Sunday, July 27, 2003

Iklan vs PR



Iklan vs PR
Bisnis Indonesia 27 Jul, 2003

“The Fall of Advertising and The Rise of PR” yang di tulis Al Ries dan Laura Ries adalah buku marketing yang sangat menghebohkan dunia pemasaran, mungkin bisa dikatakan paling heboh saat ini.

Tiga puluh tahun lalu, bersama Jack Trout, Al Ries menulis "The Positioning Era Cometh" yang juga sangat heboh dan sangat mempengaruhi dunia pemasaran sampai saat kini. Menurut Ries, era 70-an adalah The Positioning Era Cometh dan saat ini adalah The Public Relations Era Cometh.

Ries selama ini juga dikenal sebagai figur yang amat pro advertising . Ries adalah alumni DePauw University, Greencastle, Indiana. Setelah lulus kuliah, ia mulai menapaki karier dengan bekerja di departemen pemasaran General Electric Schnectady, New York.

Ries memiliki karier yang luar biasa, mulai dari Needham, Louis & Brorby, hingga Marsteller Inc. Ries bahkan sudah mendirikan advertising agency -nya sendiri pada 1963, dengan bendera Ries Cappiello Colwell di New York.

Secara umum, dalam buku yang dibagi dalam lima pokok bahasan itu, Ries ingin memaparkan, bagaimana sukses sebuah merk, akan lebih mudah dibangun melalui pendekatan PR, bukan periklanan (advertising ).

Argumentasinya yang dilakukan iklan selama ini, tak lebih dari sekadar cara untuk mengungkapkan segala sesuatu yang baik semata (dalam istilah Ries, “ … advertising can only defend brand ..”). Sementara, PR merupakan skenario terpadu untuk membangun sebuah pemahaman, atau bahkan mengubah persepsi.

Periklan menurut Ries menuju kekeruntuhan karena dalam pemasaran periklanan miskin kredibilitas, suatu unsur yang maha dahsyat pentingnya untuk dapat membangun kepercayaan konsumen atau publik pada umumnya terhadap suatu merek, sedangkan Strategic PR dapat menciptakan kredibilitas itu.

Pendekatan iklan yang 'heboh' dan dengan biaya yang sangat besar, oleh Ries dianggap harus diubah dengan pembangunan bertahap yang dilakukan strategic PR .

Hal lain yang disampaikan Ries adalah periklanan seharusnya hanya digunakan untuk mempertahankan merek, setelah merek itu pada posisi mapan karena strategi PR yang jitu.
Buku ini menjadi sangat kontroversial, dan hal itu sangatlah wajar terjadi, betapa tidak, karena hal ini menghajar paradigma pemasaran yang ada saat ini, bahwa iklan adalah suatu yang amat penting.

Ries mengatakan bahwa iklan itu spesial, menggebrak, visual, menjangkau semua orang, mahal, lucu, tidak kreatif, tidak kredibel, bahkan mati. Sedangkan menurutnya PR itu linier, membangun perlahan-lahan, verbal, menjangkau seseorang, murah, serius, kreatif, bisa dipercaya kredibel, bahkan hidup!

Di Indonesia

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, saya jadi teringat pada pengalaman waktu pertama kali saya diangkat menjadi agency secretary BPPN akhir tahun 1998, pada hari pertama kerja, saya menemukan kenyataan bahwa pemberitaan BPPN sangatlah buruk. Tidak ada strategi PR yang serius untuk membentuk citra BPPN.

Tidak ada staff yang menangani media secara intensif, juga tidak ada investor relations , government relations juga dilakukan secara sporadis. Yang ada hanya iklan-iklan setengah halaman yang dimuat diberbagai surat kabar besar, yang walau secara design cukup bagus, tetapi sangat tidak menjawab isu yang ada saat itu.

Headline pemberitaan bicara soal apa, iklan setengah halaman koran menyampaikan pesan lain yang tidak ada korelasinya sama sekali. Ketika warisan pekerjaan itu sampai pada saya, luar biasa kagetnya saya ketika harus mengurus pembayaran atas tagihan-tagihan pemasangan iklan-iklan tersebut, luar biasa besarnya!

Apakah citra BPPN dapat dirubah dengan iklan-iklan yang mahal itu? Sayang sekali tidak! Hal yang sama juga terjadi pada Inul, tiga tulisan saya sebelumnya menjelaskan fenomena Inul, bagaimana Inul dapat melejit luar biasa hebatnya hanya dengan strategi PR yang dilakukannya, sengaja maupun tidak.

Inul tidak pernah beriklan, sama sekali! Tetapi hasilnya luar biasa dahsyat, tidak hanya terhadap popularitas semata, tetapi juga secara financial . Inul merupakan salah satu contoh Indonesia yang jelas, bahwa PR memang lebih dahsyat dari iklan.

Siapapun jika memiliki uang dapat membeli satu halaman Koran untuk iklan dan berkata “Saya Nomor Satu, Pilihlah Saya”, tetapi strategi PR mengajarkan bahwa kinerja Anda harus bagus dan diketahui publik, sehingga “orang lain” atau pihak ketiga dapat berkata “dia memang baik”.
Hal ini yang disebut dengan referensi, hal ini juga yang menciptakan kredibilitas, yaitu jika pihak lain mengakui kinerja anda. Dalam PR, kita menyebutnya sebagai “Third Parties Endorsement”.
Hal itulah yang terjadi pada Inul, tanpa sengaja ketika ada yang menistakan Inul secara terang-terangan di muka publik, serta merta orang-orang terkemukan membelanya.
Dan semua pembelaan dari pihak ketiga itu menjadi Third Parties Endorsement yang maha dahsyat bagi citra Inul, karena Third Parties Endorsement sangat kredibel.
Contoh lain adalah Mak Erot yang sangat terkenal dan menurut saya memiliki ekuitas merek yang cukup tinggi, terbukti dengan banyaknya pemalsuan namanya, Mak Erot tidak pernah beriklan.

Bakpia Patok, Kampung Daun, Dagadu, Cihampelas, yang terkenal itu, juga nyaris tanpa iklan. Mungkin awalnya karena mereka memang tidak memiliki budget yang cukup untuk iklan, sehingga mereka semaksimal mungkin mencari strategi yang kreatif untuk memasarkan produknya.

Di Indonesia juga banyak tokoh-tokoh yang terkenal seperti dr. Boyke, Hembing, Hermawan Kartajaya, Hotman Paris, Renald Khasali, dan lain-lain, yang sadar maupun tidak telah berhasil menerapkan strategi PR nya untuk “memasarkan diri” dan meningkatkan brand equity nya, tanpa iklan.

Di tingkat dunia kita mengenal Intel, Microsoft, Harry Potter, Google, The Body Shop, PlayStation yang juga nyaris tak pernah beriklan.

Pertanyaannya sekarang adalah, masih masuk akalkah strategi beriklan dengan biaya yang sangat besar itu? Be Smart!

No comments:

www.wiloto.com

www.wiloto.com