Sunday, October 09, 2005

Negara Tanpa Visi? (II)




Bisnis Indonesia
Minggu, 09-Oktober-2005
Negara Tanpa Visi? (II)

Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner PowerPR
http://www.wiloto.com/


Seorang bocah cilik, Yuri Retno Adi Matsuda (8), menangis tanpa suara saat doa dilantunkan untuk ibunya yang dimakamkan. Kepedihan yang dalam serta trauma akibat ledakan bom bali 2 sangat nampak diraut wajah bocah itu. Yuri dan ayahnya juga jadi korban luka ledakan bom.

Ledakan bom di Jimbaran dan Kuta, Bali, Sabtu (1/10), telah menewaskan ibundanya, Ratih Tedjojanti (34), yang juga putri Soekardjo Hardjosoewirjo, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ratih adalah salah seorang korban tewas akibat ledakan bom di Nyoman Cafe, Jimbaran. Data terakhir pada saat tulisan ini dibuat adalah 27 orang korban tewas sia-sia, serta lebih dari 124 orang luka-luka.

Sementara itu, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto di Jakarta, Minggu (2/10), mengemukakan, terorisme seperti yang terjadi di Bali adalah sesuatu tindakan biadab yang seharusnya tidak ditoleransi oleh siapa pun, apa pun tujuannya.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS kepada pers Senin (10/10) di Kantor Presiden menyatakan, "Laporan yang saya terima, ada 169 orang saksi yang sudah diperiksa dan masih terus akan dikembangkan. Sejauh ini belum ada yang ditangkap.”

Terkait dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia, apa pun nama organisasinya, kata Widodo, pemerintah berjanji akan membongkarnya. Apabila jaringan terorisme di Indonesia dapat dibongkar, pemerintah akan melakukan langkah hukum maksimal terhadap semua pelakunya.

Dalam kurun waktu yang singkat ini, kita sudah digempur dengan berbagai krisis nasional yang bertubi-tubi. Mulai dari masalah SARA, kemudian disusul isu flu burung. Belum lagi jelas kabar berita flu burung, tiba-tiba isu itu hilang begitu saja, berganti dengan isu kenaikan BBM yang kemudian hampir dibarengi dengan meledaknya (lagi-lagi) bom di Bali.

Khusus untuk ledakkan bom, data yang ada sangatlah mengejutkan. Sudah lebih dari 150 kali bom besar kecil meledak tak tentu arah di Indonesia, selama masa paska reformasi ini. Angka ini bukan main-main, dan yang paling mengerikan adalah, kita tidak pernah yakin benar kapan angka ini akan berhenti.

Harus ada visi

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya 2 minggu yang lalu, yang terbit sehari sebelum bom bali meledak. Tulisan tersebut juga merupakan tulisan yang paling banyak mendapat tanggapan dari para pembaca, jika dibandingkan dengan semua tulisan-tulisan saya selama ini.

Respon pembaca tersebut dapat saya bagi dalam 2 bagian utama, satu bagian adalah mereka yang memang merasa bahwa negara ini tidak memiliki visi yang jelas. Dan satu bagian lagi adalah mereka yang merasa negara kita sudah memiliki visi. Namun yang menarik adalah, di bagian mereka yang merasa negara ini memiliki visi. Visi yang disebutkan setiap orang berbeda satu sama lain.

Hal ini makin memperjelas, bahwa memang kita, bangsa Indonesia belum memiliki visi yang jelas, gamblang dan bening yang dimengerti oleh seluruh jajaran elit bangsa ini, apalagi rakyatnya. Pertanyaannya adalah, jika visi tersebut tidak jelas atau bahkan tidak dimengerti elit dan rakyatnya, lantas selama ini kita melangkah kemana?

Memimpin negeri sebesar Indonesia sama sekali tak mudah. Butuh visi yang konkrit agar kelangsungan negara ini bisa berjalan, dengan dukungan penuh oleh rakyat. Itu bisa tercapai, tentu saja, jika rakyat juga ikut merasakan manfaat dari apa yang dilakukan para pemimpinnya.

