Bisnis Indonesia http://www.bisnis.com/
Oleh:
Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
http://www.wiloto.com/
http://www.strategic-indonesia.blogspot.com/
http://iye.wiloto.com/
Prediksi badan riset Department of Energi AS pada tahun 1980-an bahwa harga minyak dunia dapat mencapai US$ 100 per barrel, mendekati kenyataan pada akhir 2007 ini.
Meskipun Indonesia adalah salah satu anggota OPEC, tetapi jumlah impor minyak kita terus meningkat. Hal ini sudah terjadi sejak 1990-an. Ekspor minyak dan gas Indonesia pada tahun 2005 lebih dari 19,231 juta USD, sementara impor minyak dan gas lebih dari17,457,7 juta USD. Pada tahun 2006 ekspor minyak dan lebih dari 21,209,5 juta USD, sementara impor minyak dan gas lebih dari 18,962,9 juta USD. Sementara pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2007 lebih dari 13,439,2 juta USD, sedangkan impor minyak dan gas lebih dari 12,824,7 mil USD.
Rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir mendapat tantangan berbagai pihak karena khawatir resiko yang dapat mengancam manusia dan kerusakan lingkungan hidup yang serius.
Pelaksanaan Program pengalihan konsumsi minyak tanah rumah tangga yang berrsubsidi ke pemakaian gaspun masih tersendat-sendat.
Sementara rapor pemerintahan SBY-JK dalam masa tiga tahun ini tidak juga menunjukan kemajuan disektor penciptaan lapangan kerja, jumlah rakyat miskinpun semakin bertambah. Sehingga kondisi inipun dengan mudah menghapus berbagai keberhasilan pemerintah dibidang lain, yang mungkin saja ada, di mata rakyat.
Setelah era Suharto, belum ada lagi presiden Indonesia yang melakukan kebijakan yang cukup signifikan bagi rakyat Indonesia. BJ Habibi dikenang dengan lepasnya Timor Timur. Gus Dur dikenang karena gaya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) nya. Megawati dikenang dengan kiat “melempar kesalahan” kepada rezim Suharto, sambil melepaskan Indosat dan aset-aset strategis negara lainnya, tetapi juga sukses menyelenggarakan pemilu pertama secara demokratis.
Terlepas dari “dosa-dosa” Suharto yang sulit dibuktikan secara hukum, bagi kalangan bawah Suharto dikenang dengan harga BBM termurah di Asia (kecuali Brunei), beras murah dan sebagai “pemimpin” Asean di zamannya. Kemanjaan masyarakat menikmati BBM murah selama Suharto berkuasa, menjadi batu sandungan dan bola panas bagi presiden-presiden Republik Indonesia berikutnya.
Megawati mencoba menaikkan harga BBM secara bertahap, tetapi laju kenaikannya kalah cepat dengan kenaikan harga minyak dunia. Akibatnya Megawati tidak berani memainkan bola panas itu menjelang pemilu tahun 2004, agar tidak “terbakar” situasi politik, sosial, budaya dan keamanan Indonesia.
Kiat ini tidak sukses sepenuhnya karena pada putaran akhir persaingan pada pemilu, Megawati kalah, dan perolehan kursi PDIP di DPR berada dibawah Golkar. Megawati mengalami Double lost.
Duet presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla hanya beberapa waktu setelah resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, langsung mengambil resiko menetapkan kenaikan harga BBM 50 - 100% lebih, dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan dari kenaikan harga minyak dunia. Suatu kebijakan yang sangat pahit dan tidak populer ini akhirnya menuai kecaman dimana-mana.
Mengapa duet pilihan langsung rakyat ini berani? Alasannya selain ingin menyehatkan APBN, sebetulnya secara perhitungan resikonya cukup tepat. Pertama-tama sesuai konstitusi, artinya pasangan ini legitimasinya sangat kuat, karena pilihan langsung rakyat dan sangat sulit dijatuhkan oleh DPR. Kedua TNI-Polri loyal terhadap pemerintah (Panglima TNI dipertahankan tetap menjabat sedangkan Kapolri, Da’i Bachtiar yang terkesan pro Megawati diganti, sementara Kasad juga kemudian diganti). Ketiga, kesan timbul bahwa “kesalahan” menunda kenaikan harga BBM ada dipundak Megawati yang ingin memenangkan pemilu.
