Oleh Christovita Wiloto
Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
http://www.wiloto.com/
Bank Indonesia (BI) selama 5 tahun ini cenderung tenang dan stabil, bahkan Gubernurnya sempat diakui dunia sebagai Best Central Banker dan mendapat Bintang Mahaputra Utama dari Presiden. Jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2003, dimana pada masa itu BI sangat bergejolak, begitu banyak masalah dan berbagai skandal, setelah tahun 2003 BI cenderung solid, hampir tanpa masalah yang berarti.
Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
http://www.wiloto.com/
Bank Indonesia (BI) selama 5 tahun ini cenderung tenang dan stabil, bahkan Gubernurnya sempat diakui dunia sebagai Best Central Banker dan mendapat Bintang Mahaputra Utama dari Presiden. Jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2003, dimana pada masa itu BI sangat bergejolak, begitu banyak masalah dan berbagai skandal, setelah tahun 2003 BI cenderung solid, hampir tanpa masalah yang berarti.
Bahkan di awal tahun 2007 lalu Indonesia bisa mengembalikan stabilitas makro ekonomi paska gejolak harga minyak di akhir 2005 dan dampaknya pada nilai tukar, inflasi, dan suku bunga. Sedangkan di sisi pertumbuhan ekonomi, untuk pertama kalinya sejak krisis Asia, pertumbuhan ekonomi kita telah mencapai diatas 6% pertahun yaitu 6,3% di 2007.
Kondisi positif ini mendadak berubah dengan ledakan kasus aliran dana BI yang dianggap tidak wajar ke oknum-oknum anggota DPR dan penegak hukum.
Ceritanya semakin menjadi seru ketika KPK secara serta merta menetapkan Gubernur dan 2 pejabat BI sebagai tersangka. Tidak sampai di situ saja, bahkan kemudian 2 pejabat tersebut ditahan dan tak kurang dari 16 pejabat, mantan pejabat dan pejabat di lingkungan BI pun dicekal.
Semua kejadian ini menjadi semakin seru untuk diamati dengan seksama, karena terjadi bertepatan dengan habisnya masa jabatan Gubernur BI dan dimulainya proses pemilihan Gubernur BI yang baru. Tentu elite dan masyarakat dapat merasakan kentalnya aroma politik di kasus BI ini. Apalagi ketika dikaitkan dengan suhu politik menjelang Pemilu 2009, yang merupakan perhelatan politik yang tentu saja membutuhkan sangat banyak dana.
Banyak kalangan mengatakan bahwa BI merupakan target politik yang sangat empuk, persis seperti domba putih gemuk yang mudah digiring ke pembantaian. Nampaknya idiom ini tidak berlebihan, karena terbukti sampai sekarang hanya BI saja yang diserang secara bertubi-tubi. Mulai dari penetapan sebagai para tersangka, pihak yang diperiksa, ditahan dan dicekal. Sementara dari pihak oknum-oknum DPR dan Penegak Keadilan hampir tidak ada yang tersentuh.
Skenario Penghancuran
Aliran dana BI ke oknum-oknum DPR dan penegak hukum pada tahun 2003 sebesar Rp 100 milyar, memang sangat mengusik rasa keadilan rakyat, terutama di tengah era reformasi ini. Namun sebagian pejabat pemerintah, badan dan lembaga yang pernah berurusan dengan DPR dan penegak hukum sangat maklum dengan kondisi ini.
Aliran dana BI ke oknum-oknum DPR dan penegak hukum pada tahun 2003 sebesar Rp 100 milyar, memang sangat mengusik rasa keadilan rakyat, terutama di tengah era reformasi ini. Namun sebagian pejabat pemerintah, badan dan lembaga yang pernah berurusan dengan DPR dan penegak hukum sangat maklum dengan kondisi ini.