Visi yang jelas, gambang dan bening sangat penting bagi Indonesia, karena setidak-tidaknya memiliki 7 manfaat. Pertama, visi dapat mengekspresikan nilai dan standard tertinggi dari bangsa Indonesia. Kedua, visi dapat membedakan dan membuat Indonesia spesial di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Ketiga, visi dapat dengan jelas memaparkan tahun-tahun ke depan dari bangsa Indonesia. Keempat, visi dapat membuat bangsa Indonesia menjadi lebih fokus dalam melaksanakan segala aktifitasnya. Serta dalam mengelola semua sumber dayanya. Kelima, visi memang bukan segalanya, namun merupakan awal dari segala aktifitas bangsa Indonesia ke depan. Keenam, visi adalah masa kini dan masa yang akan datang dari bangsa Indonesia. Dan ketujuh, tanpa visi yang jelas, gamblang dan bening Indonesia akan berjalan menuju kebinasaan.

Memang untuk merumuskan visi Indonesia yang jelas, gamblang dan bening tidaklah mudah. Karena visi sering kali tidak datang terbentuk dengan terang benderang, namun merupakan kristalisasi dari proses perjalanan bangsa Indonesia selama ini. Namun, bagi Indonesia nampaknya saat ini sudah cukup waktu perjalanan untuk mengkristalisasikan sebuah visi negara Indonesia yang bernilai tinggi.

Secara mudah dan sederhana, setidaknya proses eksplorasi dan kristalisasi visi Indonesia terdiri lima langkah, yaitu :Melihat ke dalam diri : apa yang kita, bangsa Indonesia rasakan saat ini ? Melihat ke belakang : apa yang kita, bangsa Indonesia sudah pelajari ? Melihat ke sekeliling : apa yang terjadi pada bangsa-bangsa lain di dunia, terutama di Asia ? Melihat ke depan : apa gambaran utuh dari situasi dan kondisi yang akan datang? Termasuk tantangan apa yang harus dihadapi bangsa Indonesia ke depan? Melihat ke samping : apa sumber daya yg kita, bangsa Indonesia miliki ?

Indonesia kini telah berusia 60 tahun dan telah memiliki enam kepala Negara. Khususnya sejak reformasi tahun 1998, Indonesia telah mengalami empat kali pergantian kepemimpinan. Sudah saatnya kini kita bangsa Indonesia melakukan perenungan untuk mengkristalisasikan visi Indonesia ke depan yang jelas, gamblang dan bening, agar Indonesia menjadi bangsanya unggul, terkemuka, makin beradab dan makin dihormati seluruh bangsa-bangsa di dunia.

Dari enam Presiden Republik Indonesia yang ada, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) adalah presiden satu-satunya Presiden RI yang dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan proses yang terpanjang, hampir satu tahun. SBY, juga merupakan Presiden RI satu-satunya yang terpilih paling demokratis. Maka, yakinlah, jika SBY mampu mengajak segenap rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangun dan berjuang, maka rakyat akan dengan senang hati mendukung perjuangan bangsa ini mencapai visi Indonesia.

Namun, sebelumnya Indonesia perlu segera mengkristalisasikan visinya terlebih dahulu, serta menentukan kemana kita semua akan melangkah.

Sunday, October 02, 2005

Negara Tanpa Visi?


Bisnis Indonesia
Minggu, 02-Oktober-2005

Negara Tanpa Visi?

Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner PowerPR
http://www.blogger.com/


Mari kita buat survey kecil-kecilan. Sodorkan satu pertanyaan pada orang-orang di sekitar kita, ''Apa visi negara ini?'' Berani taruhan, mayoritas responden pasti menjawab, ''Tak tahu.'' Kalau pun ada yang tahu, pasti jawabannya amat klise, semacam, ''Menjadi bangsa yang adil dan makmur.''

Indonesia telah berusia 60 tahun dan memiliki enam kepala Negara. Khususnya sejak reformasi tahun 1998, Indonesia telah mengalami empat kali pergantian kepemimpinan. Yakni BJ Habibie, Abdurrahman ''Gus Dur'' Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi sayang, tak satu pun di antara semua presiden tadi yang mampu “menjelaskan” bahkan ''meyakinkan'' rakyat dengan visinya yang konkret dan jelas. Sampai kini banyak orang bahkan para elite berteriak, ''Reformasi!” dan “perubahan.'' Tapi mau berubah jadi apa, semuanya terdiam. Atau gagap menjawabnya. Tidak pernah ada gambaran yang bening, jelas dan gamblang bagi semua masyarakat (baca: rakyat) tentang berubah menjadi apa, kemana arah Negara ini melangkah, atau apa visi Negara ini.

Padahal, sekadar berubah tanpa arah, sama dengan bunuh diri. Perubahan tanpa tujuan yang jelas, tak beda dengan menghancurkan negeri yang sudah kita bangun bersama dengan susah payah. Sebagai sebuah negara besar, kinerja yang dilakukan Indonesia pasca krisis, nyaris tak berarti. Apalagi, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia yang sama-sama terkena krisis moneter pada 1998 -- semacam Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia, kinerja Indonesia jauh tertinggal. Apa lagi jika dibandingkan dengan negara-negara yang tidak terkena krisis.Ibarat berlari, Indonesia sudah sangat amat terengah-engah, namun tidak pernah sampai kemana-mana. Alias hanya lari di tempat. Bahkan, seorang teman mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah lari jauh, tapi jauh ke belakang. Sedangkan negara-negara tetangga, telah melesat jauh ke depan. Apa visinya?

Bangsa Indonesia sudah sangat penat dan sarat beban. Berbagai persoalan bahkan krisis datang silih berganti. Banyak enerji terbuang sia-sia untuk hal-hal yang semestinya tidak perlu.

Diluar bencana alam yang memang sebagian besar diluar kendali (walau sebetulnya di negara lain bencana alam bisa diprediksikan), banyak bencana-bencana nasional yang terjadi karena kurangnya pengelolaan dengan baik.

Raja Sulaiman menulis dalam Amsalnya, ”..jika tidak ada visi, maka binasalah rakyat..” Visi yang jelas diperlukan bangsa ini, karena waktu berjalan terus dan waktu yang disia-siakan tak akan pernah kembali. Hanya ketidak pastian yang pasti akan terjadi, dan banyak hal yang diluar kendali kita.

Raja Sulaiman menulis dalam Amsalnya, ”..jika tidak ada visi, maka binasalah rakyat..” Visi yang jelas diperlukan bangsa ini, karena waktu berjalan terus dan waktu yang disia-siakan tak akan pernah kembali. Hanya ketidak pastian yang pasti akan terjadi, dan banyak hal yang diluar kendali kita.

Pertanyaan sekarang bukanlah apakah kita sibuk? Tetapi apakah kita sibuk melakukan hal yang benar sesuai visi kita?

Saat kampanye pada pemilihan presiden tahun lalu, duet SBY-JK (sebutan populer untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyo dan Jusuf Kalla), sempat melontarkan berbagai janji, yang mereka sebut sebagai visi dan misi pemerintahan mereka, bila terpilih menjadi pasangan presiden/wapres. SBY-JK, misalnya, menjanjikan bakal membuat perubahan. Tapi tak pernah dijelaskan secara gamblang perubahan konkret apa yang akan mereka lakukan. Sementara rakyat sudah telanjur melambungkan harapannya (terhadap perubahan tersebut) setinggi langit. Ini wajar, mengingat rakyat memang telah berpuluh tahun dipaksa hidup di bawah rezim otoritarian yang didukung birokrat dan militer, serta perubahan setengah hati, yang disodorkan para presiden pengusung reformasi, yang berkuasa pasca Soeharto.
Apakah kita harus kembali ke jaman sebelum reformasi? Tentu tidak! Demokrasi saat ini merupakan hasil luar biasa yang sudah kita capai dengan perjuangan. Sebenarnya ini adalah kekuatan negara kita yang tidak dimiliki negara-negara lain. Kita tidak perlu kembali ke masa lalu dan membuat awal yang baru. Tetapi kita harus memiliki visi yang konkret dan jelas mulai sekarang agar kita memiliki masa depan yang lebih cemerlang.

Memimpin negeri sebesar Indonesia memang tak mudah. Butuh visi yang konkret, jelas dan dimengerti rakyat agar kelangsungan negara ini bisa berjalan. Dengan didukungan penuh oleh rakyat, itu bisa tercapai. Tentu saja, jika rakyat juga ikut merasakan manfaat dari apa yang dilakukan para pemimpinnya.
Jangan sampai negara ini hanya sekedar “mengalir” saja, tanpa tujuan dan visi yang jelas. Jangan juga negara ini dikelola dengan hanya atas desakan krisis demi krisis saja.

Pemimpin Negara ini harus memiliki visi yang jelas akan kemana arah dan tujuan Negara ini dipimpin. Pemimpin Negara ini harus pula mengkomunikasikan visi tersebut dengan bening, gambling dan jelas pada seluruh rakyat. Pemimpin Negara ini juga harus mampu melakukan “share the vision” kepada seluruh rakyat artinya membuat seluruh rakyat “membeli” visinya. Bukan hanya sekedar untuk memenangkan pemilu saja. Dan yang terakhir pemimpin negara ini harus mampu memimpin seluruh rakyat mencapai visi tersebut.

www.wiloto.com

www.wiloto.com