Tetapi skenario menyehatkan APBN ini, rontok dalam tahun ketiga era duet SBY-JK. Hal ini terjadi karena kembali lagi kenaikan harga minyak dunia semakin liar tak terkendali. Semua ini terjadi diluar kapasitas Indonesia untuk ikut mempengaruhinya. Dan gagalnya SBY-JK mengkomunikasikan hal strategis ini kepada seluruh rakyat dengan jelas dan mudah dimengerti.
Berbagai kebijakan OPEC sendiri juga tidak mampu mempengaruhi kondisi ini dengan signifikan. Berbagai alasan dikemukakan sebagai penyebab kenaikan yang diluar kendali ini. Salah satu alasan klasik adalah politik luar negeri Amerika Serikat yang agresif di berbagai belahan dunia terutama dikawasan Timur Tengah. Terutama ketika pecah perang Irak, maka harga minyak duniapun bergejolak.
Saat ini disebut-sebut tentang kemungkinan pecahnya perang antara Turki dengan kelompok Kurdi di Irak Utara. Sedangkan naiknya permintaan, karena datangnya musim dingin di Eropa dan AS dinilai sebagai kenaikan normal. Padahal semua itu hanya pemicu, sedangkan penyebab utamanya terletak pada strategi negara besar terutama AS dalam mengamankan ketersediaan supply minyaknya secara berkelanjutan.
Bila dicermati lebih dalam, ada sebab mendasar diluar kekuasaan manusia, yaitu terbatasnya deposit minyak. Hai ini disebabkan karena sumber energi ini tidak diperbaharui atau akan segera habis. Karena itu AS berusaha mencari dan mengeksploitasi sumber minyak dimanapun di muka bumi ini, sambil menghemat cadangan yang ada diteritorialnya sendiri.
Ketika OPEC mencoba “memanfaatkan” minyak sebagai kekuatan tawar (bargaining power) terhadap AS, AS dengan gesit segera melakukan konsolidasi, mencari sumber sumber eksplorasi baru dan hanya dalam waktu sekitar satu dasawarsa “gigi” OPEC menjadi tumpul.
Produksi minyak dari negara-negara non OPEC naik dengan signifikan, sehingga merekapun dapat berkontribusi dalam penentuan harga. Jika memakai istilah globalisasi, maka minyak menjadi salah satu komoditas sensitif dalam “permainan” negara besar dan super power yang diberi istilah eksklusif "global", sementara negara-negara lain hanya menjadi asesoris atau boneka atau pelengkap penderita.
Strategi Indonesia
Dari gambaran diatas, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia? Jika kita tidak ingin hanya menjadi asesoris atau boneka atau pelengkap penderita dari globalisasi, termasuk korban permainan global disektor perminyakkan. Maka Indonesia harus segera meletakkan dasar-dasar pengembangan sumber-sumber energi alternatif. Dan ini harus menjadi komitmen nasional bangsa Indonesia.
Kita jangan terbuai dengan perhitungan perhitungan ketersediaan cadangan minyak dan gas diteritorial Indonesia yang katanya masih sangat besar jumlahnya. Terbukti proses konversi minyak tanah ke gas saja tidak menjawab masalah, karena gas juga tidak terperbaharui dan akan musnah.
Sebetulnya, begitu banyak pilihan sumber energi yang telah didukung oleh berbagai riset ilmiah.
Pemerintah dapat memilih sesuai dengan potensi alam di daerah atau wilayah Indonesia masing-masing. Investasi disektor ini dalam jangka panjang akan membawa kebaikan bagi bangsa. Ada biogas, geothermal, biodiesel, energi surya, dan tenaga air yang secara alamiah sangat melimpah dan dapat dikembangkan di Indonesia.
