun menggelar perundingan akbar dengan para obligor besarnya di Kuta. Kantor Kementerian Negara BUMN pun tak segan men-sponsori konser Twilight Orchestra pimpinan Adie MS di tempat yang sama. Berapa ongkos yang dikeluarkan? Konon lumayan besar untuk semua ''kampanye'' itu.

Guardian of public trust

Aksi all out yang dilakukan pemerintah itu memang wajar. Mengingat gara-gara Bom Legian, peluang Indonesia meraup devisa dari sektor pariwisata sebesar 5,3 miliar dolar AS dipastikan tak akan terealisasi. Padahal, angka itu merupakan 10 persen dari total pendapatan dari sektor ekspor dan jasa pelayanan.

Namun, yang jadi pertanyaan, bagaimana mengefektifkan ''kampanye'' tadi? Untuk menjawabnya, tentu kita harus simak dulu, siapa target audience dari aksi ''Bali Recovery'' tersebut.

Kalau jawabannya adalah kalangan domestik, barangkali kita bisa bilang, ''ya''. Walaupun jawaban itu juga masih amat layak diperdebatkan. Sebaliknya, kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah komunitas internasional, maka kita harus jujur mengatakan, ''belum''.

Bayangkan, meski sejak aksi teror 12 Oktober lalu, ratusan wartawan dari luar negeri ''tumplek blek'' di Bali, tapi siapa di antara mereka yang tertarik meliput perundingan BPPN dengan para obligor kakapnya? Ketika tim investigasi pimpinan I Made Mangku Pastika sedang giat mengusut jaringan pelaku pengeboman, siapa pula yang merasa perlu mempublikasikan sebuah konser di tengah situasi yang masih mencekam dan penuh isak tangis di Bali? Perhatian publik dunia, saat ini memang masih akan terkonsentrasi pada kerja yang dilakukan tim Made Mangku Pastika. Artinya, menggelar berbagai macam acara entertainment, dan ekspose lembaga resmi pemerintah dan aneka seremonia lainnya di Bali, masih agak kurang efektif, dan seakan syur sendiri.

Terutama -- sekali lagi – jika target audience dari berbagai macam event itu adalah para turis dan pihak internasional lainnya. Kondisi yang terjadi saat ini, pada pihak internasional adalah paranoia, ketakutan yang berlebihan pihak internasional terhadap “terorisme” yang mereka pikir ada di Indonesia bahkan Asia Tenggara.

Mungkin lebih banyak manfaatnya jika kita fokuskan usaha Public Relations kita untuk menjawab masalah ini dalam bahasa yang dimengerti oleh publik internasional. Dipandang dari sudut Public Relations, kita harus mengakui bahwa PR bangsa kita ke publik internasional sangat lemah. Kita ahli di kandang sendiri, syur sendiri, bahkan disaat kritis dimana kita harus tampil di kancah global ini.

Dalam praktek Public Relations (PR), over expose yang syur sendiri seperti itu kerap terjadi di perusahaan-perusahaan. Misalnya, ketika perusahaan menyiapkan materi yang sekadar memaparkan kebaikan kinerja, tapi menutup diri dari kemungkinan munculnya sejumlah pertanyaan kritis dari publik dan media.

Atau memaksakan release-release yang tidak sesuai dengan selera publik, muncullah berita yang mungkin hanya dibaca oleh kalangan internal manajemen saja.

Dengan metode seperti itu, internal perusahaan mungkin akan terpuaskan dengan publikasi yang terjadi. Dan merasa targetnya telah terkomunikasikan ke publik dengan baik. Padahal, publik tidak aware.

Publik tak hanya butuh paparan kinerja yang serba ''mengkilap'', apalagi jika itu cuma sekadar kosmetis. Publik lebih membutuhkan kejujuran dan transparansi terhadap sesuatu yang menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab.

Di sini, PR harus menempatkan diri sebagai ''guardian of public trust'', penjaga kepercayaan publik. Memang, tak mudah melakukan peran tersebut. Tapi, justru itu lah tantangan terbesar dalam aktivitas PR modern saat ini.

www.wiloto.com

www.wiloto.com