Seorang rekan dari pemerintahan pernah bercerita bahwa setiap kali berurusan dengan DPR, maka departemennya selalu harus menyediakan budget khusus untuk para oknum DPR. Mulai dari urusan hearing sampai masalah undang-undang, jika tidak, maka urusan akan menjadi rumit. Bahkan proses undang-undang pun bisa disandera. Menurutnya kejadian ini dialami oleh hampir seluruh departemen, badan, lembaga dan perusahaan yang berurusan dengan DPR. Melihat konteks ini, maka sebagian elitepun mengatakan bahwa kasus BI ini sangat dicari-cari.
Berbagai skenario dibalik kasus BI ini beredar di antara elite dan masyarakat, salah satunya adalah bahwa kasus ini sengaja diledakkan sebagai sebuah upaya Character Assassination alias pembunuhan karakter terhadap BI. Baik Gubernur yang sedang menjabat, Burhanuddin Abdullah, maupun jajaran BI secara menyeluruh.
Skenario ini dilakukan agar persepsi publik tentang BI menjadi sedemikian rupa buruknya, seolah-olah BI sangat bobrok, sehingga dengan mudah dapat dilakukan justifikasi alias pembenaran untuk melakukan "cleansing" terhadap BI. Upaya pembersihan atau "cleansing" terhadap seluruh jajaran BI dari Gubernur, Deputi Gubernur sampai jajaran pelaksananya akan dengan mudah dilakukan. Untuk kemudian akan banyak orang-orang dari pihak luar BI akan "ditanamkan" di jajaran BI.
Langkah selanjutnya dari skenario ini, seperti dengan mudah kita tebak, adalah menguasai BI untuk kepentingan logistik pemilu 2009.Semoga skenario ini tidak benar dan tidak pernah terjadi, karena jika ini terjadi, maka resiko yang harus ditanggung rakyat sangatlah besar. Terutama resiko ekonominya.
Rakyat Dirugikan
Seperti kita sadari, bahwa BI adalah pertahanan moneter dan perbankan bangsa Indonesia, jika BI lemah atau diobok-obok atau diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu, maka dapat dipastikan bahwa sistem moneter dan perbankan bangsa Indonesia menjadi sangat lemah dan mudah dihancurkan.
Seperti kita sadari, bahwa BI adalah pertahanan moneter dan perbankan bangsa Indonesia, jika BI lemah atau diobok-obok atau diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu, maka dapat dipastikan bahwa sistem moneter dan perbankan bangsa Indonesia menjadi sangat lemah dan mudah dihancurkan.
Masih jelas diingatan kita akan krisis ekonomi yang meluluh lantakan Indonesia pada 1997, dampaknya pun sampai saat ini masih sangat terasa. Tingkat kepercayaan masyarakat baik nasional maupun internasional terhadap sistem perbankan Indonesia pun sampai kini belum pulih benar seperti sebelum krisis 1997.
Kondisi BI tidak bisa dianggap sepele, karena efek multipliernya sangat dahsyat. Kondisi moneter dan perbankan yang tergoncang, akan dengan mudah menggoncangkan dunia bisnis di Indonesia secara menyeluruh. Goncangan di dunia bisnis serta merta akan menggoncangkan perekonomian rakyat yang sebagian besar sebagai pekerja dan buruh.
Goncangan di bidang ekonomi, persis seperti krisis 1997, bisa dengan mudah menggoncang bidang sosial, politik dan keamanan negara.Sampai di sini, siapakah yang paling dirugikan dari manuver politik tingkat tinggi ini? Rakyat, sekali lagi rakyat Indonesia-lah yang harus menanggung resikonya.
Dalam kondisi ekonomi yang sangat mengkuatirkan, di mana harga-harga kebutuhan pokok dan BBM melambung tinggi, aliran listrik yang semakin sering mati, maka politisasi BI ini akan mempercepat proses hancurnya perekonomian nasional.
Ketika setiap orang yang semestinya bertanggung jawab dengan masalah ini makin tidak peduli, maka kontrol sosial dari masyarakat yang merupakan silent majority sangatlah diperlukan. Silent majority di Indonesia masih cukup jernih dalam memandang masalah dan masih mengutamakan kepentingan nasional yang lebih besar di atas kepentingan kelompok yang sempit.