Indonesia jangan terjebak pada pilihan tradisional, yang menyama-ratakan kondisi daerah. Jalan keluar yang ditempuh PLN selama ini selain tenaga air dan batubara adalah mesin diesel yang sangat boros BBM. Pilihan ini sudah pasti harus segera ditinggalkan.
Pilihan PLTN (nuklir) juga tidak serta merta dapat memproduksi listrik murah. Jika secara relatif PLTN sama mahalnya, mengapa Indonesia tidak mengembangkan pilihan alternatif sumber energi yang lain?
Disektor energi ini Presiden SBY dapat memutuskan kebijakan yang fenomenal, menyangkut hajat hidup masyarakat luas, dan sekaligus memberdayakan penduduk di pulau besar maupun pulau kecil dan terpencil.
Satu hal yang pasti bahwa bukan pada era SBY-JK kebijakan itu terealisasi, tetapi pilihan meletakan dasar kebijakan energi yang melibatkan komitmen nasional dan langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak akan menjadi citra positif yang ditinggalkan oleh keduanya.
Peluang ini terbuka lebar, kecuali SBY-JK hanya akan meneruskan citra presiden-presiden setelah Suharto, sebagai presiden yang "nothing special" bagi bangsa. Tidak akan terpatri dalam ingatan rakyat biasa, meskipun pemimpinnya meraih penghargaan nobel sekalipun, kalau tidak memberi manfaat langsung kepada rakyatnya.
Ditengah kesulitan menghadapi gelombang harga minyak dunia yang terus mengancam kehidupan ekonomi bangsa Indonesia, Presiden SBY berpeluang mengambil kebijakan fenomenal disektor energi alternatif, dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di daerah, yang menjamin ketersediaan energi yang berkelanjutan. Kebijakan itu akan merupakan investasi jangka panjang yang langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Dan pasti akan dikenang generasi-generasi mendatang dengan penuh ucapan syukur.
Oleh:
Christovita Wiloto
CEO & Managing Partner
Wiloto Corp. Asia Pacific
http://www.wiloto.com/
http://www.strategic-indonesia.blogspot.com/
http://iye.wiloto.com/
Prediksi badan riset Department of Energi AS pada tahun 1980-an bahwa harga minyak dunia dapat mencapai US$ 100 per barrel, mendekati kenyataan pada akhir 2007 ini.
Meskipun Indonesia adalah salah satu anggota OPEC, tetapi jumlah impor minyak kita terus meningkat. Hal ini sudah terjadi sejak 1990-an. Ekspor minyak dan gas Indonesia pada tahun 2005 lebih dari 19,231 juta USD, sementara impor minyak dan gas lebih dari17,457,7 juta USD. Pada tahun 2006 ekspor minyak dan lebih dari 21,209,5 juta USD, sementara impor minyak dan gas lebih dari 18,962,9 juta USD. Sementara pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2007 lebih dari 13,439,2 juta USD, sedangkan impor minyak dan gas lebih dari 12,824,7 mil USD.
Rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir mendapat tantangan berbagai pihak karena khawatir resiko yang dapat mengancam manusia dan kerusakan lingkungan hidup yang serius.
Pelaksanaan Program pengalihan konsumsi minyak tanah rumah tangga yang berrsubsidi ke pemakaian gaspun masih tersendat-sendat.
Sementara rapor pemerintahan SBY-JK dalam masa tiga tahun ini tidak juga menunjukan kemajuan disektor penciptaan lapangan kerja, jumlah rakyat miskinpun semakin bertambah. Sehingga kondisi inipun dengan mudah menghapus berbagai keberhasilan pemerintah dibidang lain, yang mungkin saja ada, di mata rakyat.
