Friday, May 04, 2007

May Day


Oleh:
Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com

Senin, 1 Mei lalu, mungkin ratusan ribu pekerja di seluruh Indonesia merayakan hari buruh internasional. Mereka melakukan long march dan aksi demonstrasi. Sambil meneriakkann yel-yel, mengusung poster serta mengibarkan bendera organisasi masing-masing.

Di Jalan Sudirman Jakarta, keriuhan tersebut, walau hanya kurang dari 20 bus dan truk namun cukup mengganggu lalu lintas.

Dalam aksi demonstrasi tadi, sejumlah tuntutan diteriakkan. Di antaranya, kebebasan berserikat, perbaikan fasilitas jamsostek, penyelesaian hubungan industrial yang murah dan cepat, serta usulan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional.'

'Semuanya normatif, tak ada isu politisnya,'' kata Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Mukhtar Pakpahan.

Peringatan Hari Buruh Internasional -- yang jatuh pada 1 Mei dan dikenal dengan istilah May Day -- di beberapa negara merupakan hari libur nasional.

Bahkan di Singapura, selain diliburkan, sejak seminggu sebelum hingga seminggu sesudahnya mall-mall melakukan berbagai festival dan promo diskon besar-besaran menyambut hari buruh. Di sana Hari Buruh jauh dari hingar bingar amarah dan teriakan demonstran, sebaliknya penuh dengan aneka perayaan yang meriah dan menggembirakan semua masyarakat.

Peringatan Hari Buruh Internasional berawal dari aktivitas kelas pekerja di AS merayakan keberhasilan merengkuh kendali ekonomi politis serta hak-hak industrialnya. Ini, tak lepas dari peran dua pekerja mesin dari Peterson, New Jersey, yakni Peter McGuire dan Matthew Maguire. Mereka gencar mengkampanyekan perlunya penghormatan bagi para pekerja.

Pada 1887, Oregon di AS menjadi negara bagian pertama yang menjadikan pekan pertama September sebagai harilibur umum. Kemudian, kongres internasional buruh, kali pertama diselenggarakan pada September 1866 diJenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja dari seluruh dunia.

Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari -- sebagaimana pernah dituntut para pekerja di AS yang tergabung dalam National Labour Union. Keputusan bekerja maksimal 8 jam sehari ini belakangan menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.

1 Mei baru ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Federation of Organized Trades and Labor Unions pada kongres 1886. 1 Mei dipilih karena pada 1884, federasi ini terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, yang menuntut 8 jam kerja sehari dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh 1 Mei pernah dilakukan pada 1920-an. Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru, Hari Buruh tidak lagi diperingati. Maklumlah, karena situasi Indonesia saat itu, dimana gerakan buruh sangat sensitif dan kerap dihubungkan dengan paham komunis -- yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.

Di era reformasi. walau bukan hari libur, 1 Mei kembali marak dirayakan para buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Termasuk pada 1 Mei 2007 kemarin.

Kala itu, semua aktivitas perburuhan nyaris terhenti. Belum ada kalkulasi yang memastikan berapa kerugian akibat terhentinya proses produksi lantaran para buruh berdemo. Tapi sumber-sumber di pemerintahan memperkirakan jumlahnya lebih dari Rp 500 miliar.

Komunikasi Efektif

Terlepas dari jumlah yang lumayan besar tadi, satu pertanyaan yang layak disimak adalah, kenapa buruh harus berdemo? Salah satu alasannya adalah, buruh terpaksa melakukan demo karena cara itulah yang dipikir para buruh paling efektif untuk menyampaikan aspirasi mereka.

''Buruh demo karena belum ada perbaikan nasib. Karena itu, pemerintah harus lebih serius menangani masalahini,'' kata Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning.

Sebenarnya, tak ada masalah buruh turun ke jalan. Asalkan aksi tersebut dilakukan dengan tertib dan tak anarkis. Ruyamnya lagi, setiap anakirsme biasanya diredam aparat dengan tindakan yang represif. Sehingga, konflik horizontal sering tak terhindarkan.

Saat buruh berdemo, memang tidak dapat dipungkiri sangat rawan disusupi provokator. Ditunggangi kelompok tertentu untuk mengail di air keruh. Inilah risiko yang dihadapi kelompok buruh, karena mereka tak mempunyaicara alternatif -- di luar aksi demonstrasi -- untuk menyampaikan aspirasinya.

Akibat dari berbagai provokasi, akhirnya buruh juga yang harus menanggung akibatnya. Karena, secara faktual memang banyak investor -- baik asing maupun domestik -- yang takut menanamkan investasinya di Indonesia lantaran faktor buruh. Bahkan banyak pabrik yang tutup, karena direlokasi keluar negeri.

Yang perlu dipahami, jika buruh kerap berlaku anarkis, aktivitas di pabrik atau perusahaan bakal terganggu. Bisnis bisa stop. Ekonomi meredup. Lapangan kerja berkurang. Lagi-lagi buruh pula yang dirugikan.

Mogok dan berdemontrasi sangat mengganggu lalu lintas, selain itu semakin memperkuat persepsi masyarakat, bahwa buruh identik dengan demo, mogok, tuntuan dan anarkisme.

Daripada demo dan mogok, alangkah baiknya jika buruh menggelar acara dangdutan dengan basar dan pasar malam yang diselingi oleh puisi-puisi, misalnya.

Selain sangat asyik bagi kaum buruh sendiri, hal ini juga sangat menghibur masyarakat. Ini pasti akan mengundang simpati publik dan akan menarik perhatian media massa pada aspirasi buruh.

Bagi pemerintah, walau deretan libur nasional sudah terlalu panjang, ada baiknya jika Hari Buruh dipertimbangkan. Karena faktanya pertanian, perkebunan, perikanan, industri kerajinan dan perdagangan pun tidak menciptakan petani, nelayan, pengrajin dan pedagang, namun hanya buruh tani, buruh perkapalan, buruh pengrajin, buruh hypermart dan buruh-buruh lainnya.

Kita perlu sadari bahwa faktanya kita hanya mampu membuat sebagian besar rakyat kita hanya menjadi buruh, dalam berbagai macam bentuknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Selain itu harus ada harmonisasi di antara para buruh, manajemen, pengusaha dan investor. Kita selayaknya saling bekerja sama. Ini bukan cuma untuk memajukan perusahaan, tapi juga menyejahterakan bangsa dan negara.Manajemen mutlak perlu memperhatikan nasib buruh, karena kondisi mereka sangat lemah dibanding parapengusaha.

Kalau perlu, pengusaha dan investor membangun industri yang bersifat padat karya dengan dukungan para buruh. Tentu saja, perlu jaminan dari para buruh, untuk selalu bekerja dengan baik sesuai dengan kewajibannya.

Buruh perlu memahami bahwa bekerja adalah ibadah. Karena mereka bekerja adalah untuk menghidupi anak danistrinya, mereka bekerja selain untuk dirinya sendiri juga untuk keluarganya.Yang juga perlu diperhatikan, buruh secara ketat harus menjaga kemurniannya, agar tak ditunggangi kepentingan politik mana pun, yang merusak dirinya sendiri.

Termasuk kepentingan asing yang lihai menggoyang ekonomi Indonesia, dengan menciptakan berbagai politik devide et impera ekonomi.

Dari lubuk hati yang terdalam ijikan saya menghaturkan Selamat Hari Buruh, semoga buruh Indonesia semakin makmur, cerdas, beradab dan bermartabat!

Bisnis Indonesia Jumat, 04/05/2007 12:53 WIB

www.wiloto.com

www.wiloto.com