Setelah era Suharto, belum ada lagi presiden Indonesia yang melakukan kebijakan yang cukup signifikan bagi rakyat Indonesia. BJ Habibi dikenang dengan lepasnya Timor Timur. Gus Dur dikenang karena gaya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) nya. Megawati dikenang dengan kiat “melempar kesalahan” kepada rezim Suharto, sambil melepaskan Indosat dan aset-aset strategis negara lainnya, tetapi juga sukses menyelenggarakan pemilu pertama secara demokratis.
Terlepas dari “dosa-dosa” Suharto yang sulit dibuktikan secara hukum, bagi kalangan bawah Suharto dikenang dengan harga BBM termurah di Asia (kecuali Brunei), beras murah dan sebagai “pemimpin” Asean di zamannya. Kemanjaan masyarakat menikmati BBM murah selama Suharto berkuasa, menjadi batu sandungan dan bola panas bagi presiden-presiden Republik Indonesia berikutnya.
Megawati mencoba menaikkan harga BBM secara bertahap, tetapi laju kenaikannya kalah cepat dengan kenaikan harga minyak dunia. Akibatnya Megawati tidak berani memainkan bola panas itu menjelang pemilu tahun 2004, agar tidak “terbakar” situasi politik, sosial, budaya dan keamanan Indonesia.
Kiat ini tidak sukses sepenuhnya karena pada putaran akhir persaingan pada pemilu, Megawati kalah, dan perolehan kursi PDIP di DPR berada dibawah Golkar. Megawati mengalami Double lost.
Duet presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla hanya beberapa waktu setelah resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, langsung mengambil resiko menetapkan kenaikan harga BBM 50 - 100% lebih, dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan dari kenaikan harga minyak dunia. Suatu kebijakan yang sangat pahit dan tidak populer ini akhirnya menuai kecaman dimana-mana.
Mengapa duet pilihan langsung rakyat ini berani? Alasannya selain ingin menyehatkan APBN, sebetulnya secara perhitungan resikonya cukup tepat. Pertama-tama sesuai konstitusi, artinya pasangan ini legitimasinya sangat kuat, karena pilihan langsung rakyat dan sangat sulit dijatuhkan oleh DPR. Kedua TNI-Polri loyal terhadap pemerintah (Panglima TNI dipertahankan tetap menjabat sedangkan Kapolri, Da’i Bachtiar yang terkesan pro Megawati diganti, sementara Kasad juga kemudian diganti). Ketiga, kesan timbul bahwa “kesalahan” menunda kenaikan harga BBM ada dipundak Megawati yang ingin memenangkan pemilu.
Tetapi skenario menyehatkan APBN ini, rontok dalam tahun ketiga era duet SBY-JK. Hal ini terjadi karena kembali lagi kenaikan harga minyak dunia semakin liar tak terkendali. Semua ini terjadi diluar kapasitas Indonesia untuk ikut mempengaruhinya. Dan gagalnya SBY-JK mengkomunikasikan hal strategis ini kepada seluruh rakyat dengan jelas dan mudah dimengerti.
Berbagai kebijakan OPEC sendiri juga tidak mampu mempengaruhi kondisi ini dengan signifikan. Berbagai alasan dikemukakan sebagai penyebab kenaikan yang diluar kendali ini. Salah satu alasan klasik adalah politik luar negeri Amerika Serikat yang agresif di berbagai belahan dunia terutama dikawasan Timur Tengah. Terutama ketika pecah perang Irak, maka harga minyak duniapun bergejolak.
Saat ini disebut-sebut tentang kemungkinan pecahnya perang antara Turki dengan kelompok Kurdi di Irak Utara. Sedangkan naiknya permintaan, karena datangnya musim dingin di Eropa dan AS dinilai sebagai kenaikan normal. Padahal semua itu hanya pemicu, sedangkan penyebab utamanya terletak pada strategi negara besar terutama AS dalam mengamankan ketersediaan supply minyaknya secara berkelanjutan.
Bila dicermati lebih dalam, ada sebab mendasar diluar kekuasaan manusia, yaitu terbatasnya deposit minyak. Hai ini disebabkan karena sumber energi ini tidak diperbaharui atau akan segera habis. Karena itu AS berusaha mencari dan mengeksploitasi sumber minyak dimanapun di muka bumi ini, sambil menghemat cadangan yang ada diteritorialnya sendiri.
Ketika OPEC mencoba “memanfaatkan” minyak sebagai kekuatan tawar (bargaining power) terhadap AS, AS dengan gesit segera melakukan konsolidasi, mencari sumber sumber eksplorasi baru dan hanya dalam waktu sekitar satu dasawarsa “gigi” OPEC menjadi tumpul.
Produksi minyak dari negara-negara non OPEC naik dengan signifikan, sehingga merekapun dapat berkontribusi dalam penentuan harga. Jika memakai istilah globalisasi, maka minyak menjadi salah satu komoditas sensitif dalam “permainan” negara besar dan super power yang diberi istilah eksklusif "global", sementara negara-negara lain hanya menjadi asesoris atau boneka atau pelengkap penderita.
Strategi Indonesia
Dari gambaran diatas, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia? Jika kita tidak ingin hanya menjadi asesoris atau boneka atau pelengkap penderita dari globalisasi, termasuk korban permainan global disektor perminyakkan. Maka Indonesia harus segera meletakkan dasar-dasar pengembangan sumber-sumber energi alternatif. Dan ini harus menjadi komitmen nasional bangsa Indonesia.
Kita jangan terbuai dengan perhitungan perhitungan ketersediaan cadangan minyak dan gas diteritorial Indonesia yang katanya masih sangat besar jumlahnya. Terbukti proses konversi minyak tanah ke gas saja tidak menjawab masalah, karena gas juga tidak terperbaharui dan akan musnah.
Sebetulnya, begitu banyak pilihan sumber energi yang telah didukung oleh berbagai riset ilmiah.
Pemerintah dapat memilih sesuai dengan potensi alam di daerah atau wilayah Indonesia masing-masing. Investasi disektor ini dalam jangka panjang akan membawa kebaikan bagi bangsa. Ada biogas, geothermal, biodiesel, energi surya, dan tenaga air yang secara alamiah sangat melimpah dan dapat dikembangkan di Indonesia.
Indonesia jangan terjebak pada pilihan tradisional, yang menyama-ratakan kondisi daerah. Jalan keluar yang ditempuh PLN selama ini selain tenaga air dan batubara adalah mesin diesel yang sangat boros BBM. Pilihan ini sudah pasti harus segera ditinggalkan.
Pilihan PLTN (nuklir) juga tidak serta merta dapat memproduksi listrik murah. Jika secara relatif PLTN sama mahalnya, mengapa Indonesia tidak mengembangkan pilihan alternatif sumber energi yang lain?
Disektor energi ini Presiden SBY dapat memutuskan kebijakan yang fenomenal, menyangkut hajat hidup masyarakat luas, dan sekaligus memberdayakan penduduk di pulau besar maupun pulau kecil dan terpencil.
Satu hal yang pasti bahwa bukan pada era SBY-JK kebijakan itu terealisasi, tetapi pilihan meletakan dasar kebijakan energi yang melibatkan komitmen nasional dan langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak akan menjadi citra positif yang ditinggalkan oleh keduanya.
Peluang ini terbuka lebar, kecuali SBY-JK hanya akan meneruskan citra presiden-presiden setelah Suharto, sebagai presiden yang "nothing special" bagi bangsa. Tidak akan terpatri dalam ingatan rakyat biasa, meskipun pemimpinnya meraih penghargaan nobel sekalipun, kalau tidak memberi manfaat langsung kepada rakyatnya.
Ditengah kesulitan menghadapi gelombang harga minyak dunia yang terus mengancam kehidupan ekonomi bangsa Indonesia, Presiden SBY berpeluang mengambil kebijakan fenomenal disektor energi alternatif, dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di daerah, yang menjamin ketersediaan energi yang berkelanjutan. Kebijakan itu akan merupakan investasi jangka panjang yang langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Dan pasti akan dikenang generasi-generasi mendatang dengan penuh ucapan